Bab 23: Kekhawatiran Yang Berlebih

16 4 0
                                    

Aktivitas mengajar menjadi alternatif terbaik yang dilakukan untuk tetap melanjutkan kehidupan. Sejak Senin lalu, Fadhil sudah mulai datang ke sekolah untuk mengajar, meski dirinya harus menggunakan sepeda motor sebagai kendaraan.

Ia rindu mengayuh sepeda.

Sudah lebih dari seminggu dirinya tidak lagi menggunakan sepeda.

Perubahan fisik Fadhil yang lebih kurus menarik simpatik dari guru-guru juga murid-murid yang dididiknya. Fadhil telah mempersiapkan diri akan hal ini, sehingga ia bisa tetap tenang mengajar seperti biasa. Tidak merasa tersinggung, juga tidak merasa tersanjung.

Perhatian lebih dari orang lain terkadang bisa mengubah jati diri.

Meski sudah kembali mengajar dan bertemu dengan orang-orang yang sefrekuensi, Fadhil masih merasakan hati tidak nyaman. Ia telah kehilangan rasa indah seperti melihat taman bunga yang penuh warna. Ia merasa kosong, dan seperti kembali melihat lahan yang mengering.
- Ia telah berusaha untuk menemui Hanifah, tetapi perempuan itu belum siap bertemu lagi. Hal itu menyebabkan dirinya gelisah selama beberapa hari. Begitu juga saat ia melihat Hanifah menghindar ketika sedang mengajar di rumah Putra, ia menjadi sedikit pesimis.

Pengalaman Fadhil mengejar perempuan masih di bawah lima puluh persen, ia tahu ada banyak jalan yang bisa ia lakukan untuk mendapatkan hati Hanifah kembali. Namun, ia tidak ingin mengambil jalan yang salah. Dirinya hanya memilih untuk menunggu kabar dari perempuan itu.

Menunggu memang bukan hal yang menyenangkan. Fadhil menanggap ini sebagai balasan karena ia juga pernah membuat Hanifah menunggu tanpa kabar. Ia bisa merasakan ketidaknyamanan. Dirinya pun berpikir mungkin Hanifah merasakan hal yang sama.

Setelah mengajar dengan perasaan campur aduk, Fadhil kembali ke ruang guru. Ia menaruh segala peralatan ke meja, lalu duduk. Dirinya lekas mengambil botol yang tergeletak di meja, meminum isinya sampai tandas.

Untuk beberapa hari ke depan, selama cuaca panas masih ekstrem, Fadhil disarankan meminum banyak air agar tidak dehidrasi. Demi kesehatan, ia harus mengubah pola hidup.

Sambil membuka buku catatan, ia ingin menulis sesuatu yang harus dilakukan dan menandai kegiatan yang sudah selesai, tetapi pikirannya kembali mengingat sosok Hanifah.

Ia masih sangat berharap. Namun, ia mulai dipenuhi pikiran berisi kegagalan yang belum pasti terjadi. Hal itu membuat hatinya bertambah rumit.

Fadhil mulai kehilangan selera makan karena terdapat beban pikiran. Ia hanya menatap tepak yang barusan dirinya keluarkan dari tas. Tepak itu masih tertutup rapat.

"Pak Fadhil, kelihatannya banyak yang sedang dipikirkan?" tanya Pak Ghani yang sudah berdiri di samping Fadhil.

Fadhil agak sedikit terkejut karena baru menyadari kehadiran rekannya tersebut. "Hanya sedikit, Pak, tidak banyak." Ia pun tersenyum, tetapi terlambat, Pak Ghani sudah menangkap lebih dulu raut gelisah di wajahnya.

"Bagaimana kalau kita salat dulu? Saya sudah mau ke mushola. Pak Fadhil mau makan dulu atau ke mushola bareng saya?" tawar Pak Ghani sambil tersenyum ramah.

Kehadiran Pak Ghani di sampingnya betul-betul tepat waktu. Ajakan salat membuatnya merasa lebih baik. Kegiatan ini yang ia butuhkan saat perasaan sedang sulit. "Saya juga mau salat dulu, Pak. Biar makan selesai salat saja, saya juga masih belum ada kelas setelah istirahat."

"Kalau begitu, ayo." Pak Ghani berjalan lebih dulu.

Fadhil buru-buru merapikan tas dan barang-barang di meja, baru kemudiam menyusul Pak Ghani. Ia melaksanakan salat Zuhur masing-masing karena sebagian guru dan murid telah selesai.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang