Bab 21: Kekecewaan Yang Pantas

13 4 0
                                    

Sakit beberapa hari menyebabkan perubahan fisik. Fadhil bertambah kurus meski tidak begitu drastis, tetap memperlihatkan wajah yang lebih tirus dari sebelumnya. Sudah beberapa hari di rumah, dan ia mulai selera makan, belum juga mengembalikan badan ke kondisi semula.

Karena kegagalan di Minggu lalu, hari ini Fadhil berencana untuk pergi ke rumah Hanifah. Meski disarankan dokter agar tetap beristirahat dan menghindari panas berlebih, ia tetap memaksa pergi. Ia juga sudah jenuh hanya berdiam diri di rumah.

Karena tidak ingin membuat sang ibu khawatir, Fadhil meminta pamannya untuk menemani. Ia memakai kemeja panjang, celana panjang. Kali ini, ia tambah menggunakan topi dan kacamata hitam agar tidak silau terkena cahaya matahari.

Dirinya berangkat dengan cara dibonceng sang paman.

Sesampainya di rumah Hanifah, Fadhil merasa gugup. Kesalahan yang ia lakukan pasti telah membuat keluarga Hanifah kecewa. Namun, ia masih berani datang untuk meminta maaf dan memberi penjelasan.

"Assalamualaikum," sapanya dari depan rumah, agak jauh dari pintu yang terbuka.

"Waalaikumsalam." Bapak Hanifah keluar rumah, dan cukup terkejut melihat Fadhil. "Nak Fadhil," ucapnya dengan wajah tegas, meneliti seluruh tubuh laki-laki di depannya.

"Maaf, Pak, baru bisa––"

"Bicara di dalam saja. Mari masuk." Bapak Hanifah, yang menggunakan baju koko kebesaran dan sarung cokelat keemasan, berjalan masuk lalu memberi kode agar Fadhil dan sang paman duduk. "Bu, ada Nak Fadhil," teriaknya saat memasuki ruang tengah.

Tidak lama kemudian, Fadhil melihat bapak Hanifah kembali duduk dan ibu Hanifah datang dari ruang tengah.

Ibu Hanifah memandang Fadhil seakan tidak percaya laki-laki itu benar-benar datang. "Nak Fadhil, kenapa baru datang? Ibu pikir Nak Fadhil tidak akan mau datang lagi."

Fadhil berusaha tersenyum dan tetap tenang, "Mohon maaf saya baru bisa datang hari ini. Oh iya, sebelumnya perkenalkan ini paman saya, Farhan."

Farhan pun berkenalan dengan ibu dan bapak Hanifah.

"Nak Fadhil kenapa kemarin tidak datang?" tanya ibu Hanifah dengan raut kecewa, sedikit sedih.

Fadhil merasa tidak nyaman melihat kesedihan itu. Ia seperti telah menyakiti hati sang ibu. Namun, ia tidak tahu harus bagaimana memperbaiki kekecewaan itu. 

"Sekali lagi saya mohon maaf karena sudah mengecewakan Bapak dan Ibu. Saya tidak bermaksud meninggalkan acara, tetapi memang ada kendala yang membuat saya tidak bisa hadir. Sebelum saya cerita seluruhnya, bolehkah saya bertemu dengan Hanifah? Saya ingin bercerita langsung kepadanya. Karena dalam hal ini, Hanifah berhak tahu kebenarannya," jelas Fadhil.

"Kalau begitu, kamu tunggu sebentar ya, Nak Fadhil. Ibu akan panggilkan Hanifah." Ibu Hanifah meninggalkan ruang tamu. "Nif ... Hanif." Seruan itu terdengar bersamaan suara ketukan pintu. Tidak lama, suara pintu pun terbuka.

Fadhil tidak mendengar apa-apa lagi. Ia pun berbincang dengan bapak Hanifah, sang paman juga ikut berbicara. Namun, setiap dirinya ditanya bapak Hanifah tentang alasan tidak datang, ia hanya menjawab akan menerangkan setelah memberi tahu Hanifah lebih dulu.

Suara pintu kamar terbuka, lalu tertutup, membuat Fadhil berdebar tidak karuan. Ia pikir akan melihat  lagi wajah Hanifah setelah dua minggu tidak bertemu. Namun, pikiran hanya pikiran, kenyataan ibu Hanifah datang ke ruang tamu seorang diri.

"Maaf ya, Nak Fadhil. Hanifah masih belum mau bertemu. Ibu sudah memaksanya agar keluar, tetap saja tidak mau. Hanifah bilang masih butuh waktu untuk menerima kehadiran Nak Fadhil kembali."

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang