Bab 12: Kebingungan Yang Menderu

14 5 0
                                    

Sejak dini hari Hanifah sudah berada di dapur, membantu ibunya untuk menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak. Memotong-memotong, mengiris-iris, mengulek-ulek merupakan pekerjaan Hanifah, sisanya sang ibu yang mengerjakan.

"Nif, Ibu masih ingin tahu bagaimana perasaanmu sama Nak Fadhil," tanya ibu Hanifah, meski tangannya tidak henti mengoseng bumbu.

"Perasaan apa, Bu?" Hanifah berpura-pura tidak paham.

"Kamu suka tidak dengan Nak Fadhil? Apa kamu sudah jatuh cinta?"

"Ibu, jangan bahas itu sekarang. Hanif lagi motong sayur, nih."

"Kamu berhenti dulu memotong, terus jawab pertanyaan Ibu."

"Ibu, Hanif tidak tahu harus menjawab apa. Hanif sama Mas Fadhil juga masih tahap kenalan."

"Manggil Mas Fadhil-nya biasa saja."

"Ibu...."

"Kamu tidak usah malu-malu begitu. Meski kamu tidak berbicara, ekspresi wajah dan sorotan mata kamu sudah menjawabnya. Ibu pernah muda, jadi tahu apa yang sedang kamu alami sekarang."

"Lalu kenapa Ibu tanya sama Hanif? Bukankah Ibu sudah tahu jawabannya?"

"Ibu hanya memastikan lagi. Ibu juga ingin kamu jujur atas perasaan kamu sendiri. Jangan kelamaan dipendam! Cerita sama Ibu. Jika kamu tidak suka, cerita, biar nanti Ibu bisa sampaikan ke Pak Ghani. Jika kamu suka, juga cerita, biar Ibu dan bapak bisa bantu kamu. Kamu harus tahu, Ibu dan bapak sudah lebih berpengalaman, kami tahu apa yang kamu rasakan saat ini."

"Makasih, Bu. Masih Hanif pikirkan lagi."

"Jangan kelamaan berpikir, kesempatan tidak datang dua kali. Jika kamu menolak saat ini, dia akan pergi, dan tidak akan kembali lagi."

"Hanif tahu, Bu. Tapi kan Hanif juga belum begitu kenal Mas Fadhil."

"Bukankah kemarin sudah bertemu, masa kamu belum mengenalnya?"

"Itu kan cuma sebentar, Bu."

"Jadi, kamu mau bertemu dengannya lebih lama?"

"Ibu...." Wajah Hanifah seketika memerah. Ia memotong sayur begitu kuat hingga terdengar suara potongan kasar.

"Kamu harus bisa menilai seseorang. Nak Fadhil itu laki-laki yang baik. Ibu dan bapak sangat berharap kamu bisa bersamanya. Tetapi semua kembali kepadamu, mau melanjutkan hubungan ini atau tidak. Dan Ibu juga tidak ingin kamu lama-lama kenal dengan Nak Fadhil. Jika sudah ada perasaan, lebih baik ambil keputusan untuk melanjutkan ke hubungan yang lebih serius."

"Apa, Bu? Hubungan yang lebih serius? Apakah tidak terlalu cepat?"

"Terlalu cepat? Kamu ingat sudah berapa kali kamu melewatkan kesempatan yang Ibu berikan? Ini sudah mundur sangat jauh. Jangan menunda lagi!"

"Ibu...."

"Apa kamu tidak ingin menikah?"

"Ingin, Bu. Siapa sih wanita yang tidak ingin menikah? Hanifah juga ingin. Hanya saja masih berat, tidak ingin kejadian itu terulang kembali."

"Lupakan yang sudah lalu! Sekarang kamu pikirkan masa depanmu sendiri. Ada laki-laki yang baik yang datang kepadamu, jika kamu tolak, tidak ada kesempatan lain lagi. Kamu sudah berulang kali menolak, itu tidak baik untuk masa depanmu."

Hanifah terdiam, mencerna setiap kalimat yang terlontar dari mulut ibunya.

"Menikah itu termasuk perintah Allah. Jika ada laki-laki baik yang mendatangimu, terimalah. Jika kamu sudah memutuskan suka dengan Nak Fadhil, besok, jika kamu bertemu, mintalah Nak Fadhil untuk bertemu Ibu dan bapak."

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang