Bab 15: Kerinduan Yang Datang

13 3 0
                                    

Cuaca panas semakin membuat hawa menjadi tidak nyaman, Fadhil sendiri harus menghabiskan banyak air minum lebih dari biasanya. Bahkan siang ini ia sudah menghabiskan air sebanyak dua botol.

"Pak Fadhil, kamu berkeringat lebih banyak dari biasanya apa tidak apa-apa?" tanya Pak Ghani yang kebetulan lewat di samping Fadhil.

"Tidak apa-apa, Pak. Hanya kepanasan baru saju dari luar," jawab Fadhil sambil mengelap wajah dengan handuk kecil yang ia miliki.
Melihat panas yang lebih tinggi dari biasanya, ia berusaha menghindari terik matahari. Dirinya juga harus menjaga panas tubuhnya agar tidak tinggi. Banyak air minum dan duduk dekat kipas merupakan hal yang bisa ia lakukan saat ini.

Begitu bel pulang sekolah berbunyi, Fadhil menghampiri Putra dan memintanya ke ruang guru saat beberapa murid sudah meninggalkan kelas.

"Ada apa, Pak?" tanya Putra sambil mengernyit.

"Hari ini kamu pulang bareng saya. Ada hal yang ingin saya bicarakan dengan ibumu," jawab Fadhil.

"Kenapa, Pak? Apa saya ada membuat masalah? Jangan lapor ibu saya, Pak! Pasti karena nilai-nilai saya jelek, ya?" Putra terlihat mulai panik.

"Bukan, bukan seperti itu Putra. Kamu tenang saja. Justru saya ingin membantu supaya nilai kamu bisa membaik lagi. Saya sudah selesai, ayo kita pulang." Fadhil mengangkat tas yang sudah berisi peralatan mengajarnya.

Ia pun mengantar Putra pulang dengan menggunakan sepeda. Sesampai di rumah Putra, ia harus disambut dengan tidak menyenangkan oleh ibu Putra.

"Terima kasih sudah mengantarkan anak saya pulang, tetapi lain kali sebaiknya tidak usah," ucap ibu Putra.

"Kedatangan saya ke sini bukan hanya mengantar Putra, tetapi ada beberapa hal yang ingin saya jelaskan sama Ibu mengenai Putra selama di sekolah."

"Ada apa? Cepat katakan! Putra kamu masuk dan ganti pakaianmu! Silakan, Pak!" Sehabis menyuruh Putra ke dalam, ibu Putra menyuruh Fadhil duduk di kursi di depan jendela.

"Saya tidak tahu ada masalah apa yang sedang Putra alami. Selama di kelas, Putra sering kurang konsentrasi dalam pelajaran. Jika seperti ini terus, nilai Putra akan tetap rendah."

"Maksud Bapak anak saya bodoh begitu?"

"Bukan seperti itu, Putra anak yang pandai, hanya saja dia kurang konsentrasi selama pelajaran."

"Lalu untuk apa Bapak datang ke sini? Menjelekkan anak saya?"

Fadhil menggeleng. "Saya mau minta izin kepada Ibu untuk mengajarkan secara khusus pelajaran yang nilainya rendah."

"Oo jadi Bapak datang ke sini mau jadi guru khusus terus minta bayaran? Pintar benar ya guru mencari uang. Maaf Pak, tidak perlu."

"Tidak seperti itu, Bu. Saya akan mengajar Putra secara gratis, karena saya hanya ingin membantunya saja."

"Mana ada guru yang sebaik itu, bohong kalau kamu tidak membutuhkan bayaran."

"Tidak apa-apa kalau Ibu tidak percaya, saya akan datang lagi besok. Oh iya, Putra sudah setuju diajarkan oleh saya, jadi besok saya akan datang ke sini lagi."

"Sekarang Bapak silakan pergi!"

Fadhil menjauh dari halaman rumah Putra, selepas itu terdengar ibu Putra menutup pintu dengan kencang.

"Putra, kamu berani-berani ya meminta guru kamu untuk mengajar di rumah? Memang Ibu punya biaya untuk membayarnya. Masih untung Ibu masih mau bayarin kamu sekolah." Teriakan ibu Putra terdengar hingga ke telinga Fadhil.

"Ibu, Pak Fadhil tidak meminta bayaran sama sekali. Pak Fadhil hanya ingin membantu Putra. Supaya Putra bisa dapat nilai bagus dan naik kelas."

"Dasar anak bodoh!"

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang