Bab 22: Kesiapan Yang Tertunda

13 5 0
                                    

Kehadiran Fadhil yang tiba-tiba tanpa memberi kabar membuat Hanifah panik. Ia yang sedang bersantai di tempat tidur, serta pakaian pun sudah acak-acakan, langsung duduk dan turun. Ia mendekatkan diri ke pintu, mencoba mendengar pembicaraan laki-laki itu dengan orang tuanya.

Begitu ia mendengar Fadhil ingin bertemu, debaran dalam dada tidak bisa dibendung. Karena terlalu mendadak, ia mondar-mandir sambil memikirkan sesuatu yang harus dilakukan.

Langkahnya terhenti saat mendengar panggilan dan ketukan dari sang Ibu. Ia berpikir sejenak untuk membuka pintu atau tidak. Ketika ketukan tidak kunjung berhenti, ia lekas membuka pintu. Dirinya langsung menarik sang Ibu masuk ke dalam.

"Nif, di depan sudah ada Nak Fadhil. Kamu siap-siap, terus keluar," ucap ibu Hanifah tanpa basa-basi.

"Bu, Hanif belum siap. Ini terlalu mendadak. Biar Ibu dan bapak dulu saja yang temui Mas Fadhil."

"Kenapa tidak kamu saja yang ketemu? Nak Fadhil juga memang mau bertemu langsung sama kamu, Nif. Sudah kamu siap-siap. Ibu tunggu di sini."

Hanifah menggeleng. "Bu, Hanif belum siap kalau sekarang. Ini saja perasaan Hanif sudah tidak nyaman. Takutnya kalau ketemu, nanti Hanif tidak bisa tahan emosi."

"Memangnya kamu tidak senang bertemu Nak Fadhil? Atau kamu masih marah dengannya? Kalau ketemu, kamu mau marah ya sampaikan saja. Biar sama-sama lega."

"Justru itu, Hanif tidak mau marah-marah. Hanif ingin bicara baik-baik dengan Mas Fadhil, tapi sekarang Hanif belum siap. Hati Hanif masih belum sanggup."

"Kamu beneran suka dengan Nak Fadhil, ya?" tanya ibu Hanifah yang menyadari perubahan raut wajah Hanifah saat menyebut nama Fadhil.

Hanifah tersenyum malu karena tertangkap basah oleh sang ibu. "Ibu sampaikan saja ke Mas Fadhil kalau Hanif belum siap bicara. Biar Hanif pikir-pikir lagi kapan bisa ketemu."

"Kamu ini, Nif, ada kesempatan bukan digunakan dengan baik. Kalau Nak Fadhil bersedia menunggu kamu, kalau tidak, kamu juga yang akan kehilangannya."

"Jika tidak bisa bertemu lagi, berarti Mas Fadhil memang bukan jodoh Hanif, Bu." Ada ketidaknyamanan saat dirinya menyebutkan hal itu. Saat ini, Hanifah masih yakin atas keputusannya untuk menunda. Ia tidak ingin menunjukkan sisi lemah dan mudah menangis di depan Fadhil.

Minggu telah berlalu, dan tiba hari Senin. Hanifah mulai disibukkan dengan membantu sang ibu berjualan. Meski sibuk, sesekali dirinya mengingat Fadhil. Ia memiliki janji pada diri sendiri untuk bertemu dengan laki-laki itu lagi. Untuk waktu bertemu, ia belum memikirkan.

Ketika sore hari, Hanifah mengunjungi masjid karena sudah ada janji dengan ustazah Rani dan Dewi. Ia berdiskusi dengan mereka membahas perlengkapan mengaji dan salat yang perlu ditambah dan diganti.

Karena hanya sebentar, ia pun segera pulang untuk beres-beres rumah. Begitu melintasi daerah rumah Putra, dari kejauhan, ia melihat Putra sedang belajar dengan seseorang di kursi depan. Jantungnya kembali berdebar.

Hanifah jelas tahu seseorang itu. Meski melihat dari jauh, ia bisa mengenalinya. Ia berjalan pelan-pelan sambil mengamati. Dirinya tidak percaya bisa melihat Fadhil lagi.

Debaran yang ia rasakan semakin jelas, begitu juga saat Fadhil mengangkat kepala dan melihat dirinya. Hanifah lekas menunduk. Meski ia lakukan itu, mata masih bisa melirik serta mengetahui jika Fadhil sudah berdiri dan bersiap jalan ke arahnya.

Karena Hanifah belum siap untuk bertemu, ia segera berjalan cepat menuju rumah.

Debaran terasa berkali-kali lipat dari sebelumnya. Efek itu akibat dari rasa senang, kaget, dan lelah. Ia buru-buru masuk ke rumah dan duduk di kursi.

"Nif, ada apa? Kamu kelihatan gugup begitu?" tanya ibu Hanifah yang datang dari ruang tengah membawa sepiring singkong rebus.

"Tidak ada apa-apa, Bu. Hanya barusan, Hanif berjalan agak cepat." Ia memilih tidak cerita baru saja melihat Fadhil karena Hanifah tahu sang ibu akan heboh jika sudah menyangkut laki-laki itu.

Setelah debaran mereda, ia bangkit dari duduk, lalu ke kamar mandi untuk membersihkan tangan dan kaki. Sambil melakukan itu, ia memikirkan kembali saat melihat Fadhil di rumah Putra. Ia melihat dan menyadari perubahan fisik yang terjadi pada laki-laki itu.

Hatinya seketika gelisah.

Azan Isya berkumandang. Hanifah yang sedang duduk di tempat tidur lekas ke toilet untuk mengambil wudu. Ia pun melaksanakan salat Isya di kamar. Selepas itu, dirinya mengganti pakaian dan menggunakan jilbab lebih lebar karena akan mengajar Putra mengaji.

Ia hanya mengundang Putra ke rumah setiap hari Senin dan Kamis. Selain hari itu, Putra tetap datang ke masjid. Hanifah sudah menunggu Putra di ruang tamu. Sang Ibu juga menemani sambil mengobrol dengannya.

Putra datang beberapa menit kemudian. Ia lekas menyalami Hanifah dan ibu Hanifah. Baru setelahnya, ia didampingi Hanifah melantunkan doa-doa, lalu mulai membaca Al-Qur'an.

Hanifah merasa kagum dengan kemajuan yang dialami Putra. Ia mendengarkan dan merasa Putra lebih lancar saat membaca. Setelah ia menjelaskan kepada Putra, justru ia terkejut dengan balasan sang murid.

"Alhamdulillah, Bu Hanifah. Putra juga diajarkan mengaji oleh Pak Fadhil. Pak Fadhil kalau baca Al-Qur'an lancar dan suaranya juga merdu. Putra jadi ingin bisa lancar mengaji seperti Pak Fadhil," ucap Putra begitu jujur.

"Masyaallah, Nak Fadhil memang menantu idaman." Ibu Hanifah begitu semringah, sedangkan sang anak mendelik. "Putra, apa kamu tahu kenapa Pak Fadhil tidak mengajar beberapa hari kemarin?" tanyanya tanpa ragu.

"Buuu," protes Hanifah.

"Pak Fadhil hanya bilang sedang sakit, tapi tidak cerita sakit apa. Terus Pak Fadhil juga minta maaf karena beberapa hari tidak bisa mengajari Putra."

"Astagfirullah, jadi Nif, Nak Fadhil tidak bisa datang ke rumah kemungkinan karena sakit. Ya Allah, pantas kemarin Ibu lihat Nak Fadhil kurusan." Ibu Hanifah menjadi muram.

"Benar, ibunya Bu Hanifah, Pak Fadhil jadi kurusan," sahut Putra.

Hanifah berusaha tetap tersenyum di depan Putra. Tentu saja, ia merasa tidak nyaman setelah mendengar kabar itu. Namun, ia tidak mungkin langsung menunjukkan kesedihan di depan sang murid.

Ibu Hanifah, yang sepertinya jadi kepikiran, pamit, lalu pergi meninggalkan ruang tamu. Hanifah memahami arah tujuan sang ibu pergi, yaitu ke kamar untuk menumpahkan isi hati ke bapak Hanifah.

Ia berusaha tenang sampai Putra selesai mengulang bacaan Al-Qur'an. Setelah Putra pamit, dirinya merenung sesaat, lalu mengunci pintu.

Ia mulai gelisah.

Kamar menjadi tempat yang tepat untuk ia kunjungi saat ini.

Hanifah pun duduk bersandar di tempat tidur, kaki diluruskan. Bantal ia taruh di atas kaki sebagai benda yang nyaman untuk menumpu tangan.

Ada dorongan dari dalam diri untuk mengeluarkan kesedihan yang sejak tadi ia tahan setelah mendengar kabar tentang Fadhil.

Ia sudah tahu sebuah kebenaran. Seharusnya ia mendengar langsung dari Fadhil, tetapi Allah memberi tahu dengan cara lain. Ya Allah, inikah jawaban yang ingin Engkau tunjukkan kepada saya? Perasaan tidak nyaman yang pernah saya rasakan apakah itu pertanda dari-Mu? Ya Allah berilah saya kekuatan dan ketenangan untuk menghadapi Fadhil.

Tanpa sadar, air mata telah luruh dari persembunyian.

Hanifah merasa lega karena sudah tidak ada lagi yang mengganjal dalam hati. Perasaanya semakin bertambah jelas, dan ia sadar Allah telah menguatkan ikatan antara dirinya dengan Fadhil.

================================

24 Juli 2021 @
Cinta di Tanah yang Kering
Ditulis oleh Dedew Lan Hua
Diikutsertakan dalam Anfight Batch 9

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang