Sudah beberapa hari sejak Putra mengalami kekerasan fisik, Hanifah semakin menyayangi anak laki-laki itu seperti adiknya sendiri. Dua hari lalu, Putra kembali ke pangkuan sang ibu.
Hanifah masih cemas membiarkan Putra serumah dengan sang ibu, tetapi sudah seharusnya memang mereka bersama. Ia setuju karena bapaknya memberitahu jika beberapa waktu rumah mereka masih dalam pengawasan.
Ia juga mendengar jika dua kali dalam seminggu, ibunya meminta ibu Putra untuk membantu berjualan. Ia berharap dengan interaski bersama ibunya, ibu Putra bisa semakin memperbaiki sikap.
Saat Hanifah sedang merapikan kamar, ia mendengar ponselnya bernada. Ia tahu bunyi itu menandakan ada sebuah pesan masuk. Ia menyelesaikan terlebih dahulu memasang sarung bantal, baru kemudian dirinya memgambil ponsel yang tergeletak di meja, lalu duduk.
Dirinya membuka pesan yang dikirim oleh Fadhil. Ia membaca pesan tersebut, "Assalamualaikum. Bagaimana kabar kamu dan sekeluarga?"
Hanifah pun membalas, "Alhamdulillah, baik, Mas Fadhil. Bapak dan ibu juga baik."
Saling kirim pesan tidak berlangsung lama, dirinya menanyakan kabar Fadhil dan ibunya, begitu juga Fadhil membalas lagi menanyakan kabar Putra.
Setelah Hanifah mendengarkan penjelasan dari Fadhil serta memaafkan laki-laki itu beberapa hari yang lalu, dirinya saling bertukar kontak. Ia tidak memikirkan untuk meminta nomor Fadhil, tetapi laki-laki itulah yang memulai dengan alasan untuk mengetahui kondisi Putra.
Hanifah tersenyum saat melihat pesan dari Fadhil. Padahal isi pesan tersebut hanya menanyakan kabar, tetapi hati tidak kuasa menahan gejolak bahagia.
Ia tidak berharap banyak bisa berkomunikasi panjang dengan Fadhil. Bahkan, tidak setiap hari dirinya mendapat pesan dari laki-laki itu.
Namun, ia tetap bersyukur karena hubungan dirinya dengan Fadhil menjadi semakin baik. Hubungan yang tidak membuat Hanifah tertekan karena harus saling menuntut dan termakan cinta buta.
Mungkin, ia sadari jika rasa cintanya semakin bertumbuh semenjak melihat Fadhil begitu perhatian terhadap Putra. Dirinya begitu takjub dengan kebaikan hati laki-laki itu kepada seorang anak kecil yang terluka.
Ia tahu cinta yang dirasakan adalah pemberian dari Allah. Tentu saja, dirinya tidak akan menolak dan berusaha menjadi perempuan yang pantas untuk laki-laki pilihan-Nya.
Salah satu hari yang bisa menyenangkan bagi banyak orang, yaitu hari Minggu. Hanifah merasa bisa lebih santai ketika hari itu tiba karena sang ibu tidak berjualan. Namun, ia masih harus tetap membantu ibunya membereskan rumah, terutama kamarnya.
Sambil membantu membersihkan dapur, Hanifah mengajak sang ibu berbincang. "Bu, hari ini tidak ada kegiatan di luar, kan?"
"Sepertinya tidak ada. Lagian mau ke mana? Mau ke rumah saudara kan juga dekat," jawab ibu Hanifah sambil mencuci piring kotor karena baru saja selesai sarapan bersama. "Memangnya kenapa, Nif?"
"Begini, Bu. Mas Fadhil bilangnya hari ini mau mampir ke rumah. Ia mau menjenguk Putra, jadi mau sekalian ke sini." Hanifah terlihat malu-malu saat menyebut nama Fadhil, tidak seperti sebelumnya yang terkesan masih biasa.
"Kalau mau mampir, ya, suruh mampir saja. Terus apa hubungannya sama Ibu?"
"Ibu jangan ke mana-mana, biar bisa temenin Hanif." Hanifah selesai mengelap meja, dan memilih duduk di kursi.
"Nak Fadhil pasti mau bertemu denganmu, Nif. Jika Ibu sedang tidak di rumah pun, pasti tidak masalah untuknya." Ibu Hanifah mematikan keran karena telah membersihkan seluruh piring kotor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di Tanah yang Kering ✔️
RomanceBlurb: Kejadian ketika musim panas panjang yang membuat tanah dan tumbuhan mengering, bahkan hingga kekurangan air. Begitu juga cinta yang hampir mengering karena belum menemukan kembali rasanya jatuh cinta. Fadhil mulai mencari pasangan karena sud...