Bab 11: Kelelahan Yang Melanda

21 10 0
                                    

Setelah salat Zuhur di masjid, Fadhil pun pulang sambil mengayuh sepeda. Ia meninggalkan Desa Tegalpingen menuju Desa Panunggalan, mengayuh sekuat tenaga meski panas tidak kenal mengasihani.

Tiga puluh menit berlalu hingga akhirnya Fadhil sampai di rumah. "Assalamualaikum," sapanya kepada sang penghuni rumah. Fadhil masuk dan tidak kuat lagi menahan kelelahan, ia langsung duduk bersandar di sofa.

"Waalaikumsalam." Ibu Fadhil muncul dari ruang tengah. "Dhil, kamu sudah pulang. Eh, kamu kenapa?" Ia panik ketika melihat anaknya sedang menghirup dan mengeluarkan udara dengan cepat. Ia mendekat untuk memegang wajah dan tangan Fadhil.

"Fadhil tidak apa-apa, Bu." Fadhil mengulas senyum.

"Tidak apa-apa sampai panas begitu. Kamu ganti baju, lihat bajumu basah semua kena keringat, terus istirahat di kamar."

"Nanti dulu, Bu. Fadhil masih ingin istirahat di sini sebentar."

"Istirahatnya di kamar saja." Ibu Fadhil menarik tangan Fadhil, membantunya berjalan ke kamar. Dengan lincah, tangannya menyentuh leher dan wajah Fadhil, memastikan lagi keadaan sang anak. "Kamu sampai panas begini pasti sudah berusaha keras. Kamu tetap harus jaga kesehatan, tidak boleh sampai terlalu lelah."

"Ibu tidak perlu khawatir. Fadhil bisa jaga diri."

"Kamu cepetan ganti banju." Ibu Fadhil membantu Fadhil duduk di tempat tidur. "Ibu akan siapkan makan siang. Kamu pasti belum makan, kan?"

Fadhil mengangguk. Kesempatan buat ia mengganti pakaian karena Ibunya sudah keluar ruangan sambil menutup pintu. Badanku pada sakit semua. Lelah sekali, pikirnya. Kemudian, ia merebahkan diri ke tempat tidur.

Bukannya tertidur, ia malah membayangkan sosok Hanifah; Hanifah yang sedang memakan bolu buatannya, yang terlihat malu-malu, yang memberikan minum untuknya. Namun, khayalan itu tidak berlangsung lama karena ibunya tiba-tiba masuk ke kamar.

"Ibu bawakan makan siang." Ibu Fadhil menaruh sepiring nasi serta lauk, dan gelas besar berisi air putih ke meja.

Karena makanan sudah datang, Fadhil pun bangun dari tidurnya untuk duduk. Kemudian, ia mengambil piring untuk menghabiskan isinya.

"Fadhil, bagaimana pertemuan kamu dengan perempuan itu?" tanya ibu Fadhil penasaran tanpa membiarkan sang anak menyelesaikan makan terlebih dahulu.

"Berjalan dengan lancar, Bu," jawab Fadhil di sela kunyahannya.

"Bagaimana orangnya? Siapa namanya?"

"Namanya Hanifah, Bu. Orangnya baik, ramah, wajahnya lumayan manis."

"Nama yang bagus. Kamu ke mana saja dengannya?"

"Ke sawah, terus pulang, mengobrol sebentar dengan orang tuanya."

"Panas-panas ke sawah? Sepertinya kamu cari masalah buat tubuh kamu, Dhil." Ibu Fadhil terlihat cemas. "Kamu kan tidak boleh kena panas berlebih, tidak boleh terlalu lelah, ini malah main panas-panasan di sawah."

Fadhil tersenyum. "Ibu tidak perlu cemas seperti itu, buktinya Fadhil baik saja-saja dan kembali ke rumah dengan selamat." Baru bicara seperti itu, ia mengalami batuk secara mendadak karena merasakan ada yang menyangkut di tenggorokan.

Ibu Fadhil panik dan langsung mengambilkan gelas air untuk Fadhil minum. "Tuh kan. Masih bilang baik-baik saja." Ia menepuk-nepuk pelan pundak sang anak. "Sudah, Ibu tidak akan bertanya-tanya lagi. Kamu habiskan makanmu, lalu istirahat. Jangan lupa minum obat penurun deman dan vitamin!" Karena tidak ingin mengganggu lagi, ia pun pun keluar kamar.

Fadhil selesai makan menaruh piring di meja, kemudian sesuai peringatan ibunya, ia meminum obat dan vitamin yang telah diambil dari laci meja. Meski berusaha terlihat segar, ia merasa lemah serta pusing. Ia sadar betul kelemahanya yang seperti ini. Sudah dari kecil, ia akan mudah demam dan batuk jika terkena panas berlebih, apalagi karena terlalu lelah.

Cinta di Tanah yang Kering ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang