26. Ruangan Gelap

14 0 0
                                    

Sudah berapa lama aku tidak kembali ke tempat ini? Ruangan gelap nan sunyi, hanya ada sebuah meja kecil, sebatang lilin yang menyala di atasnya, dan dua buah kursi yang berhadapan. Disana, di salah satu kursi itu, duduk sosok pria dengan wajah terlipat. Ah, aku masih teringat saat dulu pertama kali aku ke sini. Semua masih terlihat sama seperti kala itu, baik wajahnya yang menyebalkan maupun aura mengancamnya. Aku berjalan santai ke arahnya, duduk di sisa kursi yang kosong.

"Kenapa kau datang lagi kemari?" tanyanya ketus tanpa basa-basi.

Aku membalas dengan senyum. "Hanya untuk mengisi waktu. Tidak masalah, bukan?"

Sosok itu memalingkan wajah sambil mendengus keras. Mungkin baginya, diriku layaknya sebongkah daging busuk yang tergeletak di sudut kumuh pasar, amat menjijikan, atau apalah. Yang jelas, dari tatapan matanya, ia amat terganggu dengan kehadiranku.

Mengingat apa yang telah dilaluinya hingga detik ini, aku tidak mengambil hati atas sikap menyebalkannya itu.

"Maukah kau mendengar ceritaku?" tanyaku basa-basi.

Aku memandang lamat-lamat ekspresi mukanya. Wajah yang garang dan penuh sayatan itu terlihat tidak peduli, apalagi tertarik.

Aku menghela napas panjang menghadapi tingkahnya. Tanpa memedulikan respon tak acuhnya, aku tetap menceritakan pengalamanku sejak terakhir kali kami bertemu.

Selama bercerita, aku menyadari, sosok itu mulai terbawa suasana dengan cerita yang kusajikan. Ekspresi tak acuhnya perlahan-lahan menghilang. Terlihat beberapa kali ia berniat memotong cerita dan berkomentar, tapi diurungkan.

Hingga di satu bagian, di mana kuulangi lagi kesalahan yang sama, ia tidak bisa menahan diri untuk berkomentar.

"Hahaha, kau sungguh bodoh. Bagaimana bisa kau terjebak untuk hal yang sepele dua kali?" tawanya mengejekku.

Aku hanya menanggapi dengan senyum simpul. Lantas kulanjutkan bercerita hingga akhir.

"Sudah cukup ceritanya, kan? Kuakui, kisahmu memang menghibur. Kau begitu bodoh mau saja melakukan itu semua. Lalu, mau apa sekarang?" Ekspresinya kembali seperti semula, wajah yang menyebalkan. Seolah-olah ceritaku hanya angin lalu dan tak berarti apa-apa.

"Ingin membuatku lengah dan ingin meniadakanku lagi?" Matanya tajam menatap, seperti mata predator yang hendak menerkam mangsanya.

Aku menghela napas. "Kali ini tidak. Aku sudah lelah dengan semua permainan ini."

"Jadi?" Sorot matanya yang tajam masih tidak berpaling dariku.

"Jadi, untuk kali ini, silahkan kau yang mengambil alih."

"Hah?" ucapnya kaget sambil menggebrak meja.
"Apa otakmu ketinggalan, atau jatuh entah diman? Setelah sekian lama, setelah semua upaya yang aku lakukan dan berakhir sia-sia, tapi sekarang, tanpa angin tanpa guntur, kau datang dan mengizinkannya?" cerocosnya penuh selidik.
"Aku tidak akan terjebak, pasti ada sesuatu yang salah terjadi di luar," tambahnya dengan ketus.

"Kamu nanti bisa lihat sendiri, apakah itu jebakan atau bukan," balasku.

"Kau pasti paham, bukan? Jika tidak ada jebakan di luar sana, aku bersumpah, aku tidak akan kembali ke tempat terkutuk ini!"

"Ya, aku paham. Silahkan nikmati waktumu di luar."

Dia kemudian bangkit, berjalan menuju pintu dan meninggalkanku. Terdengar suara pintu dibuka, kemudian ditutup kembali. Tanpa perlu menoleh pun, aku tahu, ia sudah pergi.

Aku menengadahkan wajah ke atas. Hanya ada langit-langit tak berujung yang berwarna gelap. Entah kenapa, bukannya merasa takut ataupun kesepian, aku justru merasakan perasaan lain yang sudah lama tidak kurasakan. Aku mulai berandai-andai, apa yang sosok itu rasakan saat ia terkurung di ruangan ini? Apakah ia merasakan hal yang sama denganku, rasa lega dan perasaan lapang?

***

Entah sudah berapa lama aku duduk di ruang gelap ini. Mungkin sehari, seminggu, atau bahkan berbulan-bulan? Entahlah, aku sendiri tidak tahu pastinya. Toh, definisi waktu di ruangan ini terasa samar. Tidak lama berlalu, suara yang ditunggu-tunggu kembali terdengar. Telingaku menangkap suara pintu terbuka dan langkah kaki seseorang memasuki ruangan.

Akh, ternyata lebih cepat dari yang kuduga, pikirku.

Sosok itu kembali dengan wajah kusut. Jalannya gontai, seperti zombie. Dia langsung duduk di kursinya.

"Bagaimana kau bisa bertahan di luar sana?" tanyanya tanpa basa-basi. "Mereka itu monster!"

Ia mulai menceritakan apa yang ia dapatkan 'di luar' sana. Aku hanya tersenyum tulus sepanjang ia bercerita.

"Sekarang kau mengerti, bukan? Selama ini, mungkin kau berpikir aku mengurungmu, tidak membiarkanmu bebas. Itu bukan karena aku punya niat jahat padamu." Napasku tiba-tiba sesak saat mengingat semuanya.
"Aku hanya ingin kau tidak merasakan apa yang kurasakan."

Kutatap dengan hangat wajahnya yang murung itu. Secara reflek, tanganku menjulur ke depan dan hendak merangkulnya, tapi kuhentikan. Aku takut, aku akan terlena oleh perasaan. Ingin sekali diri ini tinggal lebih lama untuk menghiburnya. Namun, jelas itu tidak bisa.

"Sepertinya, sudah tidak ada lagi yang bisa kita bicarakan." Aku bangkit dari tempat duduk dan berniat melangkah pergi. Namun, tanganku ditahan oleh genggamannya.

"Kau mau ke mana?" tanya sosok itu dengan suara lirih. "Apa kau berniat kembali lagi ke neraka itu?"

Aku menjawabnya dengan anggukan pelan.

"Kenapa kau mau kembali ke sana? Mereka tidak pantas menemanimu. Tinggalah bersamaku di sini. Ya, di sini. Mereka tidak akan bisa mengganggumu lagi," bujuknya penuh ketulusan padaku.

Aku sedikit tersentuh karena baru kali ini, ia bersikap baik padaku.

Aku menggelengkan kepala pelan sebelum mengingatkannya.
"Apa kau lupa? Ruangan ini, hanya akan ada jika salah satu dari kita berada di luar. Jika kau dan aku terlalu lama menetap, kita akan hancur dan tidak menyisakan apapun."

Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Aku mendongakan mukaku ke atas, ke langit-langit gelap tak berujung yang menjadi atap dari ruangan ini.

"Kali ini, mungkin akan jadi terakhir kalinya aku ke sini. Kuharap kau bisa menjaga ruangan ini dan menghargai keheningan yang telah kuberikan."

Aku melepaskan genggamannya lalu berjalan ke arah pintu.

Saat aku membuka pintu, sayup-sayup, terdengar ucapan terima kasih darinya. Aku melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Pintu pun tertutup dan ruangan gelap menghilang.

Aku kembali menyusuri jalan yang biasa kulalui.

Well, hidup memang harus berlanjut, bukan?

Kaleidoskop - 3 Menit Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang