22. Hakekat Memberi

31 2 0
                                    

Dulu, saat aku diajak seorang teman menonton film No Game No Life : Zero di bioskop, ada sebuah pengalaman menarik yang aku alami. Aku sangat senang saat dia bilang bahwa dirinya yang akan membayar tiket nonton. Katanya, itu sebagai balasan karena aku membantunya belajar sehingga dia bisa mendapatkan nilai yang cukup memuaskan. Padahal, aku juga mendapat keuntungan karena dengan mengajarinya, aku bisa lebih memahami matkul-matkul itu. Saat aku menjelaskan hal itu padanya, ia tetap bersikukuh untuk mentraktirku. Ya sudahlah, rezeki masa ditolak, ya tidak?

Ketika film yang durasinya hampir dua jam itu selesai, kami keluar dari bioskop dan berniat mencari makan malam di daerah sekitar sini. Di dalam mobil temanku, kami masih saja membicarakan tentang film yang menakjubkan itu.

"Nggak nyangka ya, semua kekacauan itu gara-gara si Jibril. Padahal loh, di serialnya, Jibril cuman mahluk yang terlalu haus sama pengetahuan," ucap temanku.

"Iya, aku juga nggak nyangka. Kasihan kan Shiro harus mati gara-gara dia," timpalku.

Temanku hanya mengangguk-angguk.

Mobil yang dikemudikan oleh temanku kini sedang berhenti di perempatan jalan karena lampu lalu lintas berwarna merah.

"Oh ya, Bro. Kita jadinya makan di mana nih?" tanyaku memastikan. Tadi saat keluar dari bioskop, kami belum membahas tempat makannya.

"Restoran depan sana aja, yuk. Sepengelamanku sih, jam segini sudah agak sepi di sana."

Mendengar kata restoran, spontan aku langsung membuka isi dompetku, memastikan apa aku punya uang yang cukup untuk makan di sana.

Melihat gelagatku, temanku tertawa terbahak-bahak. "Sudah kubilang, hari ini semuanya aku yang traktir. Tidak perlu membuat muka yang mengenaskan seperti itu."

"Kamu yakin, Bro?"

Temanku mengangguk mantap.

"Makasih, ya."

"Aku yang harusnya bilang itu padamu, Roy. Makasih ya, sudah ngajari aku selama ini."

Aku membalasnya dengan senyum.

Hanya tinggal sepuluh detik lagi lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau, seorang pengemis tua mendatangi mobil ini. Pakaiannya sangat lusuh. Jalannya terseret-seret dengan kaki kiri yang membesar, jauh dari kata normal, entah karena penyakit apa. Hanya dengan melihatnya berjalan tertatih seperti itu saja, hatiku merasa trenyuh.

Sungguh kasihan sekali kakek ini. Kemana perginya anak-anaknya, sih. Hatiku sebagian merasa iba, sisanya merasa geram kepada anak-anaknya yang telah menelantarkan dirinya.

Pengemis tua itu berjalan ke samping kanan mobil ini dengan tangan yang menengadah ke depan. Melihat hal itu, temanku membuka pintu kaca mobil.

"Maaf, Kek. Kami tidak punya uang receh," ucapnya judes setelah pintu mobil terbuka sempurna.

Mendengar hal itu, aku sedikit kaget. Aku tahu, temanku berbohong karena kulihat sendiri kembalian dari beli tiket tadi berupa beberapa lembar uang ribuan. Belum lagi nada bicaranya yang judes itu, seperti bukan temanku yang biasanya.

Pengemis tua itu tetap mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, meskipun mendapatkan perlakuan seperti itu. Sesaat, sebelum ia berlalu pergi, aku mengambil beberapa uang dari dompetku dan memberikan padanya.

"Ini, Kek. Ada sedikit rezeki dariku. Mohon diterima, ya."

Mata kakek pengemis itu terlihat berkaca-kaca menerimanya, sedangkan temanku melotot padaku. Tidak ada obrolan saat itu karena lampu lalu lintas kini berubah warna menjadi hijau. Temanku harus kembali fokus menyetir mobil ini.

Setelah berjalan beberapa puluh meter dari tempat tadi, temanku kembali membuka obrolan.

Dengan ekspresi keberatan, dia bertanya kepadaku. "Kenapa kamu tadi memberi uang ke pengemis tua itu? Apa manfaatnya?"

"Lah, memangnya apa yang salah dengan memberinya uang?" tanyaku bingung.

"Ya nggak salah. Cuman uangmu akan terbuang sia-sia, Roy. Nggak ada untungnya juga buatmu dengan memberinya uang."

Aku semakin bingung dibuatnya. Sejak kapan memberi ke sesama tidak ada manfaatnya? Apa hidup ini hanya soal untung-rugi saja di matanya? batinku.

"Kalau aku menyedekahkan uangku dan melihat untung ruginya, itu namanya bukan SEDEKAH, kawan. Itu namanya BISNIS," balasku dengan berusaha menahan dongkol di hati.

Kaleidoskop - 3 Menit Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang