29. Memilih Tidak Jatuh Cinta

12 1 0
                                    

Saat itu, aku telah memasuki tahun akhir di SMA. Seperti anak seumurku lainnya, aku mempersiapkan UN. Saat itulah, terselip sebuah kisah yang sempat terlupakan.

Ada seorang gadis yang lebih muda dariku dua tahun, seorang junior yang satu sekolah denganku. Parasnya cantik, kulitnya putih, dan memiliki lesung di pipinya. Terlebih lagi, dia mempunyai bakat untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat indah. Tidak heran, begitu banyak siswa sekolahku dan sekolah lain berusaha mendapatkan hatinya.

Kami berdua sangat dekat, setidaknya dalam beberapa bulan terakhirku di sekolah. Kami berada di ekskul yang sama dan arah rumahnya juga sama sehingga sering bersepeda bersama saat pulang. Perlu diingat, selain mempersiapkan UN, aku juga ada tanggungan di ekskul untuk mengajari junior-juniorku, salah satunya dia.

Suatu hari, ketika siswa kelas satu dan dua boleh pulang sedangkan anak kelas tiga harus mendapat pelajaran tambahan untuk menghadapi UN, aku duduk di bawah pohon dekat lapangan basket. Aku duduk sendiri menikmati angin yang berhembus lembut.

“Sendiri saja, Kak?” suara lembutnya membuyarkan lamunanku.
“Nggak. Ini lagi sama si angin. Kamu nggak bisa lihat?”
Kami berdua tertawa kecil. Sebut saja namanya Lail.
“Belum pulang?” tanyaku basa-basi.
Dia kemudian duduk di sampingku.
“Lagi males. Pingin nunggu kakak saja, pulang bareng kayak biasa.” Lail menyenderkan punggungnya tepat di sampingku. Dia sudah biasa melakukannya, tetapi saat itu entah kenapa terasa berbeda.

“Sekarang lagi ada pacar, Kak?”
Pertanyaan itu menghujam hatiku. “Nggak, lagi konsen ujian.” (Klasik)
Lail menghela napas panjang mendengarnya.
“Kenapa nanya gitu?”
Dia hanya menggelengkan kepalanya pelan dan masih menempel di sampingku.
“Aku berpikir, aku tidak bisa jatuh cinta, Kak.”
Suaranya terdengar sangat pilu saat itu. “Kenapa?”

Dia menegakan kepalanya, melihat ke langit biru.
“Aku tidak yakin kenapa. Mungkin … karena aku dibesarkan dengan film Disney. Dimana tokoh utama wanita selalu mendapatkan pangeran impiannya. Aku berharap bisa seperti itu, Kak.” Dia melihat ke arahku kemudian mengalihkan pandangannya, “Tetapi setiap pria yang kutemui terlihat bodoh dan brengsek. Jelek juga.”

“Semua? Aku juga?” aku memasang wajah memohon.
“Kamu tidak bodoh, Kak. Tapi aku tidak bisa bilang kakak tidak jelek dan brengsek.”

Aku membantahnya, “Hanya karena aku tidak kemana-mana dengan kuda putih bukan berarti aku brengsek.”
Dia tersenyum tipis. “Bagaimana dengan bagian jeleknya?”
Aku hanya bisa menyilangkan jari telunjuk di depan dada. “Aku tidak memiliki pembelaan untuk itu.”
Kami kembali tertawa kecil.

“Kenapa ya sulit menemukan pria yang seperti itu, Kak?”
Aku merenung sejenak sebelum menjawabnya.
“Lail, jika kamu dibesarkan dengan film Disney, sebagian besar pria dibesarkan dengan film porno. Itu membuat mereka brengsek dan seringkali mengedepankan nafsu dari pada cinta.”
Wajahnya sama sekali tidak menampakan keterkejutan, mungkin dulu dia pernah mendengar jawaban seperti itu.
“Apa kau sama seperti itu, Kak?”
Aku menggelengkan kepala.
“Aku dibesarkan dengan film Disney juga. Aku masih menunggu wanita yang datang mencocokan kakiku dengan sepatu kaca yang dibawanya.”

Dia tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Melihatnya, perasaan lama itu datang kembali. Bel berdering saat dia masih asyik tertawa.
“Aku harus masuk kelas, Lail.”
Dia mengangguk.

Setelah itu, kami bertemu beberapa hari lagi saat kegiatan ekskul. Aku merasakan bahwa dia kurang fokus selama kegiatan berlangsung. Setelah selesai, kami pulang bersama seperti biasa. Saat hendak mengambil sepeda, dia tiba-tiba menarik ujung bagian bawah bajuku. Aku menengok ke belakang.

“Ada apa?”
“Masih ingat percakapan kita kemarin, Kak?” Dia tidak melihatku saat mengatakannya.
“Kenapa? Ada seorang tuan putri yang membawa sepatu kaca kemana-mana?”
Lail kembali tertawa mendengarnya. “Kenapa kakak tidak pernah serius sih?”
Aku menghela napas pelan.
“Hidup terlalu melelahkan untuk ditanggapi serius, Lail.”
“Aku berpikir sejak kemarin ….“ Dia menahan kata-katanya.
“Berpikir apa?” Aku masih ingat bagaimana wajahnya memerah kala itu.
“Mungkin, dengan kakak … bisa berhasil.”
Aku tahu, hari ini akan datang. Aku memalingkan wajahku darinya. Kami berdua diam cukup lama.
“Kamu ingat beberapa bulan lalu? Saat kita mulai dekat dan makan bersama di pinggir alun-alun?”
Dia berusaha mengingatnya.
“Hari itu, aku tersenyum sepanjang kita makan, senyum itu tidak pernah terhenti. Saat itu, aku baru saja berada di titik terpuruk. Dan kau menemaniku, memberikan kehangatan untuk hatiku.”
Perubahan raut wajahnya menunjukan bahwa dia ingat.

“Di akhir hari, kamu berkata padaku. Aku tidak akan pernah menjadi pacarmu. Seleramu terlalu tinggi. Kita lebih cocok sebagai teman.”
Dia hanya diam mendengarkan.
“Kita sama-sama menyadari perasaan masing-masing. Tetapi kamu belum siap untuk menerima cinta dan aku tidak percaya cinta. Demi itu, kita sama-sama memilih untuk tidak jatuh cinta.”

Aku mengulurkan tanganku, membelai lembut rambutnya.
“Sekarang, kamu bingung tentang cinta dan aku tidak siap untuk mencintai. Aku tidak ingin kita terluka dan kehilangan hal yang penting. Maka itu, sekali lagi aku memilih untuk tidak jatuh cinta.”
Air mata yang telah ditahannya akhirnya jatuh. Aku ingin memeluknya tetapi aku menahan diri, untuk kebaikan kami bersama. Sejak hari itu, dia mengambil jarak denganku. Aku mengerti tidak mudah untuk mengikis rasa. Setelah lulus, aku juga disibukan dengan banyak hal.

Beberapa tahun yang lalu, saat aku mensosialisasikan kampusku ke sekolah-sekolah, aku mendatangi kegiatan ekskul untuk nostalgia. Dan di situ, aku bertemu kembali dengannya. Dia telah tumbuh menjadi gadis yang dewasa dan sangat cantik. Kami tidak banyak berbincang. Di akhir pembicaraan kami, dia hanya mengatakan, “Aku masih memilih untuk tidak jatuh cinta.”

Kami bertemu lagi beberapa hari setelah hari kelulusanku dari kampus. Aku menceritakan tentang pengalamanku, pencapaian-pencapaianku, dan tentu saja, seseorang yang sedang dekat denganku belakangan ini.
Dia tersenyum tulus.
“Aku harap, kamu bahagia dengan pilihanmu, Kak. Doakan aku juga untuk bisa bahagia, ya. Keputusan kita hari itu, dapat kurasakan hari ini. Patah hati membuatku kuat dan dewasa, aku akan mengingatnya selalu.”

Itulah terakhir kali kami berbincang. Ya, pada akhirnya kami tidak bersama. Namun, kami belajar dan menyimpan banyak kenangan baik dan indah. Memang sulit memilih untuk tidak jatuh cinta, tetapi jika itu tepat maka hasilnya akan lebih baik. Tidak ada gunanya memulai hubungan yang kita tahu akan berakhir. Mencintai lebih baik dengan kesiapan bukan karena kesepian. Cinta bukanlah permainan, tetapi sesuatu yang penting untuk melengkapi hidup kita.

Note: semua ini hanya fiksi, sesuatu yang dikarang-karang saja oleh penulisnya 🙏

Kaleidoskop - 3 Menit Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang