8. Menghadapi Hate Speech

55 4 0
                                    

"Mas, gimana sih cara bikin cerpen yang menarik itu?" tanya seseorang yang belum lama kukenal melalui Whats App.

Aku sedikit tersentak membaca chat-nya. Kenapa dia tiba-tiba tanya seperti itu, ya?

"Ga tahu," jawabku jujur apa adanya. "Aku saja baru belajar menulis beberapa bulan ini."

"Oh, benarkah? Tapi yang di WP itu keren-keren loh," timpalnya.

Eh, apa mataku rabun? Aku berpikir keras memahami maksud tulisannya itu. Ah, mungkin nih anak basa-basi doang. Aku saja yang nulis merasa biasa saja tulisanku, malahan terkesan datar.
Akhirnya, demi sopan-santun, aku membalasnya dengan ucapan terima kasih.

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tanya seperti itu?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. Entah kenapa, rasanya aneh saja, baru belajar menulis tiba-tiba ada yang berkata seperti itu.

"Emm ... gimana, ya, mas? Aku kok ga bisa nulis cerpen, ya?"

Ia kemudian menceritakan kisah perjalanan menulisnya yang kuakui cukup membingungkan. Dulu saat masih sekolah, dia sering membuat cerpen dan katanya, cerpen dia itu selalu terpilih untuk dipentaskan di teater. Namun, semua itu berubah sejak dia bertanya ke teman dekatnya dan mendapat jawaban yang tidak ia sangka.

"Dia bilang, ga usahlah kamu nulis. Toh tulisanmu ga ada gunanya, jelek, ga layak dibaca," tulisnya. "Padahal loh mas, aku berharap dukungan dari dia."

Aku mencoba mencermati chat-nya itu. Beberapa menit kemudian, baru aku balas. "Hate speech, ujaran kebencian kayak gitu, abaikan saja. Ga perlu ditanggepin," kataku sok bijak.

"Tapi mas, itu membuat mentalku down. Setiap kali mau nulis cerpen, jadi kepikiran kata-katanya itu, takut kalau cerpenku jelek. Dan akhirnya, setiap nulis cerpen ga pernah jadi," curhatnya.

Saat itu, aku membayangkan bagaimana perasaanku jika di posisinya. Dikatai tulisannya jelek oleh sahabatnya sendiri, apakah sampai semenyakitkan itu, ya? Honestly, aku belum pernah mendapat hate speech dari orang yang pernah membaca cerpenku. Tapi, jika suatu saat aku mendapatkannya, apa ya yang harus kulakukan? Apakah aku harus memblokir akunnya agar tidak bisa menggangguku lagi?

Ah iya, aku jadi teringat dengan pengalamanku saat aku masih di perkuliahan. Saat itu, aku dan tim PKM-ku membuat prototype alat pengambil sampah di sungai yang didanai Kemenristekdikti. Baru beberapa bulan mengerjakan proyek itu, salah satu teman baikku memposting insta story dan men-tag namaku. Isi postingannya kurang lebih seperti ini, "Capek-capek kuliah cuman jadi pemulung, ya?" tulisnya dengan dibumbui emot tertawa.

Mungkin, dia cuma bercanda? Begitulah pikirku untuk menghilangkan berbagai asumsi negatif. Aku hanya menutup instagram dan melanjutkan pekerjaanku. Lagi pula, aku tidak punya waktu untuk meladeni candaannya saat itu.

Namun, kau tahu yang lucu dari kisahku? Beberapa bulan selanjutnya, dia bercerita untuk tugas PEM (Perencanaan Elemen Mesin), kelompoknya berencana membuat design alat yang prinsip kerjanya sangat familiar di otakku. Benar saja, saat aku konfirmasi ke dia, katanya, ia terinspirasi dari alat PKM timku. Aku tertawa geli saat mengingatnya.

"Mas ...," tulisnya.

Chat-nya itu mengembalikan kesadaranku yang sedang berkhayal, mengenang masa lalu.

Apa aku ceritakan saja ke dia, ya? Ah sudahlah, meskipun aku ceritakan, sepertinya dia juga ga akan paham, batinku. Oh iya, aku jadi ingat ....

"Kamu pernah dengar dongeng anak-anak yang judulnya Katak Tuli Memanjat Menara?"

"Hah, apa itu mas? Ga pernah dengar aku."

"Oh pantesan," jawabku sok keren.

"Emang apaan? Ceritain lah, mas," pintanya dengan emoticon memelas.

"Cari saja di mbah google. Sudah dulu, ya, aku ada urusan lain. Bye," balasku sambil bersiap-siap, ganti baju, dan sebagainya. Soalnya aku baru ingat, teman kerjaku mengajak kumpul bareng di kosannya sambil makan-makan.

"Mas ...," balasnya selang beberapa detik kemudian. "Jangan bikin kepo, lah ...."

Nanti dulu, ya, urusan perut lebih penting, batinku sambil menghiraukan chat-nya ^_^

Kaleidoskop - 3 Menit Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang