16. Sial vs Beruntung

20 3 0
                                    

Terkadang, hal-hal kecil seperti makan cemilan sambil mantengin laptop bisa membuatku lebih rileks dan bersantai. Apalagi jika tidak ada yang mengganggu atau mengajak bicara, dunia serasa milik sendiri. Namun, kedamaian itu sirna saat orang itu menepuk pundakku dari belakang.

"Roy, kenapa loe masih santai sih menghadapinya?" tanya orang itu yang diiringi dengan sesegukan.

"Hah?" balasku sambil memutar kursi ke belakang.

Kulihat Randi, seseorang yang belum lama kukenal itu membiarkan air matanya mengalir melalui pipi. Wajahnya yang tidak terlalu ganteng semakin jelek saja dengan kondisinya saat itu.

"Bukannya loe senasib dengan kita, gagal tes CPNS?" Matanya yang dibalut garis-garis merah seakan tidak menutupi tatapan rasa ingin tahunya.

"Ho oh, terus?"

"Emang loe ga sedih? Ga kecewa?"

Mendengar hal itu, aku menghela napas. Entah untuk berapa kali lagi kejadian seperti ini terulang dalam hidupku.

Sambil mencomot kacang atom dan memasukannya ke dalam mulutku, aku mulai menjelaskan padanya.

"Sedih sih sedih. Kecewa ... tentulah. Tapi, meskipun kita menangis sampai keluar air mata darah pun, emang bakalan berubah keputusannya? Enggak kan?"

"Ya tapi ... kok loe bisa sesantai gitu?"

"Entahlah, karena terbiasa, mungkin," jawabku asal.

Ia kemudian memelototiku, seakan tidak mau melepaskan diriku jika tidak memberikan penjelasan yang memuaskan. Aku kembali menghela napas, tetapi kali ini lebih panjang.

"Baiklah, untuk mudahnya saja. Coba jawab pertanyaanku ini. Misal, kamu telat bangun dan ada rencana bepergian naik pesawat. Secara kalkulasi, jelas ga bakalan kekejar, tapi kamu teruskan perjalanan ke bandara. Eh lah, kok macet parah. Menurut kamu sial atau beruntung?"

"Ya sial lah. Sudah bangun telat, eh kena macet," jawabnya.

"Nah, ternyata pesawatmu delay penerbangan 3 jam sehingga kamu tetap bisa bepergian naik pesawat, alias ga ketinggalan. Kalau gini, kamu sial atau beruntung?"

"Ya jelas beruntung banget," lanjutnya,"Apaan sih, kok malah jadi tanya jawab gini?"

"Tapi di ruang tunggu yang sama, ada orang yang mengejar kerja sama bisnis. Kalau terlambat, ia kehilangan proyek bernilai milyaran rupiah. Gara-gara delay pesawatnya, dia kehilangan proyek itu. Menurutmu, itu sial atau beruntung?"

"Sial," jawabnya pendek, mungkin sebal karena aku tidak mempedulikan pertanyaannya.

Aku hanya tersenyum menanggapinya sebelum melanjutkan pertanyaanku lagi. "Beberapa bulan kemudian. Rival bisnisnya yang memenangkan proyek karena pesawat orang itu delay, kena tipu. Proyek itu ternyata palsu, penipuan. Nah, berkaca dari itu, orang yang kamu temui di pesawat beruntung atau sial?"

Ia terdiam, sepertinya ia mulai memahami maksudku.

Dari sini, kamu pun sudah paham, kan? Bahwa sebenarnya penilaian kita terhadap sebuah peristiwa bisa berubah seiring berjalannya waktu. Ya, seiring waktu, lalu ada kejadian lain setelahnya, judgement kita atas sebuah peristiwa, bisa berbalik 180 derajat. Sebuah peristiwa yang kita katakan sial pada suatu waktu, 6 bulan, 1 tahun, atau 5 tahun mendatang, bisa jadi malah kita syukuri.

Mungkin saja ada kejadian pagi ini, kemarin, atau bahkan setahun yang lalu masih sulit kamu terima. Beruntung dari mananya? Jelas-jelas aku disakiti. Mungkin begitulah penilaianmu. Tapi, lihat saja seiring waktu berlalu, karena semua hal dalam hidup tidaklah tetap. Semuanya mengalir, semuanya berubah.

Penderitaan dimulai, saat kita kaku dalam menilai. Kita terus-menerus memegang penilaian atas sebuah peristiwa yang tidak mengenakan itu dan menutup mata atas perubahan yang terjadi.

Aku kemudian memegang bahunya. "Karena pemahaman seperti itulah, aku lebih bisa menerimanya. Dan lagi, dari pada terus berkabung, menurutku lebih baik merencanakan untuk ke depannya seperti apa. Bukankah begitu?" ucapku sambil tersenyum.

Kaleidoskop - 3 Menit Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang