Seorang pengelana telah mengunjungi banyak tempat di belahan bumi untuk mencari pengalaman. Suka, duka, tawa, tangis, gagal, dan berhasil telah ia lalui. Semua begitu damai dalam kehidupan sang pengelana hingga di suatu titik, sang pengelana merasa jenuh dan mulai mempertanyakan jalan hidupnya.
Sebenarnya, apa yang kulakukan ini? Apa untungnya bagiku. Bukankah setelah semua yang terjadi, yang kulakukan ini sia-sia saja? Pertanyaan itu menghantuinya kemanapun ia pergi dan tidak bisa membuatnya tidur nyenyak.
Ia sudah menanyakannya ke banyak orang. Semua orang yang ia kenal, mulai dari tetua desa, pemimpin besar, profesor, bahkan orang-orang filsuf pun tidak sanggup memberikan jawaban yang memuaskan baginya. Pertanyaan yang mulanya sederhana itu mulai berkembang menjadi sesuatu yang sulit dipahami oleh akal sehat. Hingga sampai ke titik puncaknya, ia mulai mempertanyakan soal keyakinannya.
Hingga suatu hari, ia bertemu seorang penjual payung di jalanan. Ia ingin membeli payung karena saat itu hujan turun tiba-tiba. Sempat terpikirkan untuknya menanyakan hal itu. Namun, ia terlihat pesimis. Bagaimana tidak? Orang-orang yang ia anggap berpengaruh besar, terpelajar, dan berwawasan luas saja tidak bisa memuaskannya apalagi rakyat jelata yang hanya berprofesi sebagai penjual payung jalanan? Namun, setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya untuk mencoba peruntungannya.
"Pak, saya ingin membeli payung," ujar sang pengelana.
"Oh, silahkan. Silahkan dipilih sesuai yang mas suka. Harganya sama semua, lima puluh ribu."
"Saya pilih yang itu deh, pak." Sang pengelana menunjuk payung yang ingin ia beli, payung yang berwarna hijau. "Eh ya pak, boleh tanya sesuatu tidak?"
"Silahkan, mau tanya apa mas?"
"Apa bapak punya sebuah keyakinan?"
"Ya tentu saja. Memang kenapa dengan hal itu, Mas?"
"Menurut bapak, apa sih arti sebuah keyakinan? Buat apa kita mempunyai keyakinan jika hidup masih seperti itu-itu saja? Toh keyakinan tidak bisa merubah apa yang sudah dan akan terjadi, kan?"
Si penjual payung sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Waduh mas, saya tidak paham hal begituan. Saya ini orang bodoh mas, makanya saya hanya bisa jualan kayak gini." Si penjual payung menunjuk payung-payung barang dagangannya.
"Jawab saja, menurut pandangan bapak," pinta si pengelana dengan sedikit memaksa.
Saat penjual mengambilkan payung hijau sesuai keinginannya sang pengelana, dia mendapat ide untuk menjawab pertanyaan itu. Sebuah jawaban yang ia buat asal-asalan.
"Mmmm ... mungkin seperti ini. Mas tahu, keyakinan itu ibarat sebuah payung? Tentu payung tidak bisa menghentikan hujan. Namun, mas bisa menghindarkan diri mas dari basah kuyup karenanya.
Dengan keyakinan, meskipun tidak bisa meloloskan diri dari hal menyakitkan, tapi saya rasa itu akan menjadikannya sebuah harapan untuk kita bisa bangkit kembali."Sang pengelana terlihat merenungkan jawaban itu. Tanpa memahami perubahan reaksi sang pengelana, si penjual payung menyodorkan payung yang dibelinya. "Ini mas, payungnya," ucapnya memecahkan lamunan sang pengelana.
Sang pengelana kemudian mengucapkan terima kasih sambil tersenyum, senyum yang sudah lama hilang dari raut wajahnya.
Terima kasih, pak, atas jawabannya. Akhirnya, aku bisa melihat sedikit cahaya dari tempat yang gelap ini. ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop - 3 Menit Untuk Selamanya
Short StoryTerkadang, hal yang singkat dalam hidup memberikan kesan yang lebih mendalam Kadang pula, sesuatu yang terlihat sederhana memberikan pelajaran yang berharga Dan mungkin saja, peristiwa yang tidak banyak orang tahu justru yang membuatnya bermutu Kale...