9. Potong Antrian

37 4 0
                                    

Di salah satu sudut pasar, terdapat sebuah antrian yang mengular sangat panjang. Apa pasalnya? Karena hari ini adalah hari raya Imlek, seorang pemilik toko sembako yang beragama Kong Hu Cu berniat membagi-bagikan sembako secara gratis.

Matahari baru mulai menampakan dirinya. Toko yang katanya akan bagi-bagi sembako itu masih tertutup rapat. Namun, para warga sungguh sangat khidmat menunggu pintu tralis itu dibuka. Tidak ada yang bergeser sedikit pun dari tempatnya. Untungnya, tidak terjadi kerusuhan dan saling dorong selama para warga mengantri. Mereka cukup tahu diri dan sadar bahwa semua orang berhak mandapatkan jatah sembako gratis. Mereka juga kelihatannya tahu adab bahwa yang pertama datang, berhak yang duluan, terlepas dia itu laki-laki atau perempuan, yang masih muda belia maupun yang sudah tua renta. Sungguh harmonis melihatnya.

Namun, keharmonisan itu tak bertahan lama. Secara tiba-tiba, ada seorang kakek renta dari paling belakang sendiri menerobos antrian.

"Kek, antri dong kek! Datang terakhir ya nunggu di paling belakang," ujar salah satu pemuda yang sedang antri dengan cukup keras. Hal itu membuat semakin banyak warga menyadari bahwa ada yang memotong antrian.

Sang kakek hanya tersenyum sebelum melangkahkan lagi kakinya menerobos antrian. Melihat hal itu, para warga menjadi geram.

Seorang ibu yang juga sedang mengantri menepuk pundak si kakek. "Kek, kakek tuli, kah? Nggak dengar yang dibilang cowok tadi?" ucap ibu itu dengan nada judes.

"Kakek ada urusan di depan, Nak." Kakek itu melepaskan tangan si ibu dari pundaknya secara halus sambil tersenyum.

Kakek itu kemudian melanjutkan jalannya. Namun, baru tiga langkah, seorang pria berbadan kekar menghadangnya. "Woy, kek. Antri dong! Yang lain juga antri. Tua-muda sama di sini," bentak pria itu sambil mendorong si kakek ke belakang.

Karena dorongan itu, si kakek mundur beberapa langkah dan hampir jatuh. Senyuman menghilang dari wajah kakek itu. "Nak, apa kamu tidak tahu siapa kakek ini?" Si kakek terlihat amat kecewa.

"Aku nggak peduli siapa kakek! Kalau kakek orang kaya pun, harus antri kalau ingin sembako gratisan," bentak pria berbadan kekar itu.

Pria berbadan kekar itu kemudian menarik paksa si kakek ke antrian paling belakang. Terdengar bersaut-sautan hujatan untuk si kakek. Terdengar pula pujian untuk pria berbadan kekar, terutama dari ibu-ibu. Mendengar hal itu, pria berbadan besar semakin semangat menyeret si kakek.

Si kakek dengan amat kecewa membiarkan dirinya diseret ke antrian paling belakang. Bagaimana tidak? Usianya dan badan ringkihnya itu sungguh tidak sebanding dengan orang yang menyeretnya.

Sesampai di antrian paling belakang, pria berbadan kekar itu tidak langsung kembali ke tempatnya. Ia memberikan sebuah ancaman serius.

"Dengar ya, Kek! Jika kakek masih berani menerobos antrian lagi, jangan salahkan ini-ku akan melayang," bentak pria itu sambil mengarahkan tangan kanannya yang mengepal ke muka si kakek.

Si kakek hanya bisa menelan ludah sambil mengangguk tak bersuara.

"Ingat! Awas kalau sekali lagi berani menerobos," ancam pria itu sebelum kembali ke posisi antriannya.

Selang beberapa menit, si kakek memutuskan untuk keluar dari antrian itu dan pergi ke salah satu warung yang tidak terlalu jauh dari situ.

Satu jam, dua jam, tiga jam, tidak ada tanda-tanda pintu toko akan dibuka. Orang yang antri pun mulai gelisah. Selain karena cuacanya yang semakin panas, orang-orang yang mengantri juga mulai kehausan. Mereka tidak menyangka harus menunggu selama ini.

Dari kejauhan, si kakek melihat para warga yang mengantri itu sambil tertawa kecil. "Rasain, lu. Panas panas dah, lu. Sampai malam pun, ga akan oe buka tuh toko."

Kaleidoskop - 3 Menit Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang