23. Gara-Gara Anak Kecil

27 2 0
                                    

Saat dulu masih remaja, pernah tidak kalian bermain ke rumah teman lawan jenis yang satu sekolah? Entah sekedar jalan-jalan atau ada kerjaan kelompok, aku yakin kalian pernah mengalaminya, kan? Lalu, apa yang kalian rasakan? Apakah bahagia bisa bertemu dan mengobrol santai dengan 'Dia'? Begitu pula denganku. Namun, ada satu kejadian di mana kunjunganku ke rumah teman menjadi salah satu mimpi burukku.

Namanya Rieska Naomi. Perawakannya yang ramping dengan seutas senyum yang acap kali muncul di bibir mungilnya membuat para lelaki langsung jatuh hati padanya. Kuakui, wajahnya yang imut itu memang memberikan daya tarik tersendiri. Apalagi orangnya sangat friendly. Beruntunglah diriku yang kebetulan sekelompok dengannya di tugas biologi.

Sore itu, dengan hati berbunga-bunga, aku menyusuri jalan setapak menuju rumah Rieska. Siapa juga yang tidak senang, saat tiba-tiba mendapat chat WA yang memintaku datang ke rumahnya.

"Roy, ini Rieska. Kapan nih kita ngerjain tugas Pertumbuhan dan Perkembangan?"

"Terserah. Aku sih bisa kapan saja."

"Kalau gitu, nanti sore gimana?"

"Boleh. Mau di mana ngerjainnya?"

"Emm .... Di mana, ya?"

Kulihat di layar handphone-ku, ia masih mengetik. Kutunggu beberapa saat lagi, masih tetap dengan keterangan yang sama, 'sedang mengetik'.

"Jadinya di mana?" balasku karena geregetan.

"Eh, sorry, Roy. Ini aku sambil ngasuh keponakanku. Ibuku sama tanteku lagi belanja di mall soalnya. Jadinya, aku yang diminta untuk menjaga si Kecil," balasnya setelah selang beberapa menit. "Eh ya, di rumahku saja ngerjainnya gimana?"

Sebenarnya aku ingin terus chat-an dengannya. Siapa juga yang tidak tertarik untuk terus mengobrol dengan idola sekolah? Namun, aku juga harus tahu kondisi. Aku sadar, dia sedang kewalahan menjaga anak kecil. Ya sebenarnya, karena aku anak terakhir, aku tidak tahu sih seberapa sulitnya menjaga anak kecil. Oleh sebab itu, aku hanya membalas 'Oke.'

Begitulah, janji bertemu dengan bidadari cantik di rumahnya. Sesampai di sana, aku mengetuk pintu. Pintu pun terbuka dan kulihat seorang gadis cantik yang terlihat sedikit terkejut, tetapi ia tetap tersenyum menyambutku.

"Ah, Roy. Aduh, maaf banget. Aku kira mama sama tanteku bakalan balik sebelum sore. Tapi barusan dikabari, mereka baru pulang nanti malam. Aku juga lupa enggak ngasih tahu kamu. Jadi gimana, ya? Apa gapapa kalau kita belajar kelompok sambil aku jagain keponakanku?"

"Gapapa, kok. Aku malah senang bermain dengan anak kecil. Serasa kayak keluarga kecil, kan?"

"Terus aku jadi apanya?"

"Ya jadi bundanya lah. Eh tapi, cocok juga sih jadi ayahnya," ucapku dengan raut muka yang kupaksa serius.

"Hus, jangan mikir kejauhan. Kita masih kecil," katanya sambil mengerucutkan bibir mungilnya. "Lagian, masa iya, aku jadi cowok?"

"Ya siapa tahu mau nyoba, kan?" jawabku sambil mengedipkan mata.

"Dasar. " Ia kemudian tertawa kecil.

Ahh, sungguh manis sekali melihatnya tertawa seperti itu, batinku. Meskipun ia berusaha menutupinya, aku tahu dari wajahnya, dia sedang kelelahan. Karena itu, aku pun merasa bahagia saat ia bisa tertawa, meskipun hanya tertawa kecil.

"Eh ya, Roy. Aku kenalin dengan keponakanku, ya?" tanyanya dengan senyum yang merekah.

"Boleh," jawabku dengan tersenyum pula.

"Andi, turun sini. Ada yang mau kakak kenalin," pekiknya keras sampai membuat telingaku penging.

Kemudian seorang anak kecil berumur sekitar lima tahun berlari turun dari lantai dua.

"Andi ... stop! Jangan lari saat turun tangga. Nanti kepleset gimana?" bentak temanku itu. Namun, anak kecil yang bernama Andi tetap berlari saat turun dari tangga. Melihat hal itu, aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku akhirnya paham mengapa dia bisa sebegitu capeknya walaupun hanya mengurus seorang anak kecil.

Saat sudah sampai di bawah, aku memegang pundaknya dan menasehatinya. "Andi, jangan kayak gitu lagi, ya? Kasihan kak Rieska. Dia khawatirin Andi."

Bukannya mendengar nasehatku, justru tanganku ditepis olehnya."Kamu siapa? Kenapa mahluk jelek sepertimu bisa datang kemari? Pergi sana. Hus...Hus." Tangan kecilnya melambai-lambai ke depan seolah-olah mengusirku.

Sontak, aku menoleh ke temanku. Wajahku sungguh mengisyaratkan kebingungan. "Ini harus bagaimana?" Begitulah kurang lebih arti dari raut wajahku kala itu.

Namun, bukannya membantu, dia hanya menutup mulut sambil menahan diri agar tidak tertawa.

"Atau, kau itu monster Planet Namek yang mau mengambil kak Rie? Enggak boleh! Enggak aku ijinin," ucapnya sambil berdiri diantara aku dan temanku itu. Ia membentangkan kedua tangannya, berusaha menghalangi diriku.

Temanku langsung tertawa terbahak-bahak. Karena saking kesalnya, aku pun jongkok dan berkata pada anak kecil itu.

"Kamu enggak tahu siapa aku?" tanyaku dengan penuh penekanan.

"Emang kamu siapa!" bentaknya dengan keras.

Namun aku tahu, dia sedang ketakutan menatapku. Terlihat jelas dari tangannya yang gemetaran. Aku tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu yakin tidak kenal aku, Andi?" tanyaku menggodanya.

"Siapa kamu?"

"Perlu kamu tahu, aku adalah dirimu dari masa depan. Hahaha."

Langsung saja, anak kecil itu menangis histeris. Dalam tangisannya, ia berulang kali bilang bahwa dirinya tidak mau menjadi jelek di masa depan.

Ya seperti itulah kisahku, yang awalnya kupikir akan menyenangkan bisa belajar kelompok dengan gadis cantik, justru hari itu harus kuhabiskan waktuku bersamanya untuk menenangkan seorang anak kecil yang menangis tanpa henti.

Hanya saja, dia tidak tahu. Sebenarnya, ada dua orang yang menangis kala itu. Yang satu, menangis dengan mengeluarkan air mata. Yang satunya lagi, menangis dalam hati. 

-_-

Kaleidoskop - 3 Menit Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang