12. Buku Tidak Membuatmu Pintar

33 4 7
                                    

Selama ini, satu hal yang aku yakini secara pasti bahwa semakin banyak kita membaca, maka kita akan semakin bijaksana dan pintar dalam menghadapi berbagai hal, apalagi jika bahan bacaan kita adalah buku-buku yang memuat berbagai pengetahuan. Namun, pemahamanku berubah seketika setelah aku bertemu dengan orang yang 'pintar' itu.

Sebut saja namanya Deris. Dia teman kuliahku yang baru beberapa hari ini kuketahui bahwa dia memiliki hobi yang sama, membaca buku. Suatu hari, dia mengajakku ke rumahnya untuk memperlihatkan koleksi bukunya.

"Aku juga suka baca buku loh, Roy. Sudah puluhan buku yang pernah kubaca. Nanti malam ke rumahku, ya. Mau aku lihatin koleksi bukuku," ajaknya di suatu hari.

Tentu saja, tawarannya itu langsung aku setujui. Siapa tahu aku bisa pinjam beberapa bukunya untuk dibaca. Atau paling tidak, aku punya beberapa referensi judul buku yang menarik.

Sesampai di rumahnya, langsung saja aku diperlihatkan koleksi bukunya yang menakjubkan itu. Terlihat berderet-deret buku tersusun rapi di raknya. Sungguh, aku dibuat terpana melihatnya. Bayangkan saja, koleksi bukunya itu bahkan hampir lima kali lipat dari total semua buku yang pernah aku baca.

"Bro, semua buku ini milikmu?" tanyaku basa-basi.

"Tentu saja!" jawabnya dengan mantap.

Ia mengambil beberapa buku dari rak dan memperlihatkannya padaku.

"Ini beberapa koleksi favoritku, Roy," katanya antusias. Ia tanpa pikir panjang langsung menjelaskan bagaimana susahnya ia mendapatkan buku-buku itu.

"Respect Yourself ini, aku dapatkan dulu saat berlibur ke LA. Terus, aku juga bela-belain ke Eropa di tahun berikutnya untuk dapatkan Pale Blue Dot ini. Nah, untuk yang Phisycs karyanya Halliday-Resnick, aku belinya saat jalan-jalan ke Singapura," ucapnya sambil tersenyum bangga.

Entah kenapa, aku kurang nyaman dengan kata-katanya itu. Mengapa ia tidak menceritakan betapa hebatnya isi dari buku favoritnya, tapi justru aku merasa ia sedang memamerkan liburan ke luar negerinya?

Aku juga punya salah satu dari buku itu. Kuakui, kualitas isinya memang tingkat dewa. Sebanding sih dengan harganya, uhuk, yang bisa bikin jantung sekarat. Untung saja, aku berhasil menemukan e-book gratisnya di internet (barang ilegal, mohon jangan ditiru ya ^_^).

"Terus yang buku-buku lainnya?" tanyaku basa-basi.

"Itu sih, sebagian besar aku beli di gramed. Sisanya, aku beli online dari situs luar negeri."

"Oh, terus semua buku ini, sudah kamu baca?"

"Jelaslah. Aku kan suka baca buku," jawabnya dengan senyum penuh makna.

Hal itu membuatku semakin kagum sekaligus iri padanya. Dia punya banyak uang, bisa beli buku apapun yang ia mau untuk dibaca. Sedangkan aku? Sebagian besar buku yang pernah kubaca hanyalah e-book dari internet. Sisanya pinjam dari teman atau numpang baca di perpus.

Aku kembali mengamati buku-buku yang tersusun rapi di raknya. Tidak kusangka, ia juga punya buku yang baru-baru ini sedang aku baca.

"Ah, ternyata kamu juga ngoleksi novel ini. Belum lama ini, aku pinjam dari temanku dan baru setengahnya kubaca. Apa pendapatmu tentang novel ini?" tanyaku sambil menarik novel bersampul merah dari rak buku.

"Oh, Kami (Bukan) Jongos Berdasi, ya?" ucapnya sambil memegang dagu.

Kuperhatikan dengan teliti, ia sedang berpikir keras. Mungkin, ia masih mencoba mengingat isinya. Wajar saja, dengan bacaan sebanyak itu, pasti akan sulit mengingat salah satunya.

"Yang isinya tentang perjalanan karir geng Ogi setelah lulus kuliah, ingat?" ujarku untuk memancing ingatannya.

Ia menggelengkan kepalanya.

Mungkin perlu petunjuk yang kejadiannya cukup berkesan, pikirku. "Sarang tikus, ingat?" tanyaku memancingnya lagi.

Ia berpikir sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya juga.

"Yang awalannya si Sania dimarahi sama atasannya itu loh, masih nggak ingat?"

Tanpa aku duga, ia justru ingat yang itu. Padahal menurutku, awalannya biasa saja. Tapi tak apa, yang penting ia sudah ingat dengan isinya sehingga kita bisa berdiskusi tentang novel itu.

Sepuluh menit pun berlalu, aku hanya menelan kecewa saat mengetahui diskusinya berat sebelah. Ia seakan-akan tidak tahu apapun tentang novel yang sedang kupegang ini. Hal itu membuat suasana menjadi canggung.

Untuk mencairkan suasana, aku mengalihkan topik pembicaraan ke buku favoritnya. Setidaknya, jika menyangkut buku favoritnya, ia pasti mendalami isinya karena sudah dibaca berkali-kali. Begitulah pikirku. Namun nyatanya, aku terpaksa tersenyum canggung saat menyadari ada banyak kekeliruan. Semua argumennya tidak berdasarkan buku itu dan terlihat jelas mengada-ada. Dengan berat hati, aku menghentikan diskusi.

"Kamu yakin sudah memahami buku itu?" tanyaku memastikan.

"Sudahlah, kamu nggak percaya?" tanyanya sewot.

"Kuakui, itu memang salah satu buku yang termasuk sulit kupahami juga. Sudah kubaca lima kali pun, tetap masih banyak yang belum masuk ke otakku. Kamu sudah baca berapa kali?"

"Ya cuma sekali lah. Ngapain baca banyak-banyak? Kalau aku baca itu terus, bagaimana aku bisa baca yang lainnya?"

Buku pengetahuan dengan berbagai kosa kata yang sulit dipahami, hanya dibaca sekali? Mendengar penuturannya, mulutku ternganga.

"Terus, novel yang tadi, yang sebelumnya kita bahas, kamu yakin membaca semua isinya?" tanyaku tajam. Aku memiliki dugaan untuk orang-orang yang seperti ini. Tidak sepenuhnya yakin, tetapi jika benar, sungguh amat disayangkan.

"Enggak lah. Aku cuma baca awal dan akhirnya saja. Jika aku baca semua isinya, bagaimana bisa aku punya buku sebanyak ini?"

Aku hanya tersenyum getir saat mengetahui dugaanku tepat. Sungguh amat disayangkan, buku-buku bagus sebanyak ini, ditempatkan di rak yang bersih, hanya sebatas pajangan untuk memperlihatkan kepintaran sang pemilik yang tidak bisa menghargai, apalagi memahami mereka.

Kaleidoskop - 3 Menit Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang