Aku sedang menikmati sepiring nasi goreng yang tersaji di depanku. Aku mulai mengingat-ingat, rasanya sudah lama sekali diri ini bisa menikmati makanan sesedap ini. Karena hal itulah, aku sengaja memperlambat makanku demi menikmati saat-saat seperti ini.
"BRAK!"
Tiba-tiba ada gebrakan tangan di meja yang mengagetkanku. Gebrakan itu sangat keras, bahkan sampai membuat piringku sempat meloncat beberapa mili.
Aku memandang ke depan, ke arah seseorang yang telah berhasil mengganggu acara santap nikmatku. Oh, ternyata si Rahmat. Ya, dia, pemuda yang amat kukenal. Dia teman sekosku, juga teman yang sering menjadi tempatku untuk meluapkan segala cerita.
Dengan wajah yang memerah, entah karena kesal atau marah, dia mulai menghujaniku dengan pertanyaan. "Kudengar kau memaafkan si Bella? Apa itu benar?" tanyanya menyelidik, tanpa basa-basi.
Aku sekilas memandang wajahnya, wajah yang menolak untuk percaya dengan kabar yang ia dengar. Wajah yang dipenuhi kebencian. Tentu kebencian itu bukan terarah padaku, tetapi pada sesosok manusia yang menurutnya amat jahat. Bella namanya. Baginya dan kalau boleh jujur, bagiku juga, dia adalah satu-satunya wanita yang paling buruk peringainya yang pernah aku temui. Tidak berlebihan jika aku mengumpamakannya sebagai duri dalam daging. Sejak aku bertemu dengannya, hidupku hancur. Semua impian, semua rencana masa depan yang sudah kususun dengan matang, raib tak tersisa. Semua itu terjadi karena satu orang, ya wanita yang bermuka manis tapi berhati busuk itu.
Aku menghela napas. Entah untuk keberapa kalinya aku harus mengulang jawaban yang sama kepada teman-temanku. "Tidak ada yang salah. Semua seperti apa yang telah kau dengar," jawabku malas sambil menyendok nasi goreng dan berniat untuk melanjutkan makanku.
Dia memegang erat bahuku dan mengguncang-guncangkannya. Nasi goreng yang sedang kuambil dengan sendok mulai jatuh berceceran di atas meja. Dia sepertinya tidak peduli atau tidak tahu dengan akibat perbuatannya yang memubazirkan makanan.
"Sadar woy! Kau bego atau amnesia, hah? Perbuatannya sangat keterlaluan, bagaimana bisa kau memaafkan dia?" Dia pun memulai sesi ceramahnya untuk mengingatkanku akan keburukannya. Kadang aku merasa aneh, aku yang disakiti kok malah teman-temanku yang ribut sendiri? Ya sudahlah, kuputuskan untuk menjadi pendengar yang baik hingga emosinya bisa ia kendalikan.
Selang 30 menit, kurasa, ia menyelesaikan sesi ceramahnya.
"Lalu menurutmu, aku harus bagaimana? Apakah aku harus melemparnya ke jurang agar selesai semua masalahku dengannya? Atau, apakah aku harus menguburnya hidup-hidup agar berkurang wanita busuk yang ada di muka bumi ini? Benarkah seperti itu? Bukankah itu justru membuatku terlibat masalah yang tidak perlu?" tanyaku sambil tersenyum.
Ia hanya diam, tidak bisa menjawab pertanyaanku. Selang beberapa saat, ia justru balik bertanya, "Lantas, kenapa kamu memaafkannya? Apa yang kamu dapatkan dari memaafkannya?" Nada bicaranya sudah lebih lembut dari sebelumnya.
"Yang aku dapatkan dari memaafkannya? Hmm ... tidak ada."
Mendengar jawabanku membuat temanku bersiap melontarkan ceramah jilid 2-nya.
Aku langsung buru-buru menambahkan, "Tapi, aku kehilangan beberapa hal seperti kemarahan dan dendam. Hal itu membuatku bisa tidur lebih nyenyak dan makan dengan nikmat. Itu alasan yang cukup bagus, bukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop - 3 Menit Untuk Selamanya
Short StoryTerkadang, hal yang singkat dalam hidup memberikan kesan yang lebih mendalam Kadang pula, sesuatu yang terlihat sederhana memberikan pelajaran yang berharga Dan mungkin saja, peristiwa yang tidak banyak orang tahu justru yang membuatnya bermutu Kale...