Jaehyun bukan orang menganggap cinta itu salah. Setiap orang berhak merasakan cinta, pada siapapun. Tapi cinta tetap memiliki batas. Setiap orang memang ditakdirkan untuk jatuh cinta, tapi tidak untuk memilikinya.
Dari awal pertemuannya dengan Jaemin, Jaehyun telah mengalami banyak keanehan. Ia menyadarinya, dan dengan sadar membiarkan keanehan itu terus tumbuh. Itu karena Jaehyun hanya menganggap dirinya yang merasakan. Tidak pada Jaemin yang ternyata merasakan hal yang sama.
Jaehyun kira hanya ia yang perlu menahan perasaannya. Jaehyun kira hanya ia yang perlu merasakan kegundahannya.
Jaemin masih terlalu muda, masa depannya terlalu berharga untuk "dibenci" dunia. Seegois apapun ia bisa bertindak, bisa apa manusia hidup tanpa manusia lain? Tidak mendengarkan apa kata orang memang bisa dilakukan, tapi apa bisa menghadapi Tuhan atas segala keputusan?
Semakin mengenal Jaemin, Jaehyun mengerti anak itu membutuhkan seseorang untuk mendukungnya, seseorang yang selalu ada untuknya, dan Jaehyun tidak keberatan untuk menjadi seseorang itu. Dengan status apapun Jaemin menganggap dirinya.
Tapi Jaehyun juga tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan lebih dengan Jaemin, dalam artian cinta. Dirinya tidak cukup gila untuk melewati batas. Ia masih memiliki orangtua serta keluarga yang tidak bisa ia kecewakan di rumah.
Jaemin tidak bisa dihubungi. Sudah satu minggu, dan itu berasil membuat ia gelisah. Rasanya sungguh aneh saat orang yang setiap hari ada menghilang begitu saja. Otaknya tidak bisa berhenti memikirkan si manis.
"Jaehyun!"
Jaehyun tersentak kaget. Hal pertama yang ia sadari adalah tatapan kesal ibunya.
"Karena kau diam, berarti iya." Ibu meletakkan selembar foto di meja Jaehyun, "besok pukul 7 malam di Universe Café. Jangan sampai terlambat."
"Tapi Eomma—"
Belum sempat memprotes, pintu ruangannya tertutup. Ibu sudah pergi.
Jaehyun mengambil foto itu. Seorang wanita bergaun merah muda tengah tersenyum. Cantik. Tapi tidak ada kesan lainnya.
Kencan buta. Bukan ibunya sekali melakukan hal seperti ini. Sepertinya ini tujuan sebenarnya kepulangan Sooyoung.
.
.
"Minjung," Jaehyun memasuki kamar keponakannya. Ia duduk di tepi ranjang sedangkan si pemilik kamar sibuk dengan bukunya di meja belajar, "Bagaimana hubunganmu dengan Jaemin? Kalian sudah baikan?"
Minjung menggeleng pelan, menutup bukunya lalu memutar posisi duduk menghadap sang paman.
"Aku sudah minta maaf padanya, tapi dia bilang tidak ada yang perlu dimaafkan karena aku tidak melakukan kesalahan," suaranya terdengar parau bahkan matanya mulai berkaca-kaca. "Dia bilang kami tetap berteman, tapi sikapnya menjadi dingin padaku."
Tangan Jaehyun terulur, menepuk pelan bahu Minjung. "Kau sangat menyukainya ya?" dadanya terasa sesak melihat seserang yang ia sayangi menangis, juga seseorang di luar sana yang tanpa ia bermaksud sakiti hatinya.
"Samchon, apa boleh aku berdoa kepada Tuhan agar menyatukanku dan Jaemin di masa depan?"
Jaehyun tersenyum tipis, ia mengangguk pelan.
"Samchon, kalau suatu saat nanti Jaemin membalas perasaanku, kau akan mendukungku 'kan? Kau tidak akan mempermasalahkan latar belakangnya 'kan?"
Lagi-lagi Jaehyun mengangguk.
"Samchon, hanya kau yang tahu aku menyukai Jaemin. Tolong jangan katakan pada siapapun apalagi pada Appa."
"Tentu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Call It Ours (2Jae)
Fanfiction[JAEJAE] Jaehyun yang selalu gagal dalam percintaannya dengan wanita, bertemu Jaemin-si anak asuh pasangan gay-yang tengah mencari jati diri. "Kau tahu? Cinta bisa tetap dimiliki tanpa harus saling memiliki."