"Itu Jaehee dan ibunya."
Jantung Jaemin berdebat kencang. Ingatan itu tiba tiba masuk. Bukankah foto itu yang dulu sering Tiffany tunjukkan padanya?
Tidak mungkin kan?
"Jaemin, kenapa?"
Jaemin hanya menggeleng menjawab pertanyaan Jaehyun. Otaknya masih memproses apa yang ia lihat hari ini.
Matanya kembali fokus pada sepasang ibu dan anak yang tersenyum. Perut wanita dewasa di sana besar, dan anak bernama Jaehee itu menatap perut ibunya dengan sayang.
Foto itu sekilas mengangatkannya pada foto yang pernah Tiffany tunjukkan, tapi juga tidak begitu jelas dalam ingatannya karena itu sudah sangat lama dan setiap kali wanita itu bercerita tentang keluarga, Jaemin menolak. Baginya saat itu, cerita Tiffany hanya dongeng omong kosong untuk menghiburnya.
Jaemin berpikir, seperti kebanyakan teman-temannya, ia juga anak yang dibuang dan tidak diinginkan. Jaemin tidak pernah percaya cerita akan keluarganya yang sangat menyayanginya. Karena baginya, jika mereka benar menyayangi Jaemin, kenapa tidak membawa ia pergi bersama? Kenapa meninggalkannya sendirian?
Foto dan beberapa barang yang Tiffany tunjukkan dulu bahkan ia tinggalkan begitu saja saat kepindahannya bersama Sehun dan Chanyeol.
Jaemin menggenggam erat lengan Jaehyun, ia bingung dengan perasaan asing yang tiba-tiba memenuhi hatinya.
"Jae, sepertinya aku mengenal foto itu."
"Siapa? Kau pernah melihatnya di suatu tempat?"
Jaemin menggeleng, ia masih mencoba menepis jika foto yang di depannya dan apa yang ia ingat berbeda.
"Baekhyun Hyung, kapan bayi itu lahir?"
"Aku ingat itu bulan Agustus." Ucapnya tidak yakin, "apa kalian mau melihat foto Jaehee yang lain?"
Baekhyun membawa Jaemin dan Jaehyun ke lantai atas. Laki-laki itu berjalan beberapa langkah di depan.
Jaemin merasakan jantungnya berdegup cepat. Kenapa ia gugup?
"Apa kebetulan kau pernah mengenal Jaehee, seperti Jaehyun?"
Bukan hanya Jaehyun, kini Baekhyun pun menatap Jaemin khawatir.
Jaemin menatap Jaehyun yang berjalan di sampingnya. "Kau mengenalnya?"
"Kami beberapa kali bertemu di kegiatan amal."
"Di panti yang ada di foto itu?"
"Ya. Aku baru tahu kau dulu tinggal di sana."
Jaemin tidak pernah menceritakan masa lalunya sebelum bertemu Sehun dan Chanyeol. Karena ia juga ingin melupakan waktu yang ia habiskan di panti. Baginya itu hanya kenangan menyakitkan dimana tiap harinya ia selalu merasa dibuang dan tidak diinginkan.
"Masuklah."
Ruangan kerja Baekhyun tidak jauh beda dengan pameran di lantai bawah. Di sana juga terpajang banyak foto.
"Ibunya Jaehee, Yoona Noona adalah temanku. Dia sangat baik, suka sekali mengikuti kegiatan amal. Katanya ia ingin menjadi alasan senyum terbaik di dunia, dan itu menurun pada Jaehee."
Baekhyun membuka komputernya. "Kemarilah. Aku sangat menyesal karena tidak bisa mengantar mereka ke peristirahatan terakhir."
Baekhyun mempersilahkan Jaemin duduk, sementara ia dan Jaehyun berdiri.
Folder bersama Lovely Angel Na Jaehee dibuka. Mereka pasti orang yang berarti untuk Baekhyun.
"Jaehee sangat menunggu kelahiran adiknya, katanya mau mengajaknya bermain di taman." Baekhyun membuka foto sebuah gambar dia anak kecil bermain ayunan, "Jaehee yang menggambarnya."
Mata Jaemin memanas melihatnya. Foto berganti, masih gambar crayon, kini gambar empat orang saling bergandengan.
Appa. Eomma. Jaehee. Jaemin.
"Mereka sudah menyiapkan nama. Na Jaemin."
Jaemin merasakan seseorang memeluknya. Itu Baekhyun. "Seharusnya aku mencarimu lebih keras. Seharusnya aku lebih cepat mengenalimu, Jaemin-a."
Jaemin menangis. "Kenapa mereka pergi meninggalkanku? Mereka jahat."
Dalam foto-foto itu, mereka terlihat sangat bahagia. Sebuah keluarga utuh yang selalu Jaemin idamkan. Bahkan mereka pergi bersama tanpa membuat salah satunya kehilangan.
"Tidak Jaemin, mereka sangat mengharapkan kehadiranmu. Tapi takdir berkata lain."
Lalu, apakah sekarang ia harus menyalahkan takdir?
Dua puluh tahun hidup, selama itu pula Jaemin membenci siapapun yang membawanya ke dunia lalu meninggalkannya sendirian.
Appa. Eomma. Jaehee. Jaemin.
Kotak kayu. Tiffany pernah menunjukkannya pada Jaemin. Katanya itu adalah barang - barang yang ditinggalkan keluarganya. Tapi Jaemin tidak pernah membukanya.
Jaemin melepas pelukan Baekhyun. Ia berlari meninggalkan ruangan itu.
Kotak kayu itu, Tiffany tidak membuangnya kan?
"Jaemin!"
Jaemin terus berlari. Tujuannya saat ini adalah panti.
"Jaemin ada apa?"
Langkah Jaemin terhenti. Joohyun menahannya. Tatapannya khawatir. Beberapa saat ia hanya menatap wanita yang beberapa hari ini menjadi ibunya. Mereka begitu memperlakukan Jaemin dengan sangat baik.
"A-aku harus pergi." Jaemin terbata. Air mata masih mengalir di pipinya.
"Kemana? Aku akan mengantarmu." Joohyun mengusap pipi Jaemin. Ia bahkan ikut menangis.
"Tidak." Jaemin menghindari Joohyun yang hendak memeluknya. Tapi langkahnya kembali terhenti oleh pelukan seseorang.
Jaehyun berhasil menahannya.
"Jaemin tenanglah, tenangkan dirimu. Kau mau kemana? Aku akan mengantarmu."
Jaemin memberontak, tapi Jaehyun memeluknya semakin erat.
"Kau harus tenang dulu. Kita ke sana sekarang."
Pelukan Jaehyun sedikit menenangkan hatinya. Jaemin membalas pelukan itu, menangis di bahu orang yang beberapa lama ini mengisi hatinya.
"Jae, benarkah mereka menyayangiku?" Tanya Jaemin lirih. Suaranya serak karena tangisan. Ia merasa bersalah telah memiliki pikiran buruk pada keluarganya.
Kenapa dulu ia selalu mengabaikan Tiffany saat wanita itu memberitahunya? Kenapa sedikitpun ia tidak mau percaya?
"Tentu. Mereka sangat menyayangimu."
Jaemin sudah lebih tenang, Jaehyun melepas pelukannya beralih menggenggam tangan Jaemin. "Aku akan mengantarmu. Kita ke sana sekarang."
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Call It Ours (2Jae)
Fanfiction[JAEJAE] Jaehyun yang selalu gagal dalam percintaannya dengan wanita, bertemu Jaemin-si anak asuh pasangan gay-yang tengah mencari jati diri. "Kau tahu? Cinta bisa tetap dimiliki tanpa harus saling memiliki."