Hanya sebentar saja.
Tidak ingin menyakiti.
Demi kebaikannya.
Itu semua hanya alibi bagi si pengecut Jaehyun yang berjuang keras bersama egonya.
Kasihan.
Simpati.
Sayang.
Cinta?
Jaemin benar-benar melakukan kesalahan besar dalam jatuh cinta. Kenapa ia menjatuhkan hatinya pada si pengecut Jaehyun? Kenapa tidak hanya Jaehyun saja yang mencintai? Bukankah itu lebih mudah? Jaehyun tidak perlu memikirkan perasaan Jaemin yang akan tersakiti. Cukup dirinya.
Jaehyun tidak memiliki rencana apapun saat membuat pilihan untuk menjalin hubungan, masa depan benar-benar terlihat gelap. Yang ada di pikirannya hanya satu, menjaga Jaemin sampai si manis menemukan kebahagiaannya sendiri.
Tapi kebahagiaan seperti apa?
Tapi, bagaimana jika Jaemin justru semakin terikat padanya? Atau justru ego Jaehyun sendiri yang nantinya akan menghalanginya untu pergi?
"Jaehyun, kau tahu dua hal apa yang membuatku berpikir jika Tuhan masih menyayangiku?"
Jaehyun menoleh, menatap sang terkasih dari samping. Jaemin begitu indah. Tuhan memberkati setiap bagian dari ciptaan-Nya yang satu ini.
"Apa?"
"Tuhan mempertemukanku dengan Daddy dan Papa, lalu dirimu." Jaemin menatap langit malam dari atas kap mobil Jaehyun. Sesekali menyesap kopi pahitnya. "Aku mungkin sudah putus asa jika Daddy dan Papa tidak membawaku hari itu. Aku mungkin sudah mati jika tidak bertemu denganmu." Begitu santainya si manis bicara.
Pandangan mereka bertemu. Jaehyun yang berdiri menyandar di samping Jaemin menatap kekasihnya tidak suka. "Jangan berbicara tentang kematian semudah itu." Setiap perkataan adalah doa.
"Mati mati mati."
"Jaemin!" Jaehyun mendekap tubuh kurus itu. Ia merasa takut hanya dengan tatapan penuh rasa sakit dari si manis. Ia menyandarkan kepalanya pada dada Jaehyun yang berdegup kencang. Ini bukan debaran jatuh cinta.
"Kau tidak boleh meninggalkanku atau aku akan mati."
Jaehyun mengangguk, lalu melepas pelukannya. "Jangan katakan itu lagi." Ia mendongak menatap Jaemin yang kini menunduk.
"Jaehyun, cium aku."
Jaehyun hanya diam. Hembusan angin malam menjadi melodi dingin diantara keduanya.
"Kau tidak mau? Tapi aku mau."
Jaehyun merasakan kehangatan tangan Jaemin di wajahnya, sebelum kehangatan lain membawa mereka pada dosa yang lebih dalam.
Aku sudah pernah memberimu kesempatan untuk pergi, Jaehyun. Tapi kau memilih tinggal. Jadi jangan salakan aku jika aku tidak akan pernah melepasmu.
.
.
Hari-hari berlalu begitu saja, terasa cepat saat sudah terlewati, meski detik demi detiknya begitu berat dijalani. Waktu akan terus berjalan bahkan jika kau berhenti atau bahkan mati.
Jaemin tidak menunggu untuk merasa sakit lebih dalam. Jaemin tidak tinggal untuk merasakan luka yang lebih menyakitkan.
"Kami telah berpisah."
Bagai dibawa terbang setinggi langit, lalu dihempaskan begitu saja ke jurang terdalam, senyuman Jaemin atas kepulangan orangtuanya hanya bertahan sebentar.
Jaemin kira mereka kembali karena merindukannya, Jaemin kira mereka datang untuk menjemputnya kembali pada kebahagiaan. Memang benar, jangan pernah menaruh harap pada manusia.
Jadi, selama ini mereka pergi untuk mengurus perceraian. Wah, menakjubkan sekali. Jaemin hanya bisa tertawa dalam hati.
"Jaemin ikut Papa ya."
Jaemin menoleh, menatap laki-laki yang selama ini berusaha memberikan peran seorang ibu padanya. Ia yang selalu menghapus air mata Jaemin, mengusap rambutnya sampai tertidur, atau hanya sekadar menanggapi celotehan tidak pentingnya meski sibuk dengan pekerjaan.
Jaemin sangat menyayangi Papanya.
"Kenapa aku tidak ikut Daddy?" Tatapannya beralih pada sosok lain yang sedari tadi diam. Daddy, orang yang selalu melindunginya, berdiri paling depan jika ada yang menyakitinya, bahkan berjanji untuk memukul siapapun yang membuat putra kesayangannya menangis.
Air mata jatuh. Jaemin tidak lagi bisa menahan kesedihannya.
Daddy, kenapa diam saja? Seorang— ah tidak, ada dua orang telah membuat Jaemin menangis.
"Keuangan Daddy sedang tidak stabil. Tidak mungkin Daddy membiarkanmu ikut menderita."
Jawaban itu bukan yang Jaemin harapkan terdengar oleh telinganya. Ia tidak masalah hidup di pinggir jalan pun. Asalkan itu bersama Daddy, dan Papa.
"Kenapa aku harus ikut Papa?" Jaemin kembali menatap Papanya yang menunduk dalam.
Kesedihan yang semakin terpancar di wajah rupawan papanya adalah hal paling ia benci di dunia ini."Jaemin—"
"Kenapa aku harus ikut salah satu dari kalian? Aku tidak akan pergi kemanapun."
"Rumah ini harus dijual."
Jaemin menatap tidak percaya pada Papanya. Begitu mudahnya kalimat itu diucapkan. Tidakkah mereka tahu seberarti apa rumah ini bagi Jaemin?
Ah, Jaemin, kau harus sadar diri. Sejak awal kau bukanlah siapa-siapa bagi mereka.
"Jual saja. Aku akan pergi dari rumah ini, tapi tidak dengan ikut salah satu dari kalian." Lagipula apa yang Jaemin harapkan dengan ikut Papanya? Tidak ada. Semua harapan Jaemin telah hancur.
"Dimana kau akan tinggal? Dengan kekasihmu itu? Kau yakin dia mencintaimu?"
Jaemin diam. Ia tidak bisa menjawab, pertanyaan Daddy terasa beribu kali menghujam jantungnya. Seketika tersadar. Kata cinta memang tidak pernah terlontar dari bibir kekasihnya.
"Setidaknya dia tidak pernah meninggalkanku sendirian."
Park Chanyeol dan Oh Sehun. Meski hanya sebentar, Jaemin sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan kalian. Tidak ada mantan anak atau mantan orangtua. Selamanya Jaemin akan mengingat kalian sebagai Daddy dan Papa yang telah mengenalkan kebahagiaan meski itu harus berakhir.
Maafkan Jaemin yang lancang. Tidak peduli kalian menganggap Jaemin sebagai apa sekarang. Tapi Daddy dan Papa, begitu Jaemin akan selalu menyebut kalian dalam doanya.
...
TBC
Adakah yang nyangka ortunya Jaemin itu Chanyel Sehun?
Jadi aku kepikiran bikin lanjutan FF ChanHun yang Unlucky Perfection, yang konsepnya aku ambil buat FF ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Call It Ours (2Jae)
Fanfiction[JAEJAE] Jaehyun yang selalu gagal dalam percintaannya dengan wanita, bertemu Jaemin-si anak asuh pasangan gay-yang tengah mencari jati diri. "Kau tahu? Cinta bisa tetap dimiliki tanpa harus saling memiliki."