11 -- Babak baru

28 7 6
                                    

"Tangkis serangannya dengan benar!"

"Eyy, sudah kubilang untuk pusatkan seluruh energimu di tangan. Aissh, kenapa gerakanmu kaku begitu?"

"Iya, begitu, bagus ... Serang, tangkis, serang, tangkis!"

"Hey, jangan kau pukul kepalanya!"

"Baron Jhon, Mark pingsan lagi!!"

Dari Jarak yang lumayan jauh, Count Levie dan Viscount Edo mengamati 11 calon prajurit khusus yang dipilih dari 50 orang yang King Edward pilih secara langsung sedang berlatih di bawah didikan Baron Jhon.

Butuh waktu sekitar tiga bulan bagi Count Levie dan Viscount Edo untuk memilih 11 calon prajurit khusus yang tangguh. Keduanya bahkan harus berkali-kali menghadap Marquis Leo agar mendapatkan tambahan waktu untuk melatih calon prajurit khusus.

"Aku akan pergi menemui Duke William untuk membahas tentang pengangkatan Prince Thomas. Hari ini Marquis Leo tak bisa kutemui karena sedang bertugas di perbatasan. Kau awasi mereka semua selama aku pergi. Kau paham, Viscount?" titah Count Levie.

"Siap, Count! Laksanakan!" jawab Viscount Edo lantang.

Count Levie tersenyum tipis, lalu membalikkan badan dan pergi dari balkon kastil.

Viscount Edo kemudian memilih untuk turun ke lapangan dan mengamati pelatihan Baron Jhon kepada para calon prajurit khusus dari dekat tenda yang didirikan untuk para calon prajurit khusus.

.
.
.
.

"Aku sudah bilang pada kalian untuk tak memukul kepala teman kalian. Vernon, apa yang kau lakukan pada Mark sampai dia pingsan begini?" omel Baron Jhon. Saat ini Baron Jhon meminta kesepuluh 'anak didiknya' untuk berbaris.

Jhon mendengkus kesal, lalu menatap tajam pada Kevin yang senyum-senyum sendiri di barisan belakang. "Aku tak berbuat apapun dan aku tak tak tahu apa yang sudah terjadi pada Mark. Apa aku memang terlihat seperti seorang pengacau?"

Baron Jhon mengusap wajahnya dengan kasar, lalu tatapannya beralih ke arah Kevin. "Temanmu pingsan dan kau senyum-senyum sendiri. Kevin, bisa jelaskan alasan apa yang membuatmu bertingkah seperti itu?"

Kevin menghentikan senyum, lalu menyibak rambut dengan gaya yang terlihat menyebalkan di mata teman-temannya. "Aku hanya mengatakan kalau Viscount Edo sedang mengamati kita dan setelah itu Mark pingsan. Aku hanya tertawa karena kelakuannya sangat konyol."

Baron Jhon menepuk kening setelah mendengar jawaban konyol dari Kevin. Pria itu lantas melangkah pergi untuk mencari keberadaan Viscount Edo dan berencana meminta pada pria itu agar tak terlalu dekat dengan 'anak didiknya' terutama jika sedang ada Mark di dekat Kevin ataupun Vernon. Karena biasanya masalah akan terjadi jika mereka berdua ada di dekat Mark.

"Dari awal kita dipertemukan di tempat ini, Mark sama sekali tak berubah. Aku heran mengapa anak itu begitu takut pada Viscount Edo," ujar Josh yang kembali memposisikan diri dengan pedangnya untuk berlatih dengan cara menyerang Jack seperti yang sudah diajarkan oleh Baron Jhon.

"Mark dan Viscount Edo adalah kakak beradik beda ibu. Ayahnya Viscount Edo menikahi ibunya Mark dan langsung mati saat mencoba mendaki Nobes Montem bersama-sama. Waktu itu ibunya Mark ingin datang ke bukit itu atas permintaan Mark yang sangat menginginkan Bunga Edelwies. Sepertinya kau tak tahu kalau karena hal itu, Viscount Edo jadi membenci Mark," cerita Jack sambil menahan serangan pedang Josh berkali-kali.

"Wow, aku bahkan takkan tahu rahasia itu jika kau tak memberitahuku. Ngomong-ngomong, dari mana kau tahu rahasia itu?" Josh menghentikan serangannya setelah merasa kalau waktu istirahat sudah tiba.

Jack tersenyum sendu, lalu duduk di dekat Josh yang sudah lebih dulu duduk di tanah. "Mark, Dave, dan aku adalah sahabat sejak kecil. Setelah kematian ibunya, Mark mulai menjauhi kami berdua karena merasa tak pantas untuk bahagia," ungkapnya sambil menatap Dave dan Julian yang datang menghampiri mereka.

"Kalian berdua terlihat begitu muram. Kenapa?" tanya Julian sambil memberikan air minum yang dia bawa dengan menggunakan gelas tembaga berukuran besar.

Josh tersenyum tipis sambil menerima pemberian Julian. "Kami hanya sedang membicarakan betapa kami sangat merindukan keluarga yang kami tinggal di rumah," jawab Josh yang dibalas anggukan Julian. "Aku juga merindukan mereka dan ini sudah bulan ketiga bagi kita untuk bertahan di sini. Dua bulan lagi Prince Thomas akan segera naik tahta dan itu artinya waktu kita untuk berlatih pun semakin sedikit," ujar Julian sambil duduk di dekat Jack.

"Jack, telingamu merah dan itu biasanya akan terjadi saat kau berbohong," ujar Dave datar.

Jack reflek menyentuh telinganya dan menatap sekilas Julian yang tengah melotot pada Josh. "K-kami hanya tak ingin membicarakan apa yang seharusnya tak kami bahas. M-maafkan kami ...."

Dave mengangguk datar, "Apa kalian melihat Auva dan Jey?"

"Auva dan Jey selalu ada di dekat tenda dan jika mereka tak ada di sana, mungkin mereka sedang ada di dapur bersama Nanny Eve. Bukankah mereka selalu di sana?" ujar Josh merasa heran.

.
.
.
.

"Nanny, biar aku saja yang mengiris bumbu. Kau pergi saja untuk mengurus keperluan pangeran. Siapa tahu dia sedang membutuhkan sesuatu." Auva terus saja berusaha untuk memegang pisau yang Nanny Eve pegang.

"Kau ini baru saja berlatih dan pergilah istirahat bersama teman-temanmu. Aku bisa mengatasinya sendiri," omel Nanny Eve. Wanita itu heran mengapa dari kesebelas calon prajurit khusus, hanya Auva saja yang senang merecokinya di ruang dapur.

"Wajahmu terlihat begitu pucat, apa tadi malam kau bergadang lagi?" tanya Auva penasaran.

Nanny Eve tersenyum tipis dan masih berusaha untuk mengambil pisau dari tangan Auva. Namun, pria itu justru meletakkan pisaunya di atas talenan dan mendudukkan Nanny Eve di kursi pantry.

Jey yang sejak tadi mengamati tingkah laku keduanya, lantas berpikir 'Apakah dirinya tidak terlihat di mata keduanya? Mereka berdua bertingkah seakan dapur adalah milik mereka berdua'. Pria itu mendesis, lantas memilih keluar dari dapur meninggalkan kedua manusia yang mirip dengan pasangan yang sedang berpacaran.

.
.
.
.

Sean duduk di samping ranjang Mark dan menatap pemuda itu dengan perasaan iba. "Mark selalu saja pingsan jika melihat Viscount Edo. Aku tak tahu mengapa anak ini selalu saja begini. Kenapa, ya?" Sean menghela napas, lalu meminum air yang ada di gelas tembaga.

"Kau datang ke sini?"

Sean menoleh ke arah suara dan mendapati Rei yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

Rei masuk ke dalam kamar untuk mrngambil kotak obat yang dia simpan di bawah ranjang kamarnya. Ia sebenarnya kurang suka jika harus berbagi kamar dengan orang lain, tetapi karena saat ini dia tinggal di pondok khusus demi hal yang saat ini sedang diusahakan bersama kesepuluh rekannya, mau tak mau pemuda itu harus mengesampingkan dulu keinginan pribadinya.

"Rei, aku heran mengapa kau selalu saja memisahkan diri dari kami. Bukankah sejak kita terpilih menjadi kandidat dari prajurit khusus pangeran, kita semua bahkan tinggal bersama?"

Rei menoleh sekilas ke arah Sean, lalu pergi begitu saja sambil menenteng kotak obat. Hal itu membuat Sean berdecak kesal, tanpa sadar tangannya meremat gelas tembaga yang ia pegang.

Bukannya penyok, gelas itu justru memantul ke atas dan airnya jatuh hingga membasahi wajah Sean.

"Tsskk ... Selalu saja dia mengacuhkan orang. Apa dia tidak pernah diajari sopan santun? Wah! Anak itu ... Benar-benar ...."

*****

The Secret of Elm Island (THE END) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang