15 -- Harapan

28 6 6
                                    

Prince Thomas membawa Lauren ke taman bunga dan pria itu meminta si gadis untuk duduk di salah satu bangku yang diletakkan dekat dengan gerombolan bunga tulip.

"Aku tahu hal yang baru kau lihat itu pasti akan membuat pikiranmu bercabang-cabang. Aku minta maaf karena sudah menolakmu di depan nenek itu. Aku hanya tak mau kalau kau jadi terbebani. Aku hanya ...."

Lauren mendongak untuk melihat Prince Thomas yang sedang gugup saat tengah mencoba menjelaskan sesuatu padanya. Gadis tersenyum tipis, lalu menarik pelan tangan sang pangeran. "Duduklah di sampingku, Pangeran."

Prince Thomas duduk di samping dengan masih memperlihatkan ekspresi cemasnya.

"Kau baru bangun dari pingsanmu dan sekarang kau kembali menghadapi sesuatu yang mengejutkanmu. Itu pasti berat, 'kan?"

Prince Thomas menatap Lauren yang kini tengah tersenyum padanya. "Maaf, karena aku pingsan saat kau tengah mencoba untuk menjelaskan sesuatu padaku dan maafkan aku juga karena sudah membuat merasa tidak nyaman saat kau datang berkunjung kemari."

Lauren mengangguk pelan, kemudian mengalihkan pandangan ke arah taman. "Aku hanya berharap kalau kau akan kembali bersama dengan Rou setelah kau menjadi seorang raja. Temanku sangat mencintaimu, walau takdir hidup kalian berdua sangat rumit. Prince, jangan korbankan cinta untuk mendapatkan cinta yang lain. Kalau kau memang tak mampu untuk memilih, tutuplah matamu sebentar dan pikirkan kembali keputusanmu itu." Gadis itu tersenyum lebar, lalu menatap sang pangeran. "Tanyakan pada ayahmu tentang alasan apa yang sampai membuatnya menolak cinta yang ingin kau berikan pada Rou. Untuk ucapan nenek yang ada di asrama tadi, anggap saja ucapan itu tak pernah kau dengar."

Prince Thomas lantas menyenderkan kepala di bangku sambil menghela napas panjang. "Ramalan dalam buku sejarah yang Nanny Eve simpan adalah penyebab yang membuat ayahku melarang diriku menjalin hubungan dengan siapapun. Lauren, walau kau mencoba untuk melupakan ucapan nenek penjaga asrama, aku kira hal itu takkan merubah takdir yang sudah ditulis."

Lauren mulai tak paham dengan arah pembicaraan sang pangeran. Memangnya apa hubungan antara larangan King Edward dan perkataan nenek penjaga asrama?

"Aku tak paham dengan apa yang kau sampaikan, Pangeran. Sungguh aku tak mengerti," ungkap Lauren.

Prince Thomas lantas menatap Lauren dengan serius. "Nenek penjaga asrama yang membawaku padamu adalah orang yang tak bisa dilihat oleh sembarang pihak. Wanita tua itu hanya muncul tiga kali seumur hidupnya di hadapan warga kerajaan. Pertama, dia muncul saat akan menikahkan Emperor dan Empress. Kedua, dia juga muncul saat akan menikahkan King dan Queen. Untuk yang terakhir, dia akan muncul jika aku menikahi seseorang yang sudah ditakdirkan untukku."

Prince Thomas kemudian beranjak dari bangku sambil menatap langit biru dengan pikiran yang tertekan.

"Kau adalah orang ketiga yang melihat nenek itu dan aku yakin jika sekarang ayahku akan mencoba banyak cara untuk menikahkan kita berdua."

Lauren menganga tak percaya, gadis itu pun ikut beranjak dari bangku dan menatap sang pangeran dengan pandangan tak suka.

"Kau memiliki seseorang yang kau cintai dan itu bukanlah diriku karena orang yang kau cintai adalah temanku. Jadi, bagaimana mungkin kita akan menikah? Lagipula jika aku ingin menikah, aku hanya akan menikah dengan orang yang kucintai."

Prince Thomas tersenyum miring ketika mendengar protesan Lauren. Pria itu lalu menoleh ke arah sang gadis. "Apa kau mau membantuku untuk mematahkan jalan takdir itu?"

Lauren mengerutkan dahi dan bingung dengan ucapan sang pangeran. Mematahkan jalan takdir, katanya?

.
.
.
.

Kabar mengenai kemunculan sang nenek misterius dengan asramanya, benar-benar sudah membuat geger seluruh penjuru kastil. Kabar itu juga sudah sampai di telinga para calon Eleven Knight.

"Sepertinya tugas kita akan segera dimulai. Calon raja baru kita mungkin akan menikah bersamaan dengan kita yang juga benar-benar akan dilantik menjadi seorang knight yang resmi," ucap Mark sambil mengusak rambutnya. Pria itu baru saja selesai mandi dan berencana untuk pergi ke pusat kerajaan karena hari ini para calon Eleven Knight diberi waktu cuti.

Sean menoleh sebentar ke arah Mark sebelum kembali menata baju di tas kain yang ia punya. "Apakah menurutmu pangeran itu akan menikah dengan si gadis yang telah ditakdirkan? Kudengar kalau pangeran itu memiliki seorang kekasih."

Mark menggelengkan kepala, kemudian menggantung handuk di dekat pintu kamar mandi. "Jangan tanya aku tentang hal itu. Kau pikir aku tahu?" Sean menggelengkan kepala sambil menaikkan resleting tas kainnya.

"Ke mana perginya Rei dan anak-anak yang lain? Kenapa kamar seluas ini terlihat begitu sepi?" tanya Mark heran.

Sean mengalihkan pandangan ke arah kamar-kamar yang ada di sampingnya. "Auva dan Jey sudah pulang saat kau sedang ada di perpustakaan. Dave, Jack, Julian, dan Josh pergi jalan-jalan untuk membeli sesuatu di pasar. Vernon dan Kevin pergi ke perbatasan bersama Count Levie dan Viscount Edo. Terakhir, Rei pergi untuk mengawal Duke William yang pergi ke Bukit Nobes Montem."

Mark mengerutkan dahi ketika mendengar nama bukit yang Sean sebut. Bukankah Nobes Montem adalah bukit terlarang untuk para warga Elm Island?

.
.
.
.

"Apakah Anda yakin untuk pergi menaiki bukit? Saya dengar kalau bukit ini adalah bukit yang dilarang untuk didaki warga dari Elm Island."

Duke William tersenyum tipis sambil menatap Bukit Nobes Montem. "Bukit ini bukanlah bukit yang mengerikan. Emperor Theo bahkan sering naik ke sini bersama dengan istrinya. Seseorang hanya akan mati jika punya niat buruk untuk naik ke sana. Memang banyak orang dari negeri jauh yang terdampar di kerajaan kita dan tak dapat kembali ke negeri asalnya. Banyak juga warga kita yang berusaha naik dengan tujuan yang kurang baik dan jatuh saat berada di tebing bukit. Sudahlah, ayo kita naik sekarang."

Rei berdeham tak nyaman saat melihat Duke William yang sudah mulai menaiki bukit.

"Semoga saja aku akan baik-baik saja saat ikut mendaki bersamanya. Semoga saja ...."

.
.
.
.

"Akhirnya kita sampai juga di sini!" pekik Jey senang.

Auva dan Jey sudah sampai di depan Magic Shop. Mereka berencana untuk istirahat sebentar di ruko yang sekarang dititipkan kepada Jia dan juga Ara.

"Toko milik kita jadi penuh bunga sekarang, tapi di mana Jia dan Ara sekarang?" ucap Auva heran.

"Sudahlah, ayo kita masuk saja. Hari ini 'kan masih pagi dan toko kita buka saat siang hari. Mungkin saja mereka sedang mencari bunga yang segar di dekat Nobes Montem." Jey mengangguk, kemudian masuk ke dalam ruko mengikuti langkah Auva.

.
.
.
.

"Lady, kau melihat kedua orang itu? Sedang apa mereka di sana?" tanya Ara heran.

Jia menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Ara dengan mata yang menyipit. Wanita itu memastikan siapa yang tengah mendaki Nobes Montem.

"Sepertinya Duke William datang lagi, pria bangsawan itu biasanya datang ke puncak untuk berkemah. Dia akan datang setiap setengah tahun sekali," jawab Jia datar.

Ara memasukkan bunga anggrek yang dia petik ke dalam wadah, lalu menatap kedua pria yang tengah mendaki bukit dengan harapan yang mulai muncul di benaknya.

"Apakah diriku bisa 'pulang' jika aku meminta bantuan pada pria itu?"

*****

The Secret of Elm Island (THE END) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang