20 -- Efek

19 6 0
                                    

"Ke mana Lauren dan David pergi? Aku meminta mereka untuk kembali ke villa ini, bukannya pergi keluyuran!" dumel Rylan sambil mondar-mandir di depan ruang tamu.

Hanson yang sudah lama duduk di sofa sambil menatap kelakuan Rylan, lama-kelamaan ikut jengah.

"Duduklah di sofa atau pergilah mencari kedua bocah itu. Jangan membuatku ikut pusing!" omel Hanson.

Rylan mendengkus, lantas duduk di sofa. "Seharusnya aku tak membiarkan mereka melewati labirin saat matahari belum terbenam. Sistem sihirmu 'kan hanya akan bekerja maksimal ketika matahari belum terbenam."

Hanson mengangguk pelan sambil merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah. "Karena sistemnya sama dengan bayangan yang muncul ketika matahari masih terbit. Hari masih pagi dan sihir itu pasti masih berfungsi. Tunggulah sampai matahari terbenam."

Rylan mengangguk paham dan memilih untuk menutup mata, walau perasaannya masih terasa tak tenang.

"Jika kau masih mengkhawatirkan kedua bocah itu, kau bisa pergi melalui jalan yang lain. Berhati-hatilah karena ada dua penguntit di sekitar villa ini. Mereka bisa masuk ke wilayah ini karena kau yang bertindak terlalu gegabah."

Rylan mengerutkan dahi dan menatap Hanson bingung. "Kenapa aku?"

"Mungkin mereka melihat kau di jalan, lalu memutuskan untuk mengikutimu. Apa kau kenal dengan Auva dan Jey?"

Rylan mengangguk pelan, "Auva adalah orang dari luar pulau ini, sama sepertiku. Dia datang ke sini bersama dengan Rou. Kau sendiri yang membawa kami semua untuk memenuhi Elm Island. Sebenarnya, tujuan apa yang membuatmu sampai repot-repot menjadikan kami sebagai penghuni pulau ini?"

Hanson tersenyum sendu ketika mendengar pertanyaan Rylan yang tiba-tiba. Pria itu lalu duduk di sofa dan menjentikkan tangan.

Sebuah potret tiba-tiba muncul di atas meja. Hanson mengibaskan potret yang belum memperlihatkan gambarnya. Sesaat setelah itu, sebuah gambar muncul dan ia langsung menunjukkannya kepada Rylan.

"Bukankah ini adalah potret dari Empress Artic?" tanya Rylan memastikan.

Hanson menganggukkan kepala, "Entah bagaimana caranya, satu persatu orang-orang yang ikut terjerumus ke dalam ramalan itu, mereka lenyap begitu saja. Dulu aku ingin membuat orang-orang yang putus asa dengan hidup, mengalami kesulitan sebelum benar-benar mati. Mereka terlalu menyepelekan kehidupan sampai lupa bahwa ada orang yang ingin bertahan hidup walau sudah sekarat. Namun sekarang, aku hanya berharap agar kalian semua yang sudah terlanjur menderita di pulau ini, bisa segera menemukan jalan keluar. Ya, semoga saja kalian berhasil."

Tatapan Hanson yang biasanya terlihat seperti tanpa ekspresi, kini terlihat begitu rapuh dalam pandangan Rylan.

"Kau tidaklah sekuat yang kukira pada awalnya, Hanson. Kekuatan sihir yang besar memang membuat ragamu terlindungi. Namun, bagaimana dengan perasaanmu yang kini sudah terlihat begitu rapuh di mataku?"

.
.
.
.

Sean yang berlari hingga keluar dari labirin karena mengira peperangan akan segera dimulai, kini mengerutkan dahi saat hanya melihat labirin saja dengan matahari yang mulai terbenam. Sepertinya dia terlalu lama berputar-putar di labirin untuk mencari jalan keluar.

"Seingatku tadi, hari masih pagi dan aku ada di tengah arena peperangan, tapi kenapa sekarang aku ada di sini? Apa tadi yang kulihat hanyalah sebuah ilusi? Kalau begitu, aku harus masuk lagi ke sana agar dapat mengeluarkan Mark dari ilusi juga."

Baru saja Sean melangkahkan kaki, tiba-tiba Rei datang dan menepuk bahunya.

"Kenapa kau sendiri saja di sini? Di mana Mark sekarang?" tanya Rei heran.

Sean tak menjawab pertanyaan Rei, tapi justru menatap kedatangan pemuda itu dengan heran. "Kenapa kau kemari? Bukankah seharusnya kau tak berada di sini?" ucap Sean balik bertanya.

Rei menghela napas dan menatap Sean dengan ekspresi yang sedikit aneh. "Aku tak mau melihat sepasang kekasih yang tengah bermesraan di rumah itu. Hari ini hotel memang sedang tutup, tapi Rylan pergi dari rumah dan sampai ke tempat ini. Kita tahu jika Rylan bukanlah orang yang senang membuang-buang waktu."

Sean lagi-lagi mengerutkan dahi, "Maksudmu sepasang kekasih yang mana? Setahuku, orang-orang yang ada di dekat Rylan tidak pernah menjalin hubungan kecuali Lauren dan David."

Rei berdeham kecil, lantas mengembuskan napas. "Justin dan Rou yang kumaksudkan. Kau tak tahu hal ini?"

Sean menggelengkan kepala, "Rou adalah kekasih dari calon raja kita yang baru. Kalaupun kau melihat mereka bermesraan, mungkin itu karena Justin yang tengah mencoba untuk mendekati Rou. Kau harus tahu kalau kabar tentang keromantisan Prince Thomas dan Rou sudah tersebar ke segala penjuru Elm Island. Lagipula kau tak bisa untuk membedakan orang yang romantis dan orang yang peduli. Kau 'kan tak paham dengan hal-hal yang semacam itu."

Rei mengangguk paham, "Aku ingin bertanya sekali lagi, kenapa kau sendiri saja di sini? Ke mana Mark sekarang?" tanyanya lagi.

Sean yang terlihat akan menceritakan lagi 'kisah dramatis' dari Prince William, Justin, dan Rou lagi, lantas tersentak kaget dan reflek berlari masuk ke dalam labirin. Ia selalu saja lupa diri jika sudah membicarakan orang lain. Tskk ....

Rei mengerutkan dahi karena bingung, "Kenapa dia? Apa Mark sedang ada di dalam labirin? Tapi untuk apa?"

.
.
.
.

Rei mengikuti ke mana perginya Sean. Namun, saat sudah menginjakkan kaki di depan pintu masuk labirin, pemuda langsung mengerutkan dahi.

"Bukankah ini adalah jalan yang kemarin kulewati bersama Duke William? Tempat ini adalah tempat sama yang digunakan oleh pangeran itu untuk ... Ini tidak mungkin ...."

Rei memundurkan tubuh dan buru-buru bersembunyi di belakang pohon yang kebetulan dia lihat.

"K-kenapa hal buruk itu terulang kembali? K-kenapa ...." Rei membekap mulutnya saat melihat Duke William mengayunkan pedang untuk menusuk Jack dan Julian dalam jarak waktu yang begitu dekat.

"Harusnya waktu itu aku tak mampir pulang ke rumah dulu jika tahu keempat teman-temanku mati di tangan duke. Kalau saja aku ada di samping pangeran itu, pasti kejadian ini takkan terjadi. Pangeran itu selalu ramah di depan orang asing dan aku yakin jika ia takkan melakukan hal ini," ucap Rei dalam hati.

Detak jantung Rei terasa semakin kencang ketika melihat Duke William mengalihkan pandangan ke arah Dave yang masih mematung di hadapan pria itu.

"K-kenapa hal ini kembali kulihat? I-ini mustahil."

.
.
.
.

"Justin, kita berdua adalah teman dekat mereka. Namun, kenapa mereka baru memberitahu kita berdua ketika terjadi masalah besar yang menerpa Lauren?"

Justin mengelus pelan kepala Rou, "Mereka berdua punya alasan untuk menyembunyikan kedekatan mereka. Lagipula ini sudah hampir dua bulan bagi kedua anak itu untuk menyembunyikan diri di villa milik boss kita. Kau tak bosan untuk terus memikirkan masalah mereka berdua?"

Rou menggelengkan kepala, lalu menepis pelan tangan Justin. "Apa menurutmu aku harus tetap diam saja ketika melihat Lauren dan David harus bersusah payah untuk menyembunyikan diri? Berapa lama lagi mereka harus bertahan?"

Rou lantas beranjak dari ruang tamu untuk pergi menuju kamarnya dan meninggalkan Justin yang masih menatap Rou dengan sendu.

"Jika saja kau mau menerima alasan Lauren. Gadis itu memang tak memberitahu dari awal karena hal ini terjadi tanpa aba-aba. Kekasih serta teman dekatmu sudah ditakdirkan untuk bersama dan mereka berdua sama sekali tak menginginkan hal itu."

*****

The Secret of Elm Island (THE END) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang