16 -- Diskusi

32 6 0
                                    

Lauren pulang ke hotel dengan wajah yang terlihat suntuk. Gadis itu tak langsung masuk ke dalam hotel dan memilih duduk di bangku taman sambil menatap pohon Elm dari kejauhan.

"Kenapa hidupku jadi kacau begini? Takdir macam apa yang mengharuskan sang pangeran menikah denganku. Apa-apaan itu!"

Lauren menghela napas, lalu mengacak-acak rambut panjangnya. Hal ini tentunya terlihat aneh di mata orang yang tak mengetahui masalah si gadis seperti Justin yang baru saja selesai menagih uang di pasar. Entahlah apa kegiatan Justin di luar sana, kadang-kadang pria itu suka lupa waktu untuk kembali ke hotel.

Justin duduk di dekat Lauren dengan mengerutkan kening karena heran.

"Kau kenapa, Ren?" tanya Justin.

Lauren mendengkus ketika melihat Justin datang dengan membawa bungkusan cokelat berisi roti panjang yang dikenal dengan nama Baguette. Roti itu terlihat menyembul dari bungkusan cokelat yang tak cukup panjang untuk menutupi semua bagiannya.

"Sepertinya kau selalu pulang ke hotel dengan membawa roti itu di antara bahan makanan lain yang kau beli," ujar Lauren.

"Sejak aku terdampar di tempat ini dan belum bisa kembali ke asalku, pelan-pelan aku mulai membiasakan diri di tempat ini. Kau tahu? Sampai saat ini aku masih berharap untuk kembali ke Kota Terra Nubibus."

Lauren tentu terkejut setelah tahu dari mana Justin berasal. "Kau berasal dari kota itu juga?"

Justin mengerutkan dahi dan menatap Lauren yang terkejut dengan matanya yang menyipit. "Kau juga berasal dari sana?"

Lauren mengangguk ringan. "Ya, aku berasal dari Kota Terra Nubibus. Ah, sudahlah, ayo kita masuk saja ke dalam. Hari sudah mulai petang dan aku juga mau mandi. Ayo masuk!" Gadis itu merapikan rambutnya yang sudah dia acak, lalu masuk ke dalam hotel melalui pintu belakang.

Justin mengikuti Lauren, tetapi masih penasaran dengan satu hal. "Kau terlihat sangat suntuk setelah pulang dari kastil. Apa ada masalah?"

Lauren menoleh ke arah Justin, lalu tersenyum tipis. "Aku akan mengatakan hal itu setelah aku mandi. Pergilah ke dapur karena kupikir Rou pasti sudah menunggu bahan makanan yang kau bawa." Gadis itu pergi menuju kamarnya meninggalkan Justin yang masih menyimpan pertanyaan.

.
.
.
.

Dave, Jack, Julian, dan Josh duduk di salah satu kedai mi yang berada tak jauh dari ruko milik Jey. Mereka berempat telah berencana untuk menemui bibi dari Julian.

"Apakah anjing kecil yang bibimu pelihara masih ada, Jul?" tanya Jack antusias. Pria itu mengoceh sambil menyeruput kuah mi yang pedas.

"Telan dulu apa yang sedang kau makan, Jack. Kau bisa tersedak jika mengoceh sambil makan," omel Josh yang duduk di dekat Dave.

"Tapi aku 'kan hanya-- uhukk uhuk uhuk ... Ahhhkk a-air air ... M-mana airnya."

Dave mendengkus, lalu menyerahkan teko air kepada Jack. "Baru saja Josh selesai bicara dan akhirnya kau tersedak juga."

Jack tak mengindahkan ucapan Dave dan masih menenggak air dari tekonya secara langsung.

"Kudengar dari bibimu, toko 'magic shop' sudah dikelola oleh Jia setelah Auva dan Jey terpilih menjadi anggota dari Eleven Knight. Aku ingin bertemu dengan si cantik itu, tapi apa tokonya sudah tutup atau masih buka, ya?"

Julian mengusap mulutnya dengan tisu dan menoleh ke arah Josh yang sedang berbicara sendiri.

"Tokonya masih buka hingga jam dua belas malam. Sejak toko itu dikelola oleh Jia, pengunjung yang membeli cokelat dan bunga di sana semakin bertambah. Ayo kita pergi sekarang!" ujar Julian sambil menepuk bahu Josh.

Josh mengangguk dan beranjak dari kursi setelah memberikan sejumlah uang kepada kasir kedai.

Dave, Julian, dan Jack sudah menunggu di luar kedai ketika Josh baru saja keluar.

"Ayo kita pergi!"

.
.
.
.

Rylan, Justin, David, dan Rou sudah duduk di depan Lauren. Mereka menunggu si gadis yang tengah mencoba untuk memberitahukan hal apa yang ingin dia sampaikan.

"Aku ingin kalian mendengarkan dan mau membantuku mencari jalan yang terbaik bagi hal yang sedang aku alami sekarang. Apakah kalian mau?" tanya Lauren.

Rylan dan David memilih untuk menganggukkan kepala saja tanpa menjawab pertanyaan gadis itu. Sementara Rou masih sedikit heran ketika melihat Lauren yang seperti menghindari tatapannya.

"Kami akan mencoba membantu jika kami dapat melakukannya. Katakan saja, Ren," jawab Justin sambil tersenyum tipis.

"Apa kalian pernah tahu mengenai ramalan jodoh penerus kerajaan?" tanya Lauren.

Rylan menaikkan alis sebelah kanannya, lalu mengangguk. "Jodoh dari penerus kerajaan ditentukan oleh seorang wanita tua yang jarang ditemukan oleh para warga kerajaan. Bagi wanita mana saja yang bertemu dengan wanita tua itu di asramanya sendiri, dia akan menjadi calon pendamping dari penguasa kerajaan." Pria itu menghentikan pembicaraan, lalu menatap Lauren dengan senyum miring. Dia tahu maksud dari pertanyaan Lauren.

"Apa kau mencoba mengatakan pada kami jika kau terjebak pada ramalan gila ini? Apa ucapanku benar?" tanya Rylan memastikan.

Lauren menundukkan kepala, lalu mengiyakan ucapan Rylan. "Aku benar-benar tak tahu jika ramalan itu harus menunjukku untuk menjadi seorang pendamping dari orang yang tak kucintai. Aku tak tahu apakah aku harus menerima semua ini atau tidak."

David reflek mengepalkan kedua tangan yang berada di bawah meja. Pria itu langsung beranjak dari dari kursi. "Aku tak setuju jika kau menikah dengan pria itu. Apa-apaan ramalan itu! Tidak, aku tidak akan mengizinkanmu menikah dengannya! "

Rou menatap David dengan sedih, ia lantas menggenggam tangan pria itu. "Aku tahu hal itu berat untukmu karena kalian adalah sepasang kekasih. Lagipula selama ini kalian bertiga tak pernah setuju jika aku menjalin hubungan dengan pangeran itu. David, duduklah dan biarkan Lauren mencurahkan semua keluh kesahnya." David menghela napas, lalu menghempas pelan tangan Rou dan kembali duduk di tempatnya.

Lauren menatap sedih David sebelum kembali mengatakan semua hal yang ingin dia katakan. "Nenek penjaga asrama gaib itu mengatakan padaku bahwa aku harus mengikuti jalan takdir ini dan Nanny Eve juga menceritakan mengenai kelanjutan dari ramalan itu." Gadis itu terdiam sebentar, lalu mengambil sebuah kertas dari saku dress yang dia gunakan. "Kalian bisa membaca sendiri apa isi dari ramalan itu. Aku meminta kertas itu dari pangeran."

'Cahaya hati sang penguasa terbuka setelah bintang timur muncul. Bunga-bunga bermekaran dan memberi harum yang beterbangan ke segala penjuru. Saat gerhana bulan muncul dari balik bukit, cahaya hati itu akan lenyap kembali. Namun, segera setelah sang penguasa berubah menjadi sebuah bulan yang mati, bulan lain datang untuk mencoba menggantikan posisinya dan hanya kesetiaan dari para Knight terpilih saja yang akan dapat mengembalikan cahaya bulan yang sudah terlanjur mati.'

"Aku tak paham dengan tulisan ini, tapi kukira sesuatu mungkin akan terjadi," ucap Rylan sambil menatap lekat kertas robekan yang dibawa oleh Lauren. Pria itu kemudian menatap Lauren dan David dengan senyum yang lebar hingga gusinya pun terlihat. "Jika kalian berdua bisa mematahkan takdir ini, mungkin kita akan menemukan sesuatu yang menarik. Sangat menarik ...."

Lauren dan David saling memandang sebentar, lalu menoleh ke arah Rylan secara bersamaan.

"Sesuatu yang menarik, katamu?!"

*****

The Secret of Elm Island (THE END) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang