"ARA!! BANGUN!!"
Teriakan seorang wanita terdengar begitu nyaring. Suara itu berpadu menjadi satu dengan suara gedoran pintu yang dia timbulkan agar dapat membangunkan putrinya yang masih berada di alam mimpi.
Ara membuka matanya secara perlahan, lalu mendengkus karena mendengar panggilan sang ibu dari luar kamar.
"IYA!! AKU BANGUN, BU!!"
Ara kemudian beranjak dari kasur setelah merapikan ranjang. Gadis itu berjalan keluar dari kamar sambil mengikat rambutnya yang panjang.
"Kamu ini ... Sudah Ibu bilang untuk tak tidur terlalu malam. Lihatlah ... Setiap hari kau bangun kesiangan. Ra, kamu itu udah gede, umur kamu udah 20 tahun, udah hampir nikah. Kamu tidak malu dengan adikmu yang selalu bangun pagi?"
Ara menatap adik laki-lakinya yang sudah duduk di kursi tamu sambil memainkan game. "Ini baru jam setengah tujuh pagi, Bu. Lagipula Ando bangun pagi karena ingin bermain game. Sudahlah, Bu ... Kalau Ibu marah-marah setiap hari, nanti cepat tua. Oh, iya, Ara mohon dengan sangat agar Ibu tidak membicarakan lagi tentang pernikahan. Ara benar-benar bosan jika harus mendengar hal itu setiap hari. Ara masih muda dan belum ingin menikah."
Ara kemudian memilih pergi dari dapur untuk meninggalkan ibunya yang terdengar semakin mengamuk setelah mendengar jawaban Ara. Terus terang saja, gadis itu sudah benar-benar jengah dengan topik yang setiap hari ibunya bahas. Selalu saja tak jauh dari topik mengenai 'pernikahan', 'anak tetangga', 'harta orang', dan 'perilaku Ara'.
Ando mem-pause game, lalu menatap kakaknya penasaran. "Kau mau ke mana?" tanyanya.
Ara menoleh ke arah Ando dan tersenyum masam. "Aku ingin pergi ke Nobes Montem, langit sedang cerah dan aku berniat untuk naik ke sana. Mau ikut?"
Ando menggelengkan kepala. "Menurut perkiraan cuaca pagi ini, beberapa jam lagi akan ada gerhana matahari cincin. Apa kau tak tahu?"
"Aku tak peduli dengan gerhana itu, hari ini suasana hatiku bahkan jauh lebih gelap daripada gerhana," ucap Ara sambil melihat sekilas kedua orangtuanya yang sekarang sudah bertengkar untuk membahas perilakunya. Hal itu bahkan berlangsung hampir setiap hari.
Ando meletakkan ponsel, kemudian menyodorkan sebungkus permen yang sedari tadi ia makan. "Bawalah perlengkapan untuk berjaga-jaga, Kak. Hari akan segera gelap ketika kau sampai di sana."
Ara menerima sebungkus permen yang Ando berikan sambil menghela napas. Gadis itu kemudian masuk ke kamar untuk mandi dan segera mempersiapkan perlengkapan yang sekiranya akan dia butuhkan ke dalam ransel besar. Dia juga mengganti bajunya dengan baju hangat khas pendaki, lengkap dengan sepatu gunung kebanggaannya.
"Oke, semuanya sudah siap sekarang," gumam Ara sambil tersenyum lebar.
Ara melangkah pergi dari kamar, tetapi dihentikan oleh ayahnya secara tiba-tiba. "Kau mau ke mana?"
"Aku mau pergi ke bukit hari ini. Santai saja karena kali ini aku akan mengajak orang lain untuk pergi menemaniku. Ayah, aku pergi dulu ...," ungkap Ara.
Ara masuk ke dapur untuk pamit pada ibunya.
"Kau tak sarapan dulu?" tanya ibu Ara.
Iya, ibu Ara memang begitu, cepat sekali untuk marah dan melupakan omelan yang baru saja dia ucapkan.
Ara menggelengkan kepala pelan. "Ara sudah ditunggu Lauren, Bu," tolak Ara.
Ara lalu keluar dari rumah sambil membawa perlengkapan dengan langkah yang terburu-buru.
.
.
."Ra, kenapa kau lama sekali? ... Kau tahu? Kakiku sudah lelah untuk berdiri dan menunggumu di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret of Elm Island (THE END) ✔️
FantasíaKing Edward mengadakan sayembara untuk mencari para prajurit khusus demi keamanan Prince Thomas yang sebentar lagi akan naik tahta menggantikan dirinya. Namun, ketika para prajurit terpilih sudah masuk ke dalam kehidupan para warga kerajaan, secara...