Saat itu menunjukkan pukul 08 : 15 pagi, tepat dihari minggu aku diperbolehkan rawat jalan oleh dokter. Angin pagi ini membuatku bernafas lega karena dokter brama telah memberikan obat penenang kepadaku setelah aku mengatakan apa yang sedang terjadi. Samar-samar, namun aku merasa kejadian aneh pernah terjadi denganku sebelumnya.
"Bagaimana keadaanmu?" Tanya dokter brama saat mengendarai mobil.
"Baik pak" jawabku"Apakah sudah ada yang kamu rencanakan nanti?" Tanyanya.
Aku terdiam sejenak memikirkan sebuah planing yang harus ku buat seraya melirik kearah ibu dian istri dari dokter brama berharap ia bisa memberikan saran untuk mengakhiri perkataan itu. namun ternyata ia tak mengeluarkan pernyataan apa-apa.
"Iya pak" jawabku.
"Kamu mau kemana?" Tanya ibu dian,
"Trus dinda gimana kalau kamu pergi?" Tanyanya kembali. Tatapanku tertuju pada dinda."Dinda anak yang baik, jika bapak dan ibu berkenan, bisakah dinda tinggal bersama kalian?" Tanyaku dengan raut wajah sedih yang tak bisa ku tutupi.
Rasa sedih benar-benar tak tertahan, tenggorokanku serasa dicekik oleh orang lain. Jujur aku tak ingin berpisah dengan dinda karena dialah satu-satunya orang yang sangat dekat denganku. tapi dengan keadaan seperti ini, rasanya dinda tak pantas berada disamping orang sepertiku.
"Kami memang berencana untuk mengadopsi kalian berdua, apa kamu juga bisa tinggal?" Tanya ibu dian dengan raut wajah kasihan kepadaku.
Senyuman hangat ku berikan kepadanya dan tanpa sengaja aku menjawab "Rasa ingin tahu tentang jati diriku lebih besar bu, jadi setelah beberapa hari istrahat dirumah pak brama dan ibu, aku berencana akan pergi"
Tak ada kata menahan supaya aku tak pergi mungkin karena mereka tak ingin memasuki privasiku sehingga dengan mudahnya mereka mengiyakan keputusan yang telah ku buat.
Beberapa haripun telah berlalu, seperti biasa aku ikut mengantar dinda pergi ke sekolah barunya. Tak ada yang aneh, semua berjalan seperti biasanya,
"apa karena obat ini bekerja?" Tanyaku penasaran. Mobil berhenti tepat didepan sekolah SDN Cempaka.
"Sekolah yang rajin yah dinda" ucapku sambil tersenyum dan memeluknya.
"Zia, sebentar jemput dinda yah" ucapnya
"Ia" jawabku dengan nada singkat dan senyuman terbaik.
Setelah dinda berbalik, mataku terpaku melihat seorang anak perempuan yang saat itu datang bersama ayahnya. Wajah mereka nampak tak asing diingatan. Hatiku seakan terasa sesak dan ingin rasanya aku memanggil sambil berlari kearahnya. Tapi tak tahu kenapa hal itu sama sekali tak bisa ku lakukan.
"Bisa kita pulang sekarang De' Zia?" tanya pak bayu.
"Ah iya pak" Jawabku. Sepertinya perasaan dan halusinasiku akan terjadi lagi.
Suara mobilpun berbunyi, pak bayu mengemudikannya dan meninggalkan sekolah SD tersebut. Diperjalanan poster pelaku pembakaran panti asuhan terpasang dipohon dan tiang-tiang listrik, namun sudah seminggu lebih berlalu dan tetap saja pelaku sama sekali belum ditemukan.
Mobil berjalan kearah yang benar, aku menyandarkan badan kemobil untuk menutup mata sejenak, tiba-tiba tanganku perih dan mataku tak bisa terbuka. Suara mobil berhenti seakan memberi tanda bahwa kami telah sampai dirumah,
"ini terlalu cepat" fikirku.
Mata kemudian perlahan ku buka, embun yang sangat terasa dengan cuaca mendung seolah-olah akan turun hujan disaat itu. aku diperhadapkan dengan sebuah kenyataan yang membuatku kembali menjadi bingung,
"Mengapa semuanya berubah? Rumah siapa ini?" Tanyaku dalam hati.
Lirikanku kemana-mana, tak ada mobil dan pak bayu, sekeliling rumah terasa kosong dan hampa. Pintu rumahpun seketika terbuka dengan sendirinya seraya memperlihatkan seorang wanita berambut pendek sedang duduk membelakangiku dengan serius menatap sebuah foto, postur tubuhnya tak asing, sepertinya beberapa waktu lalu aku pernah bertemu dengannya.
"Permisi!!" Ucapku. Tak ada jawaban sama skali, Aku melirik kearah jendela kaca yang sedang berhadapan dengan wanita itu.
"Ah, aku ingat, dia adalah wanita yang ku lihat dirumah sakit kemarin" ucapku.
Tiba-tiba seorang anak berusia sekitar 13 tahun turun dari atas tangga rumah, wajahnya sama sekali tak kelihatan, iapun berjalan mendekati sang wanita kemudian perlahan-lahan menatap kearahku.
Mataku membesar, suaraku tak bisa keluar. Rambut setengah bahu, dengan kulit berwarna putih terlihat sangat mirip dengan tubuhku dulu, senyumannya menyeringai, ia berlari dengan cepat kearahku sambil membawa sebuah pisau kecil berwarna putih.
ia semakin dekat denganku namun pandanganku seketika itu teralihkan ke seorang pria yang sedari tadi menatapku seraya membelai rambut wanita dewasa itu.
"Dia lagi" ucapku. Pisaunya semakin dekat dan tubuhku tak bisa bergerak.
"De' zia, de' zia bangun, kita sudah sampai" tegur pak bayu.
"Aah ia pak" jawabku dengan perasaan kaget dan bingung, sebenarnya apa yang telah terjadi denganku? Kejadian yang sama kembali terjadi lagi, rasa perih ditanganku sempat terasa, aku melirik tangan yang sedang ku pakai membuka pintu mobil.
"Ah mantra itu lagi," ucapku kaget karena semua ingatan terlintas di fikiranku.
Halusinasi ini mulai datang lagi, tanganku secara spontan memukul kepala beberapa kali, mengusap-usap mataku berkali-kali dan dengan cepat aku berusaha untuk menghapusnya sekuat tenaga bahkan pakaianku menjadi salah satu alat yang ku pakai untuk menjadi penghapus tanda mantra itu.
Rasanya dingin seolah-olah ada bongkahan es sedang menyatu dengan kulitku,
"Aaaahh" teriakku, mengapa rasanya menjadi sepanas ini? Ucapku bingung seraya meniup tanda mantra itu.
"Ada apa de' zia?? Kenapa belum keluar?" Tanya pak bayu.
"ii.Ia pak, aku akan keluar" jawabku, sembari menarik jacket untuk menutupi tanda mantra itu ditanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE MAGIC OF AN THE WITCH
FantasySeorang wanita yang dianggap sebagai reinkarnasi wanita hebat di dunia berbeda bernama GITOVORNIA, dimana terdapat 5 Ras berbeda, yaitu ras vampir, sihir, elf, ork dan Ras campuran. Ia menjalani pembelajaran hebat digitovornia dan melalui bebagai ma...