Chapter 10 - Pertemuan dirumah Pak Brama

6 4 0
                                    

Keadaan kembali seperti biasanya, aku mengambil jacket hitam seraya menarik topi jacket itu untuk kupakai menutupi kepala. Perjalananku saat ini ku rencanakan untuk melihat dinda yang sudah beberapa bulan tak bertemu denganku,

"bagaimana caranya aku pergi?" Tanyaku dengan raut wajah bingung seraya menggerakkan tangan ke kepala. Sebuah mobil pick up mendekat dan ingin lewat dibawah pohon besar yang tak jauh dari pondokku.

"pak, stop pak, stop" teriakku sambil melambaikan tangan.

"Ada apa memanggil?" Tanyanya dengan suara pelan sambil tersenyum.

"Bapak mau ke arah jembatan II?" Tanyaku penuh harap.

"Ia, memangnya kenapa?",tanyanya kembali dengan raut wajah heran, karena tak biasanya aku menegurnya selama bertemu.

"Ah, saya mau numpang ke SDN Cempaka pak, bisa nggak? Soalnya saya nggak punya uang untuk naik taxi",

"Wah, saya nggak sampai kesana dek, kalau mau saya antar sampai pertigaan aja yah, soalnya saya mau lanjut terus nggak belok ke arah sekolah!" Ucapnya.

"Ooh, nggak apa-apa pak, itu udah lebih dari cukup kok. Jawabku seraya menaiki mobil pick up miliknya bersama barang-barang harian yang ada didalamnya.

Setibanya di pertigaan, akupun turun dan berjalan sekitar 20 meter sampai akhirnya aku berada di depan pintu sekolah SDN Cempaka. Mataku tertuju pada sisi kanan tembok sekolah yang memperlihatkan seorang pria bersama anak kecil berambut panjang dengan wajah yang tak asing menurutku sedang menemani dinda berbicara. Mataku memerah dan aku kaget melihat dinda yang begitu akrab dengannya.

Wajah yang tak asing memiliki janggut dan kumis seperti seseorang yang sudah sering ku temui. Ia melirik kearahku seraya tersenyum memperlihatkan giginya. melihat senyuman itu aku teringat sebuah foto yang menempel disebuah koran milik seorang polisi saat aku berada dirumah sakit setahun yang lalu,

"Ah, dia adalah orang itu" ucapku seraya berlari memanggil dinda, namun mobil-mobil di jalan tersebut seolah-olah tak pernah berakhir sampai akhirnya aku melihat dinda dan anak perempuan berambut panjang itu masuk kedalam sekolah serta sang pria berjalan ke samping tembok sekolah yang tak lain adalah sebuah gang sempit disamping rumah warga disana.

Tanpa berfikir lagi, aku mencoba memberanikan diri menyebrang seraya mengangkat tangan sebagai tanda bahwa aku ingin melewati jalan itu.

"Tak" pria itu terlihat sedang menyentakkan jarinya dan seketika mobil-mobil itupun berhenti. Terlihat aneh tapi aku tetap memfokuskan diri mengikutinya yang saat itu sedang tersenyum menyeringai dan menunjuk kearahku.

"Hey, permisi" teriakku,

"pak, bisa berhenti? Aku ingin bertanya sesuatu" teriakku lagi sambil mengejarnya.

Ia tak berlari namun langkahnya lebih cepat sehingga aku ketinggalan jauh. Karena emosi melihat dia tak memperdulikanku, akupun berhenti dan berteriak
"beeeerheeentiiiii"

seketika itu hembusan angin terasa kencang mengelilingiku dan pria tersebut. Ia tak bisa melangkahkan kakinya untuk berjalan dan hanya mencoba menggerakkan tubuhnya beberapa kali.  Melihat hal itu akupun berlari kearahnya dan menarik sang pria berjacket coklat itu seraya menegurnya. Ia tersenyum kepadaku seperti ketakutan namun wajahnya berbeda, Ia bukan pria yang tadi.

Tangan perlahan-lahan ku lepaskan dari jacketnya dan

"mengapa kamu mencariku?" Tanya seorang pria berjacket coklat yang tak lain adalah pelaku pembakaran panti asuhanku dulu. Mendengar hal itu, aku seperti ketakutan dan berjalan mundur untuk menjauhinya bersama sang pria berjacket coklat yang sedang berdiri kaku ditempatnya. Ia berjalan mendekatiku dengan senyuman dan berkata

"kamu fikir bisa menangkapku? Sejauh manapun zardam mengirimmu, aku akan tetap berada didekatmu karena kamu yang tau dimana buku sihir abrakadabra itu berada" ucapnya seraya mencoba untuk memegang wajahku.

Hal yang tak pernah mereka fikirkanpun terjadi, tangannya tak bisa menyentuh wajahku dan juga tak bisa beralih dari depanku. Bibir sang priapun bergerak seraya memperlihatkan raut wajah ketakutan.

"Ahahahaha, ahahahahaha, lucu sekali" ucap ku tanpa kesadaran seraya mengangkat tangan dan mencekik lehernya.

"Jika aku ingin membunuhmu disini stefan, drakon tak akan bisa menyelamatkanmu, karena aku tahu dia sedang sekarat disana". Ucap zia seraya menyentakkan jarinya dan memperlihatkan sebuah buku berwarna hitam bertuliskan Abrakadabra lalu melemparkan stefan kesebuah dinding hingga setetes air berwarna merah keluar dari mulutnya.

Melihat hal itu seorang pria muda dengan mata birunya menjadi heran dan seakan tak percaya karena zianastasya bisa kembali tanpa ada alasan yang pasti.

"Apakah karena stefan membahas buku abrakadabra itu?" Tanyanya kepada seekor burung hantu yang sedang berdiri dipunggungnya.

"Aku tak akan membiarkan kamu mati sebelum aku menemukan alex dan membiarkannya menyakitimu terlebih dahulu karena kamu telah membunuh ibunya dan juga virani." Ucap zia lagi.

Setelah membahas itu tubuhnya perlahan melemah dan kepalanya terasa pusing, stefanpun menghilang disaat sentakkan jari pria muda itu membuat seekor burung hantu berubah menjadi seorang wanita bertelinga panjang yang datang menyuntikkan sebuah obat ditubuhku lalu diikuti seorang pria muda berdiri dibelakangnya seraya menyentakkan jari sehingga membuatku jatuh tepat didepan sekolah dinda.

"Zia, bangun.. ada apa ini pak?" Bicara seorang wanita yang tak lain adalah ibu dian istri dari dokter brama.

"Kita juga tidak tahu bu, satpam yang memberitahu kepada saya bahwa ada seorang wanita terbaring disini dan dinda bilang dia adalah kakaknya di panti asuhan" jawab kepala sekolah SDN Cempaka.

"Ah, terima kasih pak, setelah zia sadar, saya akan bawa dia kerumah". Ucap bu dian.

Sekitar setengah jam lebih, ibu dian bersama dinda menungguku bangun sebelum akhirnya mata perlahan-lahan ku buka sambil menatap kesekeliling ruangan dan melihat dinda sedang duduk membelakangiku.

"Dinda?" Sapa ku. Iapun menengengok dan langsung memelukku seraya berkata bahwa ia sangat merindukanku.

"Permisi pak, kita pergi dulu" ucap ibu dian seraya menggandengku bersama dinda.

"Ooh pak bayu udah nggak kerju bu?" Tanyaku kepada ibu dian, karena seorang pria asing sedang berdiri di depanku seraya membukakan pintu mobil.

Rumah dengan cat putih itu belum berubah. Kain jendela kamar yang ku tempatipun belum berubah sama sekali.

"Bagaimana keadaanmu setahun ini zia?" Tanya ibu lia seraya menggandeng tanganku dan dinda.

"Ah aku baik-baik saja bu, cuman beberapa hari terakhir halusinasiku mulai kambuh, tapi tidak terlalu parah seperti kemarin."

Ibu dianpun membuka pintu rumah dan menyuruhku untuk istirahat sehari dirumah itu bersama dinda.

**

Malampun tiba, ibu lia berkata tak biasanya lampu listrik dikompleks itu padam seraya membawa sebuah lilin dan diletakkan diatas meja makan sehingga makan malampun berjalan seperti biasanya. Disaat itu ibu lia menyuruhku untuk menjelaskan keseharianku selama setahun terakhir. Namun, hal yang menganehkan adalah pak brama tak pernah mengeluarkan satu katapun semenjak beliau pulang ke rumah dihari itu. Bahkan dinda yang saat itu menyuruh untuk ditemani ke kamar kecilpun tak mendapat tanggapan dari pak brama.

"Sayang", tegur ibu dian dengan nada lembut, tak ada tanggapan sampai akhirnya aku menegur pak brama dan berniat untuk mempertanyakan apakah obat yang aku konsumsi dari apotik itu adalah obat yang bagus atau tidak.

"Pak brama?" Panggilku, suara kecil yang imut menjawab iapun terdengar ditelingaku sebelum berubah kembali menjadi suara pak brama.

"Apa ini hanyalah halusinasi?" Fikirku karena tak ada tanggapan dari ibu dian dan dinda.

THE MAGIC OF AN THE WITCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang