"Max," ucap Celyn pelan ketika melihat Max mulai berjalan ke arahnya.
"Lo kenapa Cel?" tanya Tasya yang menyadari Celyn menghentikan langkahnya.
Sebenarnya mereka hendak pergi ke perpustakaan ketika jam istirahat, seperti sekarang ini. Tapi tiba-tiba Celyn menghentikan langkahnya membuat Tasya bingung.
Setelah Tasya memperhatikan apa yang Celyn lihat, ternyata gadis itu melihat Max yang berjalan ke arah mereka.
Max langsung menarik lengan Celyn dengan kasar. "Ikut gua."
"Max, Celyn mau dibawa kemana?" teriak Tasya, dia bingung harus berbuat apa.
Hanya Katherine yang berani membentak ataupun memukul Max, Tasya tidak berani, bahkan menatap mata laki-laki itu saja membuatnya takut. Bagaimana dengan Celyn?
Celyn meringis kesakitan karena Max menarik lengannya dengan kasar. "Max, tangan Celyn sakit."
Namun Max tidak menggubris ucapan Celyn, ia masih menarik lengan gadis itu sampai memerah, Max berniat membawa Celyn ke gudang.
Karena jalan menuju gudang dari perpustakaan tidak cukup jauh, Max langsung mendorong tubuh Celyn agar masuk ke gudang. "Apa maksud lo tadi malem gak angkat telpon gua?!"
Celyn mengusap pergelangan tangannya yang memerah, ia kemudian menatap Max takut. "Maaf Max, Celyn ketidur-"
Max menggebrak meja yang sudah tidak terpakai di sana. "Alasan!"
"Max, Celyn gak pernah bohong sama kamu." kata Celyn berusaha meyakinkan Max.
Namun Max kini menjambak rambut coklat Celyn, membuat gadis itu kembali meringis kesakitan. Matanya memerah. "Lo udah nyerah pacaran sama gua?!"
Celyn menggelengkan kepalanya, walaupun kini rambutnya masih di jambak oleh Max. "N-ngak Max, Celyn masih mau pacaran sama kamu."
Max langsung menghempaskan tubuh Celyn, hingga tubuh gadis itu membentur tembok cukup keras. "Terus kenapa tadi malem lo gak angkat telpon sama gak bales chat dari gua, hah?!"
"Celyn udah bilang Max, Celyn ketiduran." lirih Celyn, ia tidak bisa menahan air matanya lagi agar tidak keluar.
"Kenapa sih lo cengeng banget, hah?! Dibentak dikit aja nangis!" bentak Max yang tidak tahan dengan sikap Celyn. "Kita put-"
Belum sempat mengucapkan kata putus, Celyn dengan cepat menggelengkan kepalanya lalu menggenggam tangan Max. "Aku gak mau putus, Max."
Max menghempaskan tangan Celyn cukup kasar. "Kenapa? Lo takut sendiri?"
Celyn menganggukkan kepalanya. "I-iya, Celyn gak punya siapa-siapa lagi selain kamu."
"Yaudah, suruh orang tua lo cepet pulang, bego!" bentak Max lagi. Dia memang sudah tahu kalau orang tua Celyn jarang ada di rumah.
Karena Max waktu itu sering menemani Celyn dirumah gadis itu, tapi kini tidak lagi. "Lo mau kan semua keluarga lo kumpul lagi?"
Celyn kembali mengangguk. "Iya Max, Celyn mau."
"Lo mati, gua jamin mereka langsung kumpul." kata Max dengan santainya.
Namun berbeda dengan Celyn, gadis itu menatap Max dengan tatapan tidak percaya. "Max, kamu mau Celyn mati?"
•000•
Tasya yang tengah duduk sambil memainkan ponsel dikelas, tapi sesekali ia melihat ke arah pintu, ia berharap setiap anak yang masuk itu Celyn.
Namun kali ini gadis yang diharapkan Tasya sedari tadi akhirnya masuk, dengan cepat Tasya bangkit dari duduknya, menyimpan ponsel itu ke kantong, dan menghampiri Celyn. "Celyn, lo gapapa?"
Celyn tersenyum tipis. "Celyn gapapa, Sya."
Tasya membantu Celyn untuk duduk dikursi, dan ia pun duduk di sebelah Celyn. "Serius?"
"Iya, tadi aku cuman ditanyain aja kenapa gak angkat telpon semalam." dan sekarang apa lagi? Celyn kembali membela Max di depan sahabatnya.
"Tapi lo gak di apa-apain kan sama dia?" Celyn mengangguk mendengar pertanyaan dari Tasya.
"Celyn gak diapa-apain kok sama Max." jawab Celyn berusaha bersikap tidak terjadi apa-apa. "Kamu gak usah khawatir, Sya."
Tasya akhirnya bisa bernafas lega, kemudian dia memeluk Celyn. "Gua khawatir banget sama lo, coba kalo ada Katherine. Pasti Max udah di tendang tadi."
•000•
"Max, abis ngapain lo?" tanya Ivan yang melihat Max keluar dari gudang.
Tadi tidak sengaja ketika Ivan hendak pergi ke perpustakaan, ia melihat Max tengah menarik lengan Celyn.
Max diam sebentar. "Urus diri kita masing-masing, Van!"
Hendak pergi meninggalkan Ivan, lengan Max di tahan oleh Ivan. "Gini cara lo lampiasin semuanya? Dengan cara nyakitin cewek yang gak bersalah?!"
Max menghempaskan tangan Ivan dengan kasar, ia menatap laki-laki yang ada dihadapannya tajam. "Gak usah sok bijak deh lo, tahu apa sih tentang hidup gua?"
Setelah mengucapkan itu Max pergi meninggalkan Ivan yang masih berdiri tepat didepan gudang, sedangkan kini Max memilih untuk pergi ke warung tempat biasa ia bolos.
Ya, hari ini rasanya ia malas sekali. Jadi Max berniat untuk membolos. Daripada terus menerus didalam kelas, bisa-bisa kepalanya meledak.
Max butuh wanita disisinya untuk saat ini, dengan cepat ia mengotak-atik ponselnya mencari nama Laura di sana.
Sebelum bel masuk berbunyi, Max dengan cepat berlari menuju ke warung tempat biasa ia bolos. Ia keluar dari sekolah lewat pagar belakang, tentu saja dengan mudahnya ia melewati pagar ini.
Walaupun terbilang cukup tinggi, tapi bagi Max ini biasa saja, ia melompati pagar itu dengan sangat baik. Tas sekolahnya? Ia tidak peduli, bisa saja nanti Max menyuruh Rangga untuk membawanya.
•000•
"Max kemana, Ga?" tanya Bu Tuti yang mengajar bahasa Indonesia di kelas mereka.
Rangga mengangkat bahunya. "Gak tahu Bu, bolos kali." astaga, ia lupa. "Eh gak Bu, gak mungkin Max bolos."
Bu Tuti menatap Rangga tajam. "Gak mungkin bolos?" kemudian Bu Tuti membuka absen dan memperlihatkannya. "Ini Max kalo pelajaran saya selalu bolos, Rangga."
"Lagi kencing kali Bu," kata Tristan yang langsung di angguki oleh Rangga.
Sedangkan Ivan memilih diam, walaupun ia tahu sepertinya Max membolos. Terlihat dari jalannya yang tergesa-gesa dan berjalan menuju ke pagar belakang sekolahan.
Sudah Ivan pastikan kalau Max memang membolos, nyatanya sampai sekarang laki-laki itu belum balik juga, kan?
Vote & komennya kawan jangan lupa😙👋🏻
Maaf ya aku publis ulang, gak tau kenapa part nya tiba-tiba pada gak beraturan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Mom
Teen Fiction[FOLLOW DULU BARU BISA BACA] Judul sebelumnya: I'm (not) fine Menjadi istri sekaligus ibu di umur tujuh belas tahun bukanlah impian Celyn, bahkan tidak terpikirkan sedikitpun olehnya. Tapi, Celyn harus menerima kenyataan kalau di umur tujuh belas ta...