"Celyn, bukain pintunya!" teriak Max sembari menggedor-gedor pintu rumah Celyn.
Jangan tanya bagaimana dia bisa masuk ke pekarangan rumah Celyn, tentu saja dengan cara memanjat pagar.
"Bangsat!" maki Max, ia kesal karena Celyn tidak kunjung membukakan pintunya juga.
Tapi tidak lama setelah itu, pintu terbuka. Bukan, bukan Celyn yang keluar, tapi Axel!
Kesal karena tadi di rumah selalu mendapati ibunya yang terus marah-marah, ditambah Celyn yang tidak mau bertemu dengannya, dan sekarang apa? Axel keluar dari rumah Celyn!
Bagaimana bisa gadis itu memasukkan laki-laki selain Max ke dalam rumahnya?! Sebentar, sebenarnya apa yang mereka lakukan di dalam?
Max mencengkeram kuat kerah baju Axel. "Brengsek, abis ngapain lo, hah?!"
Axel tidak kalah kuat mencengkram tangan Max yang berada di kerah bajunya. "Oh sekarang gua tahu alasan Celyn gak masuk sekolah satu Minggu, dia takut sama monster kayak lo."
Mendengar hal itu Max langsung menonjok wajah Axel tanpa sungkan. "Anjing lo!"
Axel tersenyum miring, lalu mengusap darah segar yang mengalir di area sudut bibirnya. "Anjing teriak anjing?"
Sekali lagi, Max menonjok wajah Axel. Kali ini tonjokannya cukup keras, sampai-sampai Axel terjungkal ke belakang.
Setelah merasa puas telah memberi pelajaran pada Axel, Max masuk ke dalam rumah Celyn tanpa ba-bi-bu.
Sebelum itu, ia menyeret Axel keluar rumah Celyn terlebih dahulu. Lalu ia mengunci pintu rumah gadis itu.
"Max brengsek! Bukain pintunya!" teriak Axel dari luar rumah Celyn.
Seperti orang gila, Max mencari Celyn kesana kemari tanpa memperdulikan teriakan demi teriakan dari luar.
Emosinya semakin meninggi ketika melihat Celyn keluar dari kamar dengan wajah yang ketakutan, dengan cepat Max menghampiri gadis itu.
Tidak segan-segan Max menampar pipi mulus Celyn. "Bagus ya, ternyata gini kelakuan lo di belakang gua, hah?!"
Celyn memegangi pipinya yang terasa panas, dan matanya memerah, menandakan sebentar lagi ia akan menangis.
"Lagi? Cengeng banget lo jadi cewek!" bentak Max lalu menerobos masuk ke kamar Celyn sembari menarik lengan gadis itu.
Max mendorong tubuh kecil Celyn, sampai-sampai dia terjungkal ke kasur. Max menatapnya tajam. "Gua tanya sekali lagi, abis ngapain lo sama dia, bangsat?!"
Celyn menatapnya takut, Max sepertinya benar-benar marah saat ini. Salahnya juga kenapa ia membiarkan Axel masuk tadi.
Bukannya apa, Axel hanya khawatir kepada Celyn karena gadis itu sudah tidak masuk sekolah selama satu Minggu. Begitupun rumahnya, selalu tertutup rapat.
"K-kita gak abis ngapa-ngapain, Max." lirih Celyn, air matanya mengalir deras. Sudah ia duga kalau bertemu kembali Max akan seperti ini jadinya.
"Bohong!" teriak Max, setelah itu ia langsung merobek baju yang di kenakan Celyn dengan kasar.
"M-Max, k-kamu m-mau apa?" tanya Celyn berusaha menutupi atas tubuhnya oleh selimut, namun sialnya selimut itu sudah lebih dulu Max buang ke sembarang arah.
Max tidak menjawab, kini ia membuka seluruh pakaian Celyn, tangisan gadis itu semakin kencang, membuat telinga Max sakit.
Tangan Max meraih sobekan baju yang tadi ia buang asal, lalu membekap mulut Celyn agar diam.
Setelah itu ia ikut membuka seluruh bajunya, ia tidak peduli lagi saat ini. Toh tubuh Celyn juga sudah di pakai oleh Axel, bukan?
Celyn menangis sejadi-jadinya, apakah hari ini mahkotanya akan hilang begitu saja? Tapi Max sepertinya tidak peduli, kalau menangis darah pun sepertinya Max tetap tidak akan pernah peduli.
"Akhh shit, lo masih perawan?"
•000•
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, setelah pulang dari rumah Celyn tadi siang Max belum juga keluar kamar.
Perasaannya campur aduk, pikirannya melayang kemana-mana.
Max mengacak-acak rambutnya prustasi, sudah sepuluh jam lebih tepatnya ia terus berdiam diri di kamar tanpa ada niatan keluar.
Tapi sebisa mungkin Max menyingkirkan rasa bersalahnya ini, toh ini salah Celyn, ya salah Celyn!
Kenapa tidak bilang dari awal kalau dia itu masih perawan? Kenapa dia hanya diam saja?!
Max memantapkan tekadnya, ini bukan salah dirinya!
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, membuat lamunannya seketika buyar. Ternyata Hendri yang tiba-tiba masuk. "Kok dari tadi Ayah liat kamu gak makan, ya?"
Max menatap laki-laki paruh baya itu yang berdiri di ambang pintu. "Max gak laper."
"Bunda udah mau baikan sama kamu, Max. Gimana? Ini kabar bahagia kan?" tanya Hendri lalu terkekeh.
Max tidak meresponnya membuat Hendri mengerutkan keningnya. "Lho kok malah bengong lagi, kenapa?" tanyanya lalu menghampiri Max yang tengah berbaring di atas kasur.
Hendri duduk di sofa yang berada di kamar Max, ia memperhatikan dengan seksama wajah Max yang terlihat kebingungan.
"Ayah bisa keluar? Max mau ganti baju dulu." kata Max lalu bangkit dari tidurnya.
"Baiklah, tapi setelah itu makan ya? Bunda khawatir sama kamu Max."
Max mengangguk paham. "Iya."
•000•
Pikirannya benar-benar kacau, seluruh tubuhnya terasa sangat sakit, kejadian tadi terekam jelas dalam otaknya.
Lalu, bagaimana caranya menjelaskan semua ini kepada Mommy dan Daddy-nya? Sudah Celyn pastikan, mereka akan mengusirnya saat itu juga.
Celyn membutuhkan seseorang di sisinya untuk saat ini. Apakah ini ia egois?
Mau bagaimana lagi? Hidup Celyn sepertinya sudah di rancang hanya untuk merasakan sakit, bukan kebahagiaan.
Tasya langsung memeluk Celyn erat. "Tenang, gua di sini Cel."
Rupanya gadis itu datang sendiri tanpa Katherine, tapi tak apa. Celyn memang meminta kedua sahabatnya datang, seperti katanya tadi, ia membutuhkan seseorang di sisinya untuk saat ini.
Celyn tersenyum tipis, hatinya menghangat ketika mendengar ada seseorang yang menenangkannya seperti ini. "Celyn takut."
Tasya mengelus punggung Celyn dengan lembut. "Tenang Cel, gua di sini kok."
Celyn kembali menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiran dan hatinya. Ia menatap Tasya. "Max jahat."
Sepertinya kali ini Tasya tidak banyak memaki Max, ia hanya takut kalau Celyn tersinggung karena ucapannya.
Tugasnya saat ini hanyalah menenangkan Celyn, kalau dia tidak hanya sendiri di dunia ini, masih ada dirinya dan Katherine.
Updatenya kemaleman:(
See you next part 💛💛💛
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Mom
Teen Fiction[FOLLOW DULU BARU BISA BACA] Judul sebelumnya: I'm (not) fine Menjadi istri sekaligus ibu di umur tujuh belas tahun bukanlah impian Celyn, bahkan tidak terpikirkan sedikitpun olehnya. Tapi, Celyn harus menerima kenyataan kalau di umur tujuh belas ta...