Malam sepertinya semakin larut, angin yang berhembus semakin terasa dingin di kulit Celyn.
Sekarang ia cukup tenang dari sebelumnya, padahal Celyn yakin, kata-kata yang di ucapkan Ivano tadi hanyalah sebagai penenang saja agar ia tidak bunuh diri.
Ivano terus menerus menatapnya, tatapan yang aneh, membuatnya risih tentunya. Ntah apa maksud dari tatapan itu, namun yang pasti Celyn benar-benar bingung.
"Udah berapa bulan?" tanya Ivano, ia melirik sekilas ke arah perut Celyn yang masih terlihat rata.
Celyn memalingkan wajahnya ke arah lain. "Baru tiga Minggu,"
"Kapan gue bisa ketemu orang tua lo?"
Sebentar, apakah Ivano benar-benar akan menikahinya? Ia tidak cukup yakin, apalagi dengan keadaannya yang sekarang tengah hamil anak orang lain.
Ivano kembali melirik Celyn, tampaknya wanita itu cukup ragu akan ucapannya. "Lo gak percaya sama ucapan gue?"
Celyn mengangguk, tentu saja ia tidak yakin. "Kenapa? Apa yang kamu mau dari aku? Aku udah rusak, masa depan kamu masih panjang, gak kayak aku."
"Gue gak peduli,"
Celyn memberanikan diri menatap mata Ivano lekat. "Apa yang kamu mau dari aku?"
"Gue gak mau apa-apa."
"Terus kenapa? Kenapa kamu mau sama aku?"
"Karena gue gak mau lo bunuh diri hanya gara-gara ayah anak lo itu gak tanggung jawab." ujar Ivano sinis. "Sorry, bukan anak lo lagi, tapi anak kita."
***
Venna mengerutkan keningnya ketika melihat jam dinding yang mulai menunjukkan pukul sebelas malam, yang artinya sudah tiga puluh menit lebih Ivano meninggalkannya sendiri di sini.
Rasa kesal membuatnya hilang akal, Venna mencabut secara paksa infus yang menempel pada lengannya, lagian ia tidak memerlukan infus itu. Toh ini hanya pingsan gara-gara terlalu banyak minum alkohol.
Venna hendak melangkahkan kakinya keluar ruang inap itu, namun pintu tiba-tiba terbuka, menampakkan Ivano dengan wajah dinginnya.
"Abis darimana, Van? Kok lama banget,"
Ivano berjalan menghampiri Venna dengan tatapan dinginnya. "Kok infusnya di cabut?"
"Abisnya lo pergi lama banget, gue di sini sendiri." kesal Venna kemudian duduk di tempat tidurnya.
"Gue pulang ya?"
Mendengar hal itu, Venna mengerucutkan bibirnya. "Kok pulang? Gak asik banget ih,"
"Terus?"
"Lo harus di sini temenin gue,"
"Gue harus pulang, ini penting."
"Sepenting apa?"
Ivano menarik nafasnya dalam-dalam, ia kemudian menatap Venna cukup lama. "Gue harus nikah,"
Venna tertawa kecil. "Gak lucu ah bercandanya."
"Gue serius."
Sontak tawa Venna terhenti, ia menatap wajah tampan Ivano cukup lama, sampai-sampai cowok itu merasa risih akan tatapannya.
"No bukti, hoax ...."
***
Celyn terus menerus menatap lengannya yang kembali di infus, setelah berbicara cukup panjang dan tenang tadi bersama Ivano, cowok itu menyuruhnya kembali ke ruang inap agar kondisinya cepat pulih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Mom
Teen Fiction[FOLLOW DULU BARU BISA BACA] Judul sebelumnya: I'm (not) fine Menjadi istri sekaligus ibu di umur tujuh belas tahun bukanlah impian Celyn, bahkan tidak terpikirkan sedikitpun olehnya. Tapi, Celyn harus menerima kenyataan kalau di umur tujuh belas ta...