•Dua puluh tiga

3.8K 139 1
                                    

Max berjalan dengan santai menghampiri kedua sahabatnya sembari menenteng tas sekolah miliknya. Tidak ada kata lelah bagi Max, nyatanya setelah pergi dari rumah Rangga tadi, ia langsung pergi ke Bogor.

Bahkan Max langsung pergi ke kafe, bukannya mencari hotel atau tempat tinggal lainnya untuk ia tempati sementara.

Max menatap sekeliling kafe milik salah satu sahabatnya, Arka. Kafe yang bernuansa modern itu penuh dengan pengunjung, sepertinya Arka akan berhasil mencapai titik kesuksesannya.

Seseorang dari jauh melambaikan tangan kearahnya. Max memicingkan mata, karena tempatnya cukup jauh dengan seseorang yang melambaikan tangan ke arahnya.

Sampai akhirnya ada salah satu pegawai yang cukup cantik menghampirinya. "Dengan mas Max, ya?"

Max mengedipkan sebelah matanya. "Iya, kenapa?"

"Mari saya antar, pak Arka sudah menunggu anda." katanya kemudian berjalan mendahului Max.

"Sebentar..." ucap Max, menarik lembut pergelangan lengan pegawai cantik itu. "Boleh dong kenalan dulu?" ia memberikan ponselnya. "Sekalian minta nomor handphonenya, boleh?"

Laura, pegawai yang Max goda tersenyum malu. "Nama saya Laura." dengan santainya dia mengambil ponsel Max lalu mengetikan sesuatu di ponsel itu.

Tangan Max mencolek dagu Laura. "Makasih cantik."

Arka dan Frans berdiri dari duduknya ketika melihat Max berjalan mendekat ke arah mereka, seraya mengucapkan selamat datang.

Arka bertos ria dengan Max lebih dulu. "Waduh... Waduh... Baru dateng udah dapet mangsa nih," godanya.

Mendengar hal itu, Laura sedikit malu, apalagi disana ada bosnya. Karena itu ia pamit untuk kembali bekerja.

Frans juga kemudian bertos ria dengan Max. "Gua kira lo udah mati, Max." ia tertawa. "Soalnya baru muncul lagi sekarang."

Max tidak menggubris ucapan yang menurutnya tidak penting itu, ponselnya bergetar, menandakan kalau ada panggilan masuk.

"Max, baru dateng, udah mau pergi lagi aja." kata Frans ketika melihat Max bangkit dari duduknya.

"Bentar, mau angkat telpon dulu."

⭑⭑⭑

Celyn menatap Tasya dalam, tidak mengucapkan satu kata pun, bibirnya terasa terkunci, ucapan Tasya tadi seperti sihir untuknya.

Tasya menangkup pipi Celyn lembut. "Hey..."

Celyn menarik nafasnya dalam-dalam, memejamkan matanya sejenak, tidak lama setelah itu air matanya mengalir.

Tangan Tasya mengusap lembut pipi Celyn yang basah akibat air matanya. "Gua gak mau maksa lo buat ceritain semuanya sekarang, gua tau pasti ini berat buat lo."

"Celyn mau ketemu Max, Sya..." lirihnya setelah sekian lama terdiam.

"Jadi..." ucapan Tasya menggantung, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk berbicara. "Max... Ayahnya?" tanya nya dengan sangat hati-hati.

Hanya suara jam dinding yang kini terdengar jelas di ruangan itu, pikiran Celyn melayang kemana-mana, belum lagi jika nanti orang tuanya tahu masalah ini.

Young MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang