Four

5K 190 0
                                    

Proses pemakaman ibu Anna berlangsung selama tiga hari, dari pemberian penghormatan terakhir terhadap mendiang sampai mendiang dikuburkan di sebuah taman pemakaman dikampung halaman ayahnya.
Ibunya bukanlah orang Korea asli karena itu ia tidak punya banyak kerabat, sementara yang datang ke acara pemakaman hanyalah keluarga dekat dari pihak ayah Anna.

Sungguh nasib yang menyedihkan, Tuhan mengambil ibunya terlalu cepat, tanpa aba dan belas kasih.
Anna bahkan belum sempat melihat wajah ibunya untuk yang terakhir kali. Perasaan menyedihkan macam apa ini yang menggerogoti hatinya.

Disampingnya ayah Anna berjalan sambil menatap lurus ke depan, sorot matanya tampak hampa. Anna tau kalau bukan hanya dirinya yang merasa kehilangan, ayahnya pasti lebih kehilangan daripadanya, bagaimana pun sebelum Anna ayahnya lebih dulu bersama ibunya.
Anna menggandeng lengan ayahnya dan merapatkan dirinya seolah ingin memeluk ayahnya.

"Aku berhenti kuliah aja terus nemenin papa disini ya?" ujar Anna, tidak bercanda.

Ayahnya menoleh dan menghela napas. "Terus kamu mau ngapain abis itu? Nganggur?"

"Kerja lah sama papa, aku bisa bantuin papa di kebun buah papa." kata Anna.

Langkah ayahnya terhenti, lalu ditatapnya Anna lekat-lekat. "Na, kamu itu anak papa satu-satunya, jadi kamu harus sukses daripada papa, ya?"

"Sukses kan nggak harus kuliah pa,"

"Memang, tapi pendidikan itu penting, kamu itu udah di tengah-tengah, emangnya nggak sayang sama waktu belajar kamu kemaren?"

"Sayang," jawab Anna.

"Ya udah, kalau gitu besok kamu pulang ke Seoul ya?"

"Tapi_"

"Nggak usah sedih lama-lama, mamamu udh istirahat, biar tenang jadi jangan ditangisi! Oke?" Untuk pertama kalinya sejak proses pemakaman berlangsung ayah Anna tersenyum lembut.

Anna memandang wajah ayahnya lama, mempelajari kerutan halus yang mulai tampak di dahi dan ujung matanya ketika ia tersenyum, juga di sudut bibirnya. Kedua tangan ayahnya yang terasa kasar menggenggam tangan Anna dengan hangat.
Bagaimana mungkin ia bisa menjadi lemah ketika ayahnya selalu memberinya kekuatan dan menebalkan mentalnya.
Ia pun mengangguk, meyakinkan ayahnya kalau dirinya nya tidak akan menangisi ibu nya lagi.

"Aku bakalan pulang ke Seoul, tapi bukan besok, aku mau disini dulu nemenin papa," Anna berkata sambil menuntun ayahnya untuk kembali melangkah.

Terik matahari di jam dua siang itu benar-benar panas seolah mampu membakar kulit manusia sampai kedalamnya, cahayanya bahkan langsung membutakan mata begitu kita menengadah untuk memandang ke atas meski hanya sebentar, hawa gerah juga menyelimuti badan menghasilkan keringat yang terus menetes dari permukaan kulit.
Tidak biasanya cuaca di Korea sepanas ini, bahkan di musim panas pun masih ada hawa dinginnya, tapi kali ini tidak.
Hembusan angin pun tidak terasa sedikitpun.

Begitu sampai dirumah Anna menyalakan pendingin ruangan kamarnya dan menaikan nya ke suhu terdingin, dirinya meringkuk diatas ranjang dan mencoba untuk istirahat. Perasaan sedihnya masih menyumpal didalam hatinya dan membuatnya tidak bisa melakukan apapun dengan benar, seolah bergerak sedikit saja membutuhkan banyak tenaga.

Ayah Anna mengetuk pintu kamarnya, menunggu Anna menyahut sebelum berkata bahwa ada temannya yang datang dari balik pintu berkayu yang di lapisi kertas minyak berwarna putih khas rumah tradisional.
Gadis itu bangun dari ranjangnya dan pergi untuk melihat siapa gerangan yang datang jauh-jauh kerumah ayahnya.

Jae tengah duduk sambil mengobrol bersama ayah Anna di ruang tamu. Begitu Anna berdiri di ambang pintu, mereka bangun dari duduknya. Ayah Anna meninggalkan mereka berdua untuk mengobrol sementara dirinya istirahat di kamar.
Anna melangkah menyeberangi lantai kayu yang dipoles mendekati Jae, entah apa yang dipikirkan Anna sampai ketika ia melihat temannya itu matanya berkaca-kaca.

I'm Getting Old | Jeon SewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang