Eight

3.2K 179 0
                                    


Cahaya keemasan berpendar dari kaki langit bagian timur. Matahari pagi perlahan menampakan dirinya, membawa sinar kehangatan dan kedamaian untuk sebagian orang yang sudah keluar dari rumah dan memulai aktivitasnya.

Diluar sangat berisik, suara kicauan burung, mesin, teriakan, juga bahkan suara pendingin ruangan yang bertengger di sudut ruang kamar Sewon. Terdengar seolah benda panjang itu mendesis, minta untuk dimatikan, memprotes kepada sang pemilik mengapa ia dinyalakan padahal udara sudah terasa dingin tanpa dirinya. Sewon terbangun dari tidur panjangnya, bukan karena suhu dingin ruangannya, melainkan karena alarm ponselnya memekik tepat disamping bantalnya.
Pria itu mengerjap, diam beberapa saat untuk mengumpulkan nyawa sebelum mematikan suara berisik ponselnya. Kepalanya agak sakit karena sesuatu, dimulutnya masih menyisakan rasa pahit dari sebotol minuman anggur beralkohol yang ia kandaskan hanya dalam beberapa menit, semalam.

Belakangan ini Sewon cukup lelah dengan dirinya sendiri. Dan satu-satunya teman yang dapat ia temukan dengan mudah hanyalah minuman ber-alkohol yang berada di gudang penyimpanan minuman kerasnya. Sewon sengaja menyisakan sebuah ruangan kecil di apartemennya sejak ia membeli apartemen itu, yang sengaja ia buat untuk menyimpan minuman kesukaannya.
Ia seorang peminum, tapi untungnya bukan pencandu berat minuman semacam itu. Sesekali Sewon mencicipi minuman itu ketika berada di titip terlelah dalam hidupnya. Karena dengan bantuannya, ia bisa melupakan sejenak masalah yang sedang dihadapinya.
Tetapi sewaktu-waktu, ketika ia merindukan rasanya dan dalam keadaan baik-baik saja, Sewon akan mengambil sebuah botol dari beberapa koleksinya, memilih yang sesuai dengan suasana hatinya lalu menenggaknya hingga tak menyisakan setetes pun. Karena setiap tetes minuman itu begitu berharga.
Kedua orang tua Sewon tidak tau tentunya, dan Sewon tidak akan membiarkan mereka tau soal segudang minuman itu dirumahnya. Ia cukup baik menyembunyikannya selama ini.

Lima menit berlalu, alarm ponsel Sewon kembali berdering, ia lalu mematikannya dan bangkit, turun dari ranjangnya kemudian pergi  mandi lalu bersiap-siap untuk pergi bekerja.
Sebentar saja Sewon sudah selesai, dirinya terbalut dalam pakaian rapi, setelan jas berwarna gelap yang tidak terlalu formal.  Bagaimanapun ia hanya akan mengajar, jadi tidak perlu serapih saat akan menghadiri sebuah acara. Lagipula dirinya sudah terlihat sempurna memakai apapun. Wajah tampan, sosok tinggi dengan postur proporsional. Usahanya dalam membentuk semua itu beberapa tahun lalu membuahkan hasil yang memuaskan, bagi orang lain, terlebih untuk dirinya sendiri.
Sewon merasakan perut kotak-kotaknya bergemuruh, lalu berbunyi karena lapar. Ia berlalu melewati ruang tamu dan keluar dari rumah. Meski ia lapar, tidak ada makanan didapur, karena ia tidak suka masak-bukan berarti ia tidak bisa, jadi ia selalu sarapan diluar. Sebuah kafe selalu menjadi tujuan utamanya sebelum ke kampus.

Di dalam lift yang penuh sesak, Sewon berdiri berdampingan dengan Anna. Karena mereka masuk paling pertama, jadi mereka berdua tersudut di barisan paling belakang, berhimpitan dengan beberapa pria dan wanita
yang akan memulai aktivitas sama seperti mereka berdua.
Anna terbatuk, merasa mual karena aroma parfum yang bercampur aduk diruangan sempit itu dan menaruh tangannya didadanya, merasakan jantungnya yang berdebar-debar. Ia menutup hidungnya sambil melirik dosennya yang terlihat tidak terganggu.
Ketika tiba-tiba lift terguncang, beberapa orang terhempas kebelakang, menyebabkan kegaduhan. Anna berteriak cukup keras karena sebuah sepatu pantofel menginjak kakinya, menekannya dan menimbulkan rasa sakit, ia mendelik untuk melihat pemiliknya yaitu seorang laki-laki dengan tubuh tinggi gempal. Bukannya segera menyingkirkan sepatu besarnya dari kaki Anna laki-laki itu malah menatap tajam Anna karena teriakan gadis itu yang tadi memekik dibelakangnya.
Anna membalas tatapan laki-laki itu, tanpa bicara, dengan sebuah jari telunjuknya Anna menunjuk kakinya.
Laki-laki itu melihat kearah kakinya, tersadar akan perbuatannya lalu menarik sepatunya dari kaki Anna. Tidak meminta maaf dan hanya memalingkan badan, memunggungi Anna. Sementara Anna masih mengaduh pelan dan melihat bekas kotoran telapak sepatu laki-laki itu yang tertinggal di sepatu datar hitamnya.

I'm Getting Old | Jeon SewonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang