Manusia di jaman dulu, sering membayangkan seperti apa masa depan nantinya. Akankah penuh dengan teknologi dan alat-alat canggih? Akankah hidup jadi lebih makmur nantinya? Tapi mereka lupa, bahwa setiap perubahan besar yang dilakukan manusia telah merugikan alam sebesar itu pula. Eksploitasi besar-besaran telah merusak tatanan alam. Pemanasan global yang semakin menjadi. Kutub yang tinggal sejarah. Hanya poto masa lalu dan tulisan para ahli mengenai area bumi yang permukaannya dilapisi es, dulunya. Penebangan massal yang telah menciptakan padang pasir baru setiap tahunnya.
Alam yang semakin parah mendesak umat manusia untuk tetap bertahan. Sistem berubah, tidak ada lagi batas-batas negara. Mereka yang beruang saling beraliansi untuk memperkuat dan mencari sisa-sisa sumber daya alam yang ada. Dan mereka yang hidupnya kurang beruntung hanya bisa berlari kesana-kemari menghindari peluru dan ledakan akibat peperangan yang terjadi karna perebutan sumber daya alam.
Ini dunia yang manusia jaman dahulu sangat tidak inginkan.
Ini dystopia.
*****
Hongjoong menggenggam erat tangan kecil adik-adiknya, mencoba menenangkan mereka dari ketakutan akibat suara tembakan di luar. Bangunan yang hampir roboh ini satu-satunya tempat terbaik yang bisa Hongjoong temukan sekarang untuk tempat berlindung dirinya dan keenam adiknya.
Mereka bertujuh- Bukan, mereka berdelapan dulunya adalah anak panti asuhan yang terpaksa meninggalkan bangunan yang disebut rumah itu karna tempat tersebut kini rata dengan tanah. Anak-anak kecil itu bertahan untuk hidup, untuk kembali menatap mentari di esok harinya, untuk menikmati gemerlap bintang di malam hari. Tak terasa sudah tiga tahun mereka berjuang dengan lari dari satu bangunan ke bangunan lain, mencari makanan, mencari tempat berlindung dari hantaman peluru. Walau mereka semua tau, tidak ada tempat yang aman bagi orang tanpa kuasa seperti mereka.
Anak-anak kecil itu tumbuh menjadi remaja yang tidak lagi merengek karna kelaparan, atau menangis kencang akibat bisingnya tembakan. Mereka tumbuh dengan baik walau di dunia yang tidak baik-baik saja sekarang.
Hongjoong menghampiri si bungsu di antara mereka yang masih menangis karna terjatuh saat mereka lari tadi. Dia meniup bagian luka sambil menyanyikan lagu yang Ibu Panti selalu nyanyikan ketika mereka sakit. Jongho -si bungsu- terkekeh kecil, senyumnya kembali, dan otomatis membuat Hongjoong juga ikut tersenyum.
"Kakak!" Wooyoung menarik baju lusuh Hongjoong, telunjuknya mengarah ke orang-orang yang berlari menjauhi gedung yang tengah mereka tempati.
Seorang ibu-ibu yang sedang menggendong anaknya tiba-tiba berteriak, "Apa yang kalian lakukan di sana?! Gedung itu akan dijatuhi bom!"
Menyadari adanya bahaya, Hongjoong langsung menyuruh Yunho untuk menggendong Jongho. Dengan telaten dia mengarahkan adik-adiknya agar menjauhi gedung tersebut. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang, memastikan tidak ada adiknya yang tertinggal.
"Satu.... Dua.... Tiga.... Empat.... Tunggu?! Cuma empat?!"
Dari kejauhan, Hongjoong melihat San yang terduduk di tanah dan Mingi yang berdiri di sampingnya dengan wajah yang basah karna air mata. Hongjoong buru-buru berlari ke arah kedua adiknya tersebut, didapatinya kaki San yang ternyata terkena serpihan beton gedung. Bocah itu tidak menangis dan hanya mengatakan, "Kaki San jadi merah."
"Mingi, bantu Kakak sini," ujar Hongjoong, "Kakak akan mengangkat benda ini, lalu Mingi menggendong San dan berlari ke sana ya?" Telunjuk Hongjoong mengarah ke gedung yang ada adik-adiknya yang lain di sana.
"Kakak menyusul 'kan?" tanya San.
"Iya. Kakak harus melindungi kalian."
Sesuai intruksi, Mingi menggendong San di punggungnya, sementara Hongjoong berjalan di belakang mereka agar keduanya tidak tertinggal lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Geschichte
Short StorySekumpulan kisah kapal-kapal ATEEZ dengan berbagai genre.