20 ─ hidupnya

263 92 9
                                    

"Sakit, pelan-pelan."

Beomgyu berdecak karena Nari terus protes ketika lukanya sedang diobati. Saat ini, keduanya berada di bangku yang ada di depan sebuah apotek. Seharusnya mereka sudah berada di bus menuju sekolah, tapi karena kecelakaan kecil tadi membuat Beomgyu memilih untuk membawa Nari ke apotek agar luka di lutut perempuan itu diobati.

Karena keadaan kaki Nari yang sulit berjalan sendiri, membuat Beomgyu mau tak mau membantu Nari berjalan dengan cara memapahnya.

"Lain kali tak usah berlari seperti tadi," kata Beomgyu sambil membuka plester untuk menutupi luka Nari.

"Bagaimana aku tidak berlari? Kau terus berjalan menjauhiku. Aku tidak mau jika nantinya tersesat. Kau tahu, kan, aku itu buta arah?"

Selesai menempelkan plester ke lutut Nari, Beomgyu berdiri kembali dari posisi jongkoknya. "Ayo cepat, kita harus ke sekolah."

"Tapi sudah terlambat, tahu," balas Nari.

Beomgyu segera merogoh ponselnya yang ada di saku celana untuk melihat jam. Dan benar saja, setelah dilihat, jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih, yang berartinya mereka sudah terlambat untuk datang ke sekolah.

"Ini semua karenamu, sih. Kita jadi telat, kan. Lalu sekarang, apa yang harus kita lakukan?"

"Membolos." Beomgyu mendelik ke arah Nari yang membalas dengan lancarnya.

"Kau gila. Tidak, sebaiknya kita ke sekolah walau terlambat."

"Tapi aku tidak bisa berjalan, sakit. Kita membolos saja. Sudah lama juga aku tidak membolos," kata Nari.

"Jadi, dulu kau suka membolos? Dasar tidak tahu diuntung, Orangtuamu itu mencari uang demi bisa menyekolahkanmu. Tapi kau malah berbuat seenaknya," tutur Beomgyu.

"Kau ini kenapa mudah marah? Ingin menjadi beruang pemarah, eo?"

"Itu semua karenamu. Darahku selalu naik karenamu."

"Hey, mana mungkin."

"Mungkin. Sudahlah, ayo cepat, kita harus ke halte."

"Tidak mau. Membolos saja."

Beomgyu menghela napas. Dengan cepat tangannya menarik Nari sampai perempuan itu beranjak dari duduknya. Kemudian, Beomgyu membuka tas dan mengeluarkan hoodie. Setelah itu, hoodie tersebut dia ikatkan lengannya ke pinggang Nari. Nari hanya bisa diam dengan kebingungan.

Beomgyu kembali menutup tasnya, dan memosisikan tasnya di depan.

"Kau ma—"

"Jangan banyak tanya. Aku akan menggendongmu sampai halte."

***

Nari dan Beomgyu duduk bersebelahan di kursi bus. Nari yang duduk di dekat jendela, memutuskan untuk mengalihkan atensinya ke luar. Sedari tadi, keduanya tidak mengatakan apapun. Mereka sama-sama terdiam.

Sesekali Nari meringis karena lututnya masih terasa perih, apalagi ketika kakinya di gerakkan.

"Kita membolos saja." Ucapan itu membuat Nari refleks menoleh ke arah Beomgyu. Beomgyu menoleh juga ke arah Nari. "Sudah tidak memungkinkan jika kita ingin mengikuti pembelajaran. Kita sudah benar-benar terlambat, dan jika kita tetap datang, guru tata tertib akan memberi hukuman cukup berat," jelas Beomgyu.

"Kan, aku tadi sudah bilang. Ya sudah, sekarang membolos saja. Ajak aku ke tempat yang indah."

"Memerintahku?"

Nari mengangguk.

"Tentu saja. Tidak ada penolakan. Aku butuh refreshing."

***

[✓] GYUNARITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang