[5] Menyesal

39 5 0
                                    

Kondisi dua perempuan di salah satu meja kantin terlihat begitu suram

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kondisi dua perempuan di salah satu meja kantin terlihat begitu suram. Kegelapan menyelimuti mereka. Dan sejak tadi juga, yang keluar dari mulut mereka hanyalah helaan nafas kecewa.

"Lo gagal, ya?" tanya Acha. Dia melirik kotak coklat yang masih di tangan Fifi. Gadis itu menganguk dengan menubrukan dahinya ke meja. "Gue turut prihatin,"

Fifi tiba-tiba duduk tegak. Sekarang wajah kusutnya terlihat jelas. Tampak memprihatinkan. "Salahnya dimana?" lirihnya. Tangannya memijit pelipisnya. Pusing tujuh keliling. "Kan cuman coklat. Gue tahu si Wahyu suka coklat. Trus kenapa dia nolak coklat dari gue?"

"Mungkin kecil banget. Lagian gue nggak ngerti. Lo beliin gue coklat yang lumayan gede bentuk hati pake pita. Lo sendiri ngasih Wahyu coklat sekecil upil ke dia." katanya. Sekarang dia frustasi soal coklat itu. "Entah kapan gue bisa bayar utang gue tuh,"

'Tapi, kan! ini harganya dua setengah juta, best pren poreverkuuu! Sekecil ini! Ada pelet juga di dalamnya!' batin Fifi.

Percaya atau tidak. Dia menyesal membeli coklat pelet ini. Dia bahkan tidak tahu ini akan berfungsi atau tidak. Sementara Wahyu jelas sekali menolak coklat ini. Ayolah, dua juta lima ratus bukan uang yang sedikit. Beruntung saja orang tuanya tidak sadar jika dia sudah memakai uang sebanyak itu hanya untuk dua coklat truffle kecil. Dia bisa dimarahi habis-habisan.

Fifi lagi-lagi meletakan dahinya di atas meja. Tidak ada tenaga lagi untuk dia melanjutkan kehidupan ini. "Ahh! Nggak tahu, deh!" ucapnya tidak jelas. "Lo sendiri gimana? Tio terima coklat lo? Segampang itu?"

Acha mengeduskan napas sebal. "Nggak rada maksa dikit. Gue juga bilang, terima cokkatnya, terserah mau di buang atau di kasih ke orang. Ya, secara tidak langsung gue juga gagal," jelasnya. "Kalau nggak gini, aja!" Fifi kembali duduk, mendengarkan Acha dengan wajah lesunya. "Lo nanti pulang sekolah dateng ke tempat laundrynya si Wahyu aja. Lo kasih coklat itu. Siapa tahu ada orang tuanya, jadi dia nggak bisa nolak,"

Fifi menjentikan jarinya. Dia langsung semangat empat lima. Dua gadis itu saling menyatukan tangan. Berteriak histeris. "Iya, lo bener! Ahahaha!"

"Ya, kan?" Mereka kembali duduk. Senyuman Fifi kembali. Dia bahkan kembali memeluk kotak coklat miliknya. "Pulang sekolah lo langsung ke sana. Sepinter-pinternya lo deh! Gue tahu lo pinter banget ngeles ama beralasan,"

"Ya pasti! Jangan main-main sama gue!"

🍫🍫🍫

Acha mengketeki helm milik Rakha. Berdiri tidak jauh dari motor Kawasaki miliknya yang masih terparkir. Sepupunya itu masih sibuk dengan penampilannya, menyisir rambutnya di kaca spion sembari memasang wajah sok tampannya itu. Dia sebagai penonton di belakang sejak tadi berdecak dongkol.

"Sini helm gue!" kata Rakha saat dia rasa sudah cukup mengurusi rambutnya. "Anjir, helm mahal nih. Main diketekin aja,"

"Sok tata-tata rambut lo! Ujung-ujungnya juga kena helm!" komen Acha sembari memberikan helm pada Rakha dengan kasar.

"Iri aja jadi sepupu lo! Suka-suka gue mau gue sisir, mau gue apain. Kan rambut gue," balasnya ketus. Dia memasang helmnya di kepala. Sembari menaiki motor kawasakinya itu.

"Ya, tapikan---"

Rakha menoleh dengan wajah sebalnya. Menunjuk Acha tepat di wajahnya. "Lo ngomong lagi nggak usah bareng gue!"

Di belakang Acha hampir saja memukul kepala Rakha jika tidak dia tidak menahan diri. Terutama ketika sepupunya itu sadar akan gerakan aneh di belakangnya. Gadis itu berpura-pura tidak tahu apapun. Kalau saja bukan karena tebengan gratis, Acha pasti sudah pergi setelah memukul kepala sepupunya ini. Motor Rakha mundur dari tempatnya di parkir. Mengarah ke jalan menuju gerbang sekolah.

Ketika sudah menyala. Seseorang datang menyeru dari arah belakang. Memanggil Rakha. "Kha!"

Dua-duanya menoleh. Rakha menyahut santai. Tapi Acha, dia panas dingin. Itu Tio. "Ya, Yo! Kenapa?"

"Duit!" kata Tio singkat. Mulut gadis di sana bungkam. Sembari matanya berkeliling mencari dimana kotak coklat yang dia berikan. Apa di dalam tasnya? Tio tidak benar-benar membuang atau memberikan coklat itu pada orang lain, kan?

"Astaga! Lupa gue, Yo! Bisalah! Banyak pikiran!" kata Rakha beralasan. "Besok, ya!"

"Pikiran apa lo! Banyak utang, kan? Udah mana cepet, gue tahu lu ada? Jangan banyak alasan deh!" Tio pergi ke motornya. Memasang helm di kepalanya. "Gara-gara lo gue jadi kang renternir gini!"

Rakha memasang senyuman tidak berdosanya. Tangannya meraih saku bajunya. Menunjukan tidak ada uang di sana. Begitu juga saku celananya. "Nih, lo liat! Ini juga! Nggak ada! Ada di rumah uangnya! Tar malem deh lo ke rumah!"

Tio menggeleng heran. Lagi-lagi di peralat oleh Rakha. Kalau bukan karena dia kapten ekskulnya, jelas tidak akan mau melakukan hal ini. Dia mengeluarkan motornya. Sudah siap pergi pulang. "Tar malem lo, ya! Nggak ada biji lo pecah,"

"Jangan gitu, dong, Yo!" kata Rakha panik. Otomatis melindungi diri. "Kalau nggak gini aja!" Tio menunggu, Acha ikut mendengar. "Si Achakan suka sama lo. Gimana kalau tar dia yang ke rumah lu kasih uang gue! Itung-itung kencan,"

Acha membulatkan matanya mendengar kalimat itu. Dia melihat ke arah Rakha. Sepupunya itu kini melihat ke arahnya. Menaikan kedua alinya tanpa rasa bersalah. Acha masih diam tanpa kata, mulutnya menganga tidak percaya. Begitu dia melirik pada Tio di sana. Laki-laki itu tidak memasang ekspresi yang mengejutkan. Rasanya dia bisa melihat ekspresinya lebih gelap dari sebelumnya. Bahkan dia tidak melirik padanya sedikitpun.

Acha tertawa canggung. Mencoba menjelaskan apa maksud dari perkataan barusan. "Em! Itu---"

"Nggak!" potong Tio ketus. Dia memutar gas motornya. Pergi begitu saja tanpa pamit lagi. Sekali lagi, Acha masih diam. Tidak percaya apa yang baru saja terjadi.

Rakha tertawa geli. "Wah! Si Tio udah tahu ya, lo suka sama dia! Hahaha mukanya kocak banget," Tiba-tiba saja, dari belakang kepalanya dipukul begitu kencang. Sampai-sampai helmnya bergeser ke depan. "Aduhh! Woi! Apaan sih, Cha!"

"Pe'a! Kenapa lo ngomong kek gitu ke dia!" protesnya geram. Gadis itu menghentakan kakinya cepat-cepat. Gelisah bukan main. "Ahelahh! Aduhh gue malu banget!"

"Kan gue bantuin lo, Cha!" ucapnya enteng.

"Bantuin!" pekik Acha. "Lo mendingan diem aja. Itu udah ngebantu gue!"

"Jadi, secara nggak langsung lo ngaku lo suka sama Tio?"

Acha langsung diam. Tidak tahu harus menjawab apa soal pertanyaan itu. "Itu---"

"Ahaha! Ketahuan lo!"

"RAKHAA!"

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang