Fifi diam saja, semenjak dia mendengar kalimat Wahyu di belakang sekolah tadi siang. Dia jadi pemurung. Melamun saja. Bahkan saat dia sudah ada di lapangan untuk menghadiri latihan tim sepak bola sekolahnya. Dia tidak banyak mengeluarkan kata dari bibirnya. Malah terus saja memperhatikan sosok Wahyu dengan wajah murungnya.
Di depannya kini ada sosok yang menjadi objeknya. Sosok yang menjadi alasannya jadi sepemurung ini seumur hidupnya, sudah sekitar dua menit laki-laki di depannya ini berlatih menjugling bola. Selalu gagal tiap kali dia mencoba, berakhir jatuh atau meleset. Fifi tidak mau berspekulasi tapi jelas Wahyu juga sama sepertinya. Masih memikirkan soal tadi siang. Wajahnya jelas memberitahukan padanya.
"AH! ELAH!" Pekik Wahyu kesal. Bola di tangannya dia tendang ke arah gawang. Lagi-lagi meleset, mengenai tong sampah jauh di sana. "Bangsat!"
Fifi menelan salivanya. Jujur, hari ini dia baru melihat Wahyu begitu dingin, begitu ketus padanya melebihi dari biasanya. Dan juga marah kesal sampai seperti sekarang ini. Dia mengambil botol minum, dia sodorkan pada Wahyu. "Nih, Yu! Minum!"
Dia mendekat, langsung menggapai botol itu. Duduk meneguknya hingga setengah. Fifi di sebelahnya gugup. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apa Tio akan menghiburnya saat seperti ini? Bagaimana cara menghibur Wahyu? "Lo nggak latihan, Yo?"
"Eh, nggak papa! Nanti aja, santai!" balas Fifi gagu. "Eng, Yu! Lo nggak papa?"
"Nggak papa! Emangnya gue kenapa?" katanya heran.
Fifi berdeham. Melihat ke arah lain. "Ya, mungkin aja lo masih tergangu sama kejadian tadi siang. Maksud gue soal si Fifi,"
Wahyu membasahi bibirnya. Tangannya mengoyang-goyangkan botol di sana. Memputar balikan seperti jam pasir. "Nggak ada alasan gue harus tergangu sama Fifi! Gue bukan siapa-siapa dia,"
"Menurut lo si Fifi gimana di mata lo?"
Dia tahu, untuk apa juga dia menanyakan hal seperti ini. Tapi serius, dia penasaran. Wahyu melirik padanya dengan mata curiganya itu. "Tumben banget lo nanya begitu?"
"Ya, nggak papa! Lo liat tadi, dia sampai nekat kaya gitu. Lo nggak berpikir dia serius banget suka sama lo? Sampai rela kaya gitu? Kenapa lo nggak sekali aja ikutin kemauan dia? Sikap lo tuh nggak gue paham,"
Wahyu tertawa getir. "Ya, gue paham! Gue tahu, kok!" katanya. Gadis itu di dalam masih diam. Bimbang, apa tidak apa-apa dia mendengar hal ini langsung dari sumbernya? "Jujur, gue nggak niat buat menghindari dia kaya gitu. Sama sekali. Lo tahu, Yo? Kadang ada kalanya kita harus menjauh dari suatu yang indah buat kebaikan,"
"Maksud lo?" tanya Fifi.
"Gue yakin lo nggak tahu hal ini." tebak Wahyu. "Fifi itu orang kaya,"
Fifi membeku di sana. Tapi memaksakan dirinya untuk berakting. "Eh? Orang kaya? Maksdunya?"
"Ya, orang kaya! Mungkin di sekolahan ini dia orang yang paling kaya. Ada suatu ketika pas gue mau pulang sekolah. Gue nggak sengaja liat dia lewat jalan beda dari orang lain. Iseng gue ikutin dia. Dan ternyata dia dijemput pakai mobil dengan supir," jelasnya. Wahyu tertawa getir. Nadanya terdengar miris. "Aneh banget gue sebegitu pedulinya soal hal itu. Gue bukan siapa-siapa dia, kan?. Tapi, saat itu gue mulai suka sama dia,"
"Dia udah suka sama gue dari kelas satu. Dia kasih hadiah, kasih semangat pas gue tanding bola, kasih gue perhatian, kasih gue senyuman dan kasih gue segalanya biar gue suka sama dia. Siapa yang nggak baper? Siapa yang nggak tertarik saat lo di jadikan spesial? Nggak ada, termasuk gue. Gue berniat balas perasaan dia. Berpikir kalau Fifi adalah perempuan yang nggak boleh gue sia-siain," jelasnya. "Tapi setelah kejadian pulang sekolah itu. Gue batalin semuanya,"
"Ke--kenapa?" sahut Fifi, suaranya gemetar.
"Gue merasa nggak pantas!"
Fifi membulatkan matanya. Mengeleng menolak apa yang ada di pikirannya saat ini. "Jangan bilang, karena---"
"Ya!" potong Wahyu. Dia lagi-lagi tersenyum, tawanya kali ini tidak menyenangkan. Sorot matanya juga sedih. "Orang kaya gue mana pantes jadi pacar dia. Cuman anak tukang laundry!"
Petir rasanya menyambar langsung menyerang ke hati gadis di sana. Diam-diam tangannya terangkat menyentuh dadanya. Nyeri sekali di bagian sana. Menyesal telah mendengar hal ini langsung dengan telinganya. Masih tidak percaya, Wahyu yang selama ini dia pikir adalah laki-laki yang optimis bisa jadi sepesimis itu terhadapnya. "Harusnya lo nggak berpikiran kek gitu, Yu! Nggak semua orang mandang harta! Fifi itu jelas cinta sama lo tulus," lirih Fifi.
"Ya, gue tahu, Yo! Fifi suka sama gue tulus! Gue bisa liat itu sendiri," balas Wahyu. "Tapi gue nggak bisa. Nggak ada alasan lagi untuk gue melanjutkan niat gue. Semua ini bakalan berakhir kalau gue diem aja, hindarin dia tanpa nyinggung dia. Beberapa bulan lagi kelulusan, kan? Setelah lulus, gue nggak bakalan ketemu lagi sama dia. Itu hal yang paling bener buat menyerah,"
Fifi tidak kuat. Dia bangkit, berdiri di depan Wahyu. "Gue nggak nyangka mental lo sepayah ini, Yu! Kalau lo suka sama si Fifi. Kenapa lo nggak berjuang?"
Decakan keluar dari bibir Wahyu. "Gue nggak mau, Yo! Terlebih ada orang resek yang nggak suka gue deket-deket sama dia. Injak-injak harga diri gue. Gue masih orang waras, gue sadar diri, kok! Gue emang nggak pantes. Jadi, sebelum orang lain bilang gue bakalan mundur sendiri,"
Gadis di depannya itu menatapnya kecewa. Alisnya menyatu, dan raut wajahnya sedih sekali. Matanya bahkan berkaca-kaca. Sebelum Wahyu tahu, dia cepat-cepat memunggunginya. "Gue latihan dulu," katanya begitu. Langsung pergi ke tengah lapangan.
Wahyu tidak tahu, mungkin karena begitu sedih sampai tidak sadar. Fifi menangis di tengah lapangan. Air matanya turun meluncur melewati pipinya saat dia menendang bola ke gawang. Sesekali dia seka begitu kasar dengan tangannya. Melampiskan kekesalannya dengan bola bulat itu.
Hari ini, gadis itu patah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCOLET (TAMAT)
Teen FictionFifi dan Tio bertukar tubuh karena sebuah coklat pelet. Mereka pikir ini buruk. Tapi nyatanya ini membantu kisah asmara mereka. Membongkar semua rahasia yang selama ini mereka sembunyikan. 🍫🍫🍫🍫🍫🍫🍫 Sebutanya...