[20] Tersipu

29 0 0
                                    

Wahyu hanya melirikkan matanya sebentar saat ada pengunjung masuk ke dalam tokonya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wahyu hanya melirikkan matanya sebentar saat ada pengunjung masuk ke dalam tokonya. Kembali fokus pada ponselnya. Jelas mengangap pelanggannya di sana tidak lebih dari angin lewat. Tidak penting.

Di saat seperti ini lah, dia jadi tidak profesional. Mengikuti perasaan di ranah pekerjaan.

"Eng, Yu!" panggil gadis di sana.

Ups, maksudnya lebih tepatnya Tio.

"Lo mau ambil baju?" tanya Wahyu. Menoleh saja tidak. "Kalau nggak, mendingan pulang,"

Tio menganguk saja. Memang itukan tujuannya datang ke sini. "Ya, mau ambil baju,"

Wahyu malas-malas bangun. Dia mengambil salah satu baju yang di simpan di lemari. Baju seragam sekolah milik Fifi yang sudah dicuci, di setrika dan rapih seperti rasanya seragam baru. Di lipat di lapisi plastik. Tio mendekat, cangung tingkat Dewa. "Lo sendiri, Yu?"

Tidak ada jawaban darinya. Dia hanya meletakan pakaian itu di atas meja. Kembali duduk, fokus pada ponselnya. "Tidak menerima pertanyaan. Kalau ada keluhan tolong tulis di note di sebelah sana lalu masukan ke kotaknya. Kalau nggak ada hal penting mendingan pulang. Udah malem. Nanti lo kenapa-kenapa gue nggak mau nolongin lo. Gue sibuk. Selamat malam"

Hal itu membuat Tio tergemap. Dia memang tahu bagaimana perasaan laki-laki ini pada Fifi selama ini. Katanya dia hanya ingin menjaga jarak. Ada sesuatu hal yang tidak dia tahu tentang alasannya menjaga jaraknya itu. Dia pernah bertanya sembari bercanda. Tapi dia tidak mendapatkan jawaban pasti. Mungkin ia benci juga risih, mungkin juga memang tidak ada rasa. Namun, dia tidak tahu Wahyu sebegitu parahnya memperlakukan gadis ini dengan sikapnya itu.

Dia tidak mau berkomentar. Dirinya sendiri juga melakukan hal yang sama pada Acha.

Tio meraih baju itu. Meremasnya sembari melihat baju itu serius. "Gimana kabar anak-anak di ekskul?"

Benar. Untuk apa dia menambah pertanyaan lagi saat dia sudah di usir oleh si penjaga tokonya. Fifi juga sebelumnya berpesan padanya untuk tidak membuat hal-hal yang akan memalukan dirinya di depan Wahyu. Katanya, kehidupannya bisa terenggut. Tapi, perlu tahu saja. Tio juga penasaran. Sudah beberapa hari dia tidak bertemu dengan teman-teman tim sepak bolanya. Terutama Wahyu.

Selama ini mereka selalu bersama jika di sekolah. Latihan ketika sekolah sudah usai. Sekarang, dia.malah sibuk dengan urusan tubuhnya ini. Dia tidak akan mengelak jika dia kangen dengan rutinitas kehidupannya dulu.

Juga Wahyu.

"Gue bilang gue nggak nerima pertanyaan!" balas Wahyu. Dia menurunkan ponselnya ketika heran dengan pertanyaan barusan. "Ngapain lo tiba-tiba nanyain anak-anak tim sepak bola sekolah gue?"

"Nggak papa! Gue denger mau tanding sama SMA Pelita. Soalnya gue kenal satu orang di sana. Gue mau lo harus menang di pertandingan itu," kata Tio. "Oh, ya! Mendingan lo ganti si Tio dari tim inti. Ini saran gue aja,"

Wahyu menyeringai. Dia bangun, keluar dari meja. Berdiri di hadapan Tio. Bersuara dengan lembut. "Fifi! Pulang sekarang, ya!"

"Kenapa, sih? Hah?" sela Tio. Wahyu menghela napas. "Gue penasaran. Kenapa lo menghindari nih cewek banget. Gue mau denger alasan lo, Yu! Sekarang!"

"Gue nggak hindari lo, Fi!" balas Wahyu pelan.

Tio mengerutkan dahinya. "Lah? Trus?"

Laki-laki itu diam, melihat ke arah lain sebagai pengalihan pertanyaan. Menunjuk jam dinding di sana. "Udah jam delapan. Pulang, sana!"

"Karena si Dewa, ya?" celetuk Tio.

Wahyu di sana membeku. Matanya mengerling, tapi terlihat seperti tidak kuat untuk menatap mata gadis di depannya. "Gue---"

"Dewa bilang ke gue di kenal lo. Gue tahu, Dewa orangnya kaya apa!" kata Tio. Sebenarnya, Tio tahu perihal Dewa itu. Mereka sudah pernah bertemu sebelumnya ketika sekolahnya ditetapkan akan bertanding dengan SMA Pelita beberapa minggu yang lalu. Anak-anak dengan bergelimpang harta itu datang saat mereka sedang latihan di tempat futsal. Menghina mereka juga menyinggung sesuatu pada Wahyu. Tapi Tio tidak tahu soal apa itu. Dia datang terlambat karena pergi ke kamar mandi. "Lo pernah ketemu dia?"

"Ya, gue kenal dia! Cuman sebatas temen aja," balas Wahyu singkat. "Nggak ada yang penting,"

Tio berdesis. "Ini gue kasih saran sama lo, Yu! Ini cewek, serius sama lo! Gue ngerasain kok! Gue nggak tahu kenapa gue kasih tahu ini ke lo. Tapi--" Tio memukul pelan Wahyu tepat di hatinya itu. Sekelebat teringat saat Dewa menghina Wahyu di kamar Fifi waktu itu. "--ini cewek rela demi lo! Kalau bisa gue bilang. Hati gue cuman buat lo doang, Wahyu!" lirihnya pelan. "Yaudah, gue duluan! Jangan kemaleman lo di sini,"

Dia benar-benar pergi. Meniggalkan Wahyu yang masih membeku di tempatnya. Begitu sudah di luar. Tio berlari menjauh dari sana. Berhenti di bawa sebuah pohon. Meludah juga bergidik geli. "Ihh huek! Astagfirullah alazim! Jijik gue! Kek homo! Mana serius banget dia ngeliatin gue! Moga-moga kaga kesambet tuh orang,"

Sementara itu, Wahyu di dalam masih diam. Tangannya terangkat menutupi wajahnya yang memerah. Satu tangannya yang lagi, menyentuh dadanya. Yang disana jantungnya berdetak kencang tidak terkendali.

"Lo curang, Fi!" bisiknya.

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang