[14] Gadis Gila

40 2 0
                                    

Acha kontan menoleh saat mendengar gumaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Acha kontan menoleh saat mendengar gumaman. Di sampingnya ada ranjang putih. Terbaring gadis yang kedua hidungnya merah karena darah mimisannya. Baru tersadar setelah sepuluh menit pingsan di dalam kamar mandi.

Sebelumnya, pingsannya Tio benar-benar membuat para gadis heboh. Terutama Acha. Dia panik mengguncang-guncangkan tubuh temannya itu. Dan mimisan itu menambah kecemasannya dua kali lipat. Berpikir yang bukan-bukan. Langsung tubuhnya di angkat ramai-ramai oleh para siswi ke UKS.

"Sssh! Gue dimana?" rintih Tio. Dia melirik ke sekitarnya. Baru sadar sudah berada di dalam UKS. "Siapa yang bawa gue ke sini?"

"Anak-anak cewek! Lo nggak papa, Fi?" tanya Acha. Dia menahannya untuk duduk, menuntunya untuk kembali tiduran. "Lo istirahat aja dulu. Gue udah bilang, kok, ke Pak Jetro. Kalau lo izin nggak masuk pelajaran olahraga dia,"

Tio meletakan lengannya di dahi. Ini tidak aneh, dia memang selalu seperti itu kalau sudah melihat hal-hal yang berbau vulgar. Kalau di ingat-ingat mungkin sejak dia SMP. Hidungnya jadi begitu lemah, langsung mimisan. Terserah mau bilang dia ini laki-laki lemah. Tubuhnya yang membuatnya jadi seperti ini. Dia tidak pernah mau jadi begini. Biasanya dia hanya akan mimisan. Mungkin karena berada di tubuh Fifi. Dia jadi pingsan.

Dan sialnya dia masih saja membayangkan apa yang membuatnya seperti ini. Benar kata Fifi. Dia sudah melakukan pelecehan seksual. Walau tidak sadar. Dan secara tidak sengaja. Dia mengakui hal itu.

"Lo beneran nggak papa  Fi?" tanya Acha lagi. Gadis itu mengengam tangannya kuat. Mengatakan dia benar-benar khawatir. "Kenapa lo nggak bilang lo lagi sakit? Itu alasan lo kaga bawa baju olahraga?"

Dia melirik. Tidak keduanya. Tapi itu alasan yang cukup bagus untuk mengelak. "Ya, maaf nggak ngasih tahu lo. Nggak tahu juga gue bakalan pingsan,"

"Huft! Lo tuh, ya! Bikin gue khawatir. Udah gitu, lo juga mimisan," omel Acha. Dia mengambil selembar tisu, lalu dia berikan pada Fifi di sana. "Nih, lo lap tuh hidung lo. Masih keluar nggak?"

Tio menerima tisu itu. Menyeka hidungnya. Mengeleng pelan. "Udah nggak!"

"Mau gue ambilin daun sirih nggak di belakang sekolah?" tawar Acha.

"Nggak usah! Mendingan lo hadirin pelajaran Pak Jetro. Gue bisa di sini sendiri," respon Tio ketus. Dia merebut semua  tisu dari tangan Acha. Dia boikot untuknya sendiri. Gadis itu masih diam. Melihat temannya itu dengan ekspresi yang tidak bisa di jabarkan. "Udah sana!"

"Fi! Lo nggak punya penyakit akut, kan?" tukas Acha. "Jujur aja, selama ini gue baru liat lo mimisan bahkan sampai pingsan begini. Lo bahkan pernah bilang ke gue lo nggak perah pingsan seumur hidup lo,"

Karena itu Tio tersedak ludahnya sendiri. Batuk tidak terkendali. "Apa? Maksud lo apaan? Mikir gue penyakitan?"

"Ya, siapa tahu! Lo sembunyiin hal kek gitu dari gue. Mana tahu lo tiba-tiba mati. Gue cuman denger kabar lo dari speaker sekolah trus gue suruh donasi buat lo," katanya enteng. "Lo jangan sekali-kali mikir buat kek gitu, deh, Fi! Nggak lucu tahu nggak! Gue kaga mau jadi temen yang kaga tahu apa-apa. Sekarang bilang deh, lo sakit apaan? Bukan kanker, kan?"

"Astagfirullah! Istigfar  Cha! Mulut lo tuh kayanya yang harus di lakban. Sembarangan aja kalau ngomong. Omongan tub bisa jadi doa!" sanggah Tio sensi. Sampai refleks menyentuh dadanya tapi cepat-cepat dia menjauhi tangan nakalnya itu. Berdecak kesal. "Gue kaga penyakitan! Gue cuman mimisan! Dan ya, gue sakit. Cuman kecapekan. Gue tidur bentar lagi juga nanti mendingan," jelasnya cepat. Mengusir Acha keluar. "Lo keluar, deh! Cepet!"

Acha bangun dengan wajah dongkolnya. Mengambil tas sekolahnya yang ada di atas kursi. Sebelum keluar dia berhenti di ambang pintu. Lagi-lagi bicara. "Awas lo, Fi! Sampai beneran! Gue jambak rambut lo,"

Baru setelah itu pintu benar-benar di tutup. Membuat Tio ternohok karena hal itu. Dia mengusap wajahnya. Terlihat tertekan sekali.

'Huft! Gue nggak kuat! Sumpah, gue harus cepetan ketemu penjual coklat ini, dan---'

"Eh, Fi!" Acha kembali masuk ke dalam. Masuk menutup pintu.

"Ngapain lo balik lagi?" tanya Tio sensi.

"Gue ganti baju di sini, ya?" Gadis itu sekarang mengunci pintu UKS. Lalu mengeluarkan baju olahraganya. "Bentar kok,"

"Apa! HEH! ADA KAMAR MANDI DI SEKOLAH! NGAPAIN LO GANTI DI SINI!" Hardik Tio. Acha berdiri di sana. Terkejut dengan suara pekikannya. "Sana di kamar mandi! Lo jangan menyalah gunakan UKS! Ini tuh buat orang sakit bukan buat ganti baju,"

"Tapi di sana serem, Fi! Elah bentar doang!" katanya santai. "Udah lo liat ke sana. Jangan ngintip,"

Tio berdesis. Menarik selimut di kakinya. Tiduran menghadap dinding. Mengutupi seluruh tubuhnya. Dia tidak peduli. Menyumpah serapah perempuan gila itu di balik selimut. Dia bisa saja memaklumi jika sekarang yang di tubuhnya ini adalah Fifi yang asli.

Tapi keadaanya berbeda sekarang!

"Jangan ngintip, Fi!"

"Kaga! Udah sana! Ah elah!"

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang