"Sudah pulang, Neng?"Tio menganguk saja menanggapi pertanyaan dari Santi, pembantu di rumah mewah ini. Dia masuk ke dalam rumah dengan wajah lesunya. Seluruh tenaganya terasa sudah terkuras. Hari ini benar-benar membuatnya lelah secara fisik dan batin. Terutama soal tubuhnya yang digunakan gadis itu untuk berkencan dengan Acha.
Benar, dia frustasi sendiri. Entah apa yang akan mereka lakukan di acara kencan mereka itu. Mereka tidak akan berci--
"Makan dulu, Neng!" seru Santi. Dia menyiapkan nasi di atas piring. Menunggu Tio untuk duduk. "Baru nanti mandi!"
Di depannya ada meja makan dengan kayu mahoni mengkilap. Panjangnya mungkin sekitar dua meter. Terukir begitu indah, kursinya juga tidak lupa. Di atas sana sudah tersaji berbagai macam makanan, dari ayam goreng, sayur udang dan juga bakwan jagung. Sudah siap untuk di makan. Tapi, di sana Tio masih diam. Dia melamun. Ucapan Fifi siang tadi terlintas.
Sesuatu hal yang penting.
"Gue nggak suka sayur asem. Tapi karena gue di badan lo. Gue bisa negrasain betapa enaknya sayur asem yang selama ini gue benci. Karena gue di badan lo gue akhirnya bisa naik motor yang selama ini gue di larang-larang. Dan karena gue di badan lo, gue bisa ketawa, ngobrol dan liat senyum Wahyu dari deket. Itu udah bikin gue bahagia, Yo!"
Tawa getir terdengar dari bibirnya. Serta seringai miris. "Bener! Gue juga kangen sayur asem Mamah! Lo emang bisa ngerasain hal itu. Gue juga bisa makan enak dan tidur enak di sini." katanya. Tio berjalan duduk di sana. Mengambil lauk di atas sana. Membuat piring itu sekarang penuh karena lauk. "Ya, kalau lo bisa hidup enak gue juga bisa hidup enak!"
"Laper banget, ya, Neng?" tanya Santi.
"Nggak! Cuman mau menikmati hidup ini aja! Juga---uhuk-uhuk!"
Santi buru-buru menuangkan air di gelas. Memberikannya pada Tio. "Pelan-pelan, Neng! Udah makam dulu! Jangan sambil ngomong makananya!" Tio menerima itu, meneguknya sampai habis. Melanjutkan makannya. Santi melihat itu sempat heran. Memilih pergi ke dapur. Meninggalkannya sendiri untuk makan. "Yaudah! Mbak, pergi dulu. Kalau ada apa-apa panggil aja, ya, Neng!"
Tio hanya menganguk. Melanjutkan makannya. Menyendok lumayan banyak nasi ke mulutnya. Pipinya juga mengembung seperti tupai. "Ng! Semiwngeu! Cuwan sewinggu! Sewlewih itwu gwue nggawa kalwan biswa diewm!" katanya tidak jelas. Tangannya mengambil satu bakwan jagung. Menggigitnya tidak santai. "Silawhkan! Kencwan sesuwkaw kalwian! Kalwau perwluw ciwuman sewkaliwan!"
Dia lagi-lagi memaksakan diri untuk memasukan makanan lain ke dalam mulutnya. Bahkan mungkin berniat menghabiskan seluruh makanan yang ada di atas meja. Dia tidak akan lagi merasakan makan-makanan enak seperti ini. Makanya mungkin dia jadi rakus seperti itu. Atau mungkin hanya pelampiaskan rasa kesalnya. Itu tidak jauh berbeda.
Sampai dia tidak sadar, ada seseorang mendekati dirinya. Tiba-tiba saja mengejutkan dirinya dengan mengebrak meja. Sekaligus muncul tepat di depan wajahnya. "Fifi!"
Sontak saja semua makanan di mulutnya dia sembur. Mengenai wajah orang di depannya itu. Tio kaget, tapi begitu melihat siapa korban dari semburannya. Dia malah kembali menyembur marah. "Lo apa-apaan sih?" omel Tio. "Lo pikir lagi main petak umpet apa? Orang lagi, makan! Mampuskan, sukurin!"
Di depannya ternyata adalah Dewa. Dia mengambil biji jagung yang menempel di wajahnya. Melihat itu meringkis. "Maaf, Fi! Nggak sengaja,"
Tio mengambil tisu di atas meja. Sekitar lima atau sampai sepuluh lembar. Entahlah, tangannya menarik asal dari bungkusnya. Lalu dia berikan langsung ke wajah laki-laki itu. Menutupi seluruh wajahnya. "Nih! Lap tuh!" Dewa menahan tumpukan tisu itu. Lalu membersihkan wajahnya. "Ngapain lo di sini? Gangu orang makan, aja!"
'Lagian gue heran, nih orang kek nggak ada kerjaan lain! Ngapain sih nih orang dateng mulu? Nggak lucu kalau dia nggak ada rumah!'
"Karena gue sayang lo," kata Dewa melantur.
Tio menoleh terkejut. "Apa?!"
Dewa duduk di salah satu kursi. Membuang tisu bekasnya ke atas meja. Jas dari seragam sekolahnya dia lepas, dasinya juga dia longgarkan. "Gue baru pulang dari sekolah. Langsung ke sini. Gue capek banget. Pengen liat lo. Biar semangat lagi,"
"Ya, ahaha! Liat deh, muka gue suka hati lo," balas Tio cangung. Diam-diam mencibir sinis. "Gombal lo bikin gue enek!"
"Fi!" panggil Dewa.
"Hah? Iya!"
"Kita tunangan, yuk?" Mereka saling tatap untuk beberapa detik. Tio mengedipkan matanya beberapa kali. Merasa apa yang dia dengar barusab itu adalah kesalahan. Sementara Dewa, dia menaikan kedua alisnya semangat. "Gimana?"
"Tu--tunangan?" ulang Tio panik.
"Gue pengennya bulan ini," tambah Dewa.
'Tunggu-tunggu! Tunangan? Ini apaan sih? Kenapa dia minta tunangan pas gue ada di badan si Fifi? Kenapa hidup gue jadi rumit banget gini sih? Perasaan, si Fifi nggak ada hal-hal berat pas di badan gue! Serius, jadi orang kaya itu nggak enak! Lagian ini orang ngebet banget sih? Lupa kalau masih sekolah?'
"Gue bakalan bilang ke orang tua kita kalau lo setuju,"
"Tunggu! Tunggu! Sabar, Wa! Sabar!" potong Tio. Dia gelisah. Memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. "Gini, Wa! Gue nggak bisa!"
Dewa mengerutkan dahinya. Tentu tidak senang. "Kenapa?"
"Karena--karena ini bukan waktu yang bagus! Ya, bukan waktu yang bagus!" kata Tio. Dia melipat tangannya di dada. Berusaha berakting seperti Fifi biasanya. Dia harus mengagalkan hal ini. Menolak mentah-mentah atau bagaimanapun itu. Akan jadi mimpi buruk kalau itu sampai terjadi. Dia tidak mau merasakan bertunangan dengan laki-laki menyebalkan ini. "Lagian gue nggak suka sama lo. Hati gue ini suka sama Wahyu. Buat apa gue harus tunangan sama lo ketika hati gue ada di orang lain,"
"Gitu?" tanggap Dewa. Dia melihat ke arah lain. Kalau saja Tio sadar, ekspresinya mulai berubah semakin gelap. "Hari ini lo nggak kaya biasanya, ya?"
"Kaya biasanya gimana maksud lo?" Tio mengerutkan dahinya. Merasa hal yang dia lakukan benar. Memangnya bagaimana Fifi biasanya? Dia itu gadis gila, hal seperti ini tidak akan mengherankan, bukan?
Dewa bangkit, dia menggulung kedua lengannya sampai siku. Lalu setelah itu mengeser kursi yang Tio duduki. Mengarahkan pada laki-laki itu. Membuat mereka saling berhadapan sekarang. Wajah mereka dekat sekali. Kedua tangan Dewa bertengger di kepala kursi. Mengurungnya di sana. "Biasanya lo nggak berani ngebahas Wahyu di depan gue. Bahkan nyebut nama dia aja lo nggak bisa," ucapnya dingin. "Kenapa? Si Wahyu nembak lo? Lo udah pacaran sama dia sekarang? Sampai lo ngomong dengan selancar itu sekarang? Di depan gue?"
Di sana, Tio tidak tergoyah. Ekspresinya datar saja. Bukan hanya itu, tiba-tiba saja dia menangkat kakinya. Menendang selangkangan Dewa dengan kencang. Bisa ketebak apa yang terjadi. Laki-laki itu tumbang di bawah. Meringkis sakit sampai terguling-guling. Tio bangun, menyeringai sinis. "Trus menurut lo? Gue nggak bisa kaya sekarang? Lo salah! Ini waktunya gue kaya sekarang. Ini sekali seumur hidup gue bisa begini ke lo. Ngasih pelajaran ke lo! Gue kasih tahu sama lo, Wa! Lo cowok payah. Wahyu lebih baik dari lo. Juga gue,"
"Fi! Ahggt! Tu--tunggu! Anjir sakit banget!"
Dewa di tinggalkan di sana. Tio melangkahi tubuhnya, segera naik ke lantai atas. Menaiki tangga cepat-cepat. Langsung masuk ke dalam kamar. Mengunci pintunya. Dia berhenti disana, melihat tangannya. Bergetar ketakutan, bukan hanya itu. Bahkan jantungnya juga berdetak kencang sekali. Membuat Tio tahu. Fifi memang tidak seperti yang dia kira selama ini. Dia salah sangka.
Fifi hanya gadis lemah yang terkekang oleh Dewa itu.
Tio menyeringai. Tertawa getir. "Lo lemah, Fi! Makanya lo nggak bisa dapetin si Wahyu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCOLET (TAMAT)
Roman pour AdolescentsFifi dan Tio bertukar tubuh karena sebuah coklat pelet. Mereka pikir ini buruk. Tapi nyatanya ini membantu kisah asmara mereka. Membongkar semua rahasia yang selama ini mereka sembunyikan. 🍫🍫🍫🍫🍫🍫🍫 Sebutanya...