[10] Introgasi

37 4 0
                                    

Yang terlihat dengan kasatmata, Fifi memojokan Tio di dinding belakang sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Yang terlihat dengan kasatmata, Fifi memojokan Tio di dinding belakang sekolah. Di sana hanya ada mereka berdua. Bukan tangannya yang mengurung laki-laki itu. Tapi kaki kanannya yang menyender pada dinding. Di sana, tampak jelas Tio menunduk ketakutan. Terpojok sekali oleh gadis di depannya.

Terlihat ketakutan sekali berhadapan dengan seorang gadis.

"Gimana? Hah? Mau jelasin?" kata Fifi emosi. Atau lebih tepanya Tio. Dia sudah di rasuki oleh emosi. Masih tidak percaya melihat dirinya sendiri di depan matanya.

Tio atau yang benar Fifi. Dia berdeham. Tangannya peduli untuk menarik rok yang sudah hampir memperlihatkan hal privasi dari tubuhnya. "Bisa turunin kaki lo? Lo lagi di badan gue, kan?"

Tio mengenduskan nafas sebal. Menurunkan kakinya. Melipat tangan di dada, mulai mengintrogasi pelaku tertukar tubuhnya ini. "Cepet jelasin! Gue nggak suka basa-basi,"

"Gue nggak tahu pasti, cuman---"

Tio hampir saja melayangkan tamparan kalau dia tidak menahan diri. Fifi otomatis melindungi dirinya. "Aaiissh! Lo mau gue hajar?"

Fifi menyender pada dinding. Di matanya dia memang melihat dirinya sendiri. Tapi, dia belum pernah melihat dirinya yang begitu galak seperti ini. "Mungkin  karena coklat," balasnya gagu.

"Coklat? Maksudnya?"

"Gue waktu itu beli coklat buat hari valentine di internet. Gue juga yang beliin buat Acha." jelasnya. "Waktu itu gue nemu toko yang jual Chocolet. Chocolate Pelet,"

"Apa? Coklat Pelet?" Kedua alisnya berkerut. Asing sekali mendengar kalimat itu.

Fifi menganguk. "Ya, kaya namanya. Dia coklat yang bisa melet orang. Kalau gue kasih coklat itu ke orang, dia bakalan suka sama gue," Tio semakin melihat dirinya benci. Ekpresinya makin gelap. "Gue kasih coklat itu ke Wahyu! Ya, awalnya gue nggak yakin kalau itu beneran. Karena iseng aja gue pengen beli dan buktiin. Siapa tahu Wahyu beneran suka sama gue." katanya.

"Coklat?" gumam Tio. Dia berusaha mengingat-ingat soal coklat yang dia tahu. Merasa tidak pernah makan coklat akhir-akhir ini. Dan begitu dia ingat saat Wahyu menyosornya dengan coklat ke mulutnya malam itu. Dia menyumpah serapah sembari berdecak pinggang. "Aaaaiissh! Si Wahyu, itu!" Tio berdecak. "Ya, gue yang makan coklat itu,"

"Berarti salah lo, lah!" ucap Fifi sensi. "Gue kasih itu buat Wahyu. Kenapa lo yang makan?"

"Gue mana tahu itu coklat punya lo. Lagian Wahyu yang nyosor aja jejelin coklat ke mulut gue! Yang salah itu lo, lah! Kalau aja lo beli coklat yang nggak aneh-aneh! Kita nggak bakalan tuker tubuh kek gini!" hardik Tio. Fifi lagi-lagi menunduk takut. Terpojok lagi. "Lagian gue nggak paham lo nemu aja coklat aneh kek gini! Sekarang yang gue liat itu diri gue sendiri di depan mata gue. Gue pengen banget hajar lo, tapi gue masih sayang sama muka gue," katanya. "Trus sekarang gimana? Lo nggak grepe-grepe badan gue, kan?"

"Yang ada gue yang nanya itu ke lo! Lo nggak main-main pake badan gue, kan?" tukas Fifi. Dia memicingkan matanya. Mencurigai Tio. "Lokan cowok! Gue mana tahu lo itu cowok brengsek apa nggak!"

Tio melipat tangannya di dada, menunjukan seringai liciknya. "Lo anggap aja gue cowok brengsek! Gue juga nggak tahu seberapa joroknya pikiran lo di dalem. Gue nggak bisa jamin lo nggak ngapa-ngapain sama badan gue. Sekarang gue kasih tahu ke lo! Gue mau balik ke badan gue! Sekarang juga!"

"Ya, gue mana tahu! Gue juga bingung! Gue nggak tahu caranya. Guekan juga kejebak di badan lo," jawabnya enteng. Melihat ke arah lain. Malu membahas soal tubuh masing-masing. "Lagian gue juga nggak mau liat badan lo."

Ketika itu, Tio mundur, memunggunginya. Berdesis licik. Tangannya terangkat, bergerak dengan aneh. "Aduh! Kok dada gue gatel banget, ya! Kayanya ada sesuatu deh, di dada gue. Kayanya gue harus garuk, deh!"

"Ahhhh!" Fifi cepat-cepat menahan Tio untuk bergerak lagi. Panik bukan main. Menahan kedua tangan itu. "Jangan! Tio! Jangan dong!,"

"Lepasin tangan gue!"

"Tio! Jangan! Gue mohon!" rengeknya. Wajarkan dia seperti ini. Dia tidak akan mungkin membiarkan tubuhnya ternodai. Walaupun jika di lihat hal itu wajar-wajar saja. Yang terlihat, Tio yang jelas-jelas menahan gadis itu. Merengek seperti anak kecil.

"Lepas!" Tio mencoba melepaskan diri, namun begitu sulit. Apa ini karena dia berada di tubuh gadis ini? Dia jadi sangat lemah?

Di sana Fifi tumbang berlutut di bawah. Mengusap-usap kedua tangannya. Memohon ampun. "Gue mohon, Yo! Jangan! Gue salah, iya gue salah!" rengeknya. "Tolong! Jangan apa-apain badan gue! Lo nggak mau punya catatan kriminal pelecehan seksual, kan. Lo cowok baik, ganteng banget, ya, gue mohon!"

Tio di sana melipat tangannya di dada. Melihat dirinya sendiri memohon-mohon di bawah kakinya seperti orang bodoh. Merengek-rengek layaknya orang lemah. Dia benci melihatnya. Seumur hidupnya dia belum pernah berlutut seperti itu pada siapapun. Sadar atau tidak, Fifi sudah menyalahgunakan tubuhnya. "Ya udah! Cepet bangun!" Fifi bangkit sembari menghapus air mata tipuannya. "Sekarang kita harus cari cara gimana biar kita balik lagi ke badan masing-masing," jelasnya. "Sekarang lo kasih tahu soal coklat yang lo beli itu,"

"Serius, Yo! Gue nggak tahu apa-apa soal coklat itu. Gue nemu juga nggak sengaja. Yang gue tahu, kalau coklat itu di makan sama orang salah akibatnya kaya kita gini," ungkapnya. Tiba-tiba saja menangis menutup wajahnya. "Hiks! Maafin gue, gue nggak tahu kalau bakalan kaya gini. Gue cuman mau kasih Wahyu coklat. Gue nggak tahu bakalan jadi kaya gini! Hiks!"

"Hei! Hei!" Tio panik, dia melihat ke sekitar. Takut ada orang yang melihat seorang laki-laki menangis di depan perempuan. Gadis ini benar-benar sudah menyalahgunakan tubuhnya. Lagi. Sejak tadi harga dirinya terus diinjak-injak. "Udah-udah jangan nangis! Lo malu-maluin gue tahu nggak! Lo itu masih di badan gue! Kalau ada orang yang liat. Mereka bakalan pikir Tio itu cowok cengeng! Berhenti nggak!"

Fifi akhirnya berhenti. Masih terisak-isak. "Ya, maafin gue sekali lagi,"

"Sekarang gini! Lo beli coklatnya di internet, kan? Lo tunjukin ke gue"

"So--soal itu ..."

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang