Fifi dan Tio bertukar tubuh karena sebuah coklat pelet. Mereka pikir ini buruk. Tapi nyatanya ini membantu kisah asmara mereka. Membongkar semua rahasia yang selama ini mereka sembunyikan.
🍫🍫🍫🍫🍫🍫🍫
Sebutanya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Motor matic itu di parkirkan di depan rumah. Fifi mengambil tas yang tergeletak di lantai teras rumah. Dia gendong di belakang punggungnya. Di sana, wajahnya terlihat sembab. Memang tidak terlalu jelas, tapi matanya sedikit membengkak. Tidak heran, semalam dia menangis saja di kamar tanpa suara sembari menghabiskan seluruh jajanannya. Perkataan Dewa sudah cukup untuk meruntuhkan seluruh semangatnya. Aneh juga kenapa dia selalu jadi begitu sensitif kalau sudah berurusan dengannya. Padahal dia tidak harus memikirkannya itu.
Lebih baik dia fokus pada dirinya sendiri. Jika memang yang di atas memutuskan jodohnya adalah Wahyu. Suka ataupun tidak dia akan bersamanya sampai akhir hayat.
"Mau berangkat?" kata Ibu Tio. Keluar memberikan selembar uang lima puluh ribu padanya. "Uang jajan kamu. Sama uang bensin,"
Fifi menerima uang itu. Di tatapnya cukup lama dengan wajah murungnya. Lalu menganguk. "Iya, terima kasih, Mak!"
"Kamu ada masalah?" tanyanya. "Kalau ada apa-apa cerita sama, Mama! Biar Mama bisa bantu,"
Tawaran itu tentu saja menarik sekali. Kalau bisa dia langsung menyosor memeluk Ibu Tio, menangis di pelukannya lalu menceritakan semua hal yang terjadi kemarin padanya. Mengatakan jika dia sangat lelah, dia sedih, dia sudah tidak kuat berada di kondisi yang menguji mentalnya ini. Tubuhnya yang tertukar dengan Tio sudah membuatnya frustasi, tapi bertemu dengan Dewa dan mendengar ucapannya semalam sudah terlalu mendobrak kesabarannya.
Dia ingin menangis, tapi tidak bisa. Air matanya sudah terkuras habis.
"Nggak papa, kok, Mak! Nggak usah khawatir. Nggak ada apa-apa, kok! Cuman semalem nggak bisa tidur. Ini matanya sampe bengkak," elaknya.
Ibu Tio mengganguk. "Yasudah kalau tidak ada apa-apa. Kalau kamu nggak enak badan mendingan nggak usah sekolah."
"Nggak papa, Mak! Udah, berangkat sekolah dulu,"
Fifi meminta tangan untuk dia salimi. Setelah itu pergi berangkat sekolah bersama motornya itu. Motornya berjalan cukup lambat, dia sengaja melakukan hal itu. Pikirannya sedang traveling kemana-mana. Ingin wajahnya di terpa angin pagi yang santai kali ini. Saat jalanan sepi tanpa kendaraan lain. Dia melihat ke atas langit. Disana begitu banyak awan-awan berbentuk bulat, langit biru dan matahari mulai muncul. Cahayanya saja sudah mengenai pipinya.
Jujur, hal itu sedikit membuat dia tenang.
Dia berhenti saat ada lampu merah di ujung sana. Membuat kemacetan cukup panjang. Motornya berhenti di pinggir jalan. Matanya sibuk melihat kesana kemari. Sampai mendapati satu objek tidak asing di sebrang sana. Itu Acha.
Gadis itu sedang berdiri menunggu angkutan umum melintas. Sepertinya dia kesiangan. Padahal waktu sudah cukup siang untuk dirinya menunggu angkutan umum. Kalau terus begini, bisa-bisa dia telat. Jadi, tidak salah jika Fifi berinisiatif mengajaknya untuk berangkat sekolah bersama.
Mereka itukan sahabat.
"Acha!" serunya. Gadis itu menoleh. Tentu saja terkejut saat melihat sosok Tio yang memanggil namanya. "Sini!"
Acha menurut, dia menyebrang jalan. Menyempil di antara motor dan mobil. Dengan cepat sudah ada di sebrang. Di samping Fifi. "Eh, Tio! Kenapa?" katanya malu-malu. "Lo baru berangkat?"
"Eh, iya, iya mau!" serunya panik.. Langsung pergi ke belakang. Membuat sedikit jarak saat duduk di boncengannya. Tidak lam setelah itu lampu hijau menyala. Semua kendaraan maju bergantian. Begitu juga mereka. Acha terlihat cangung sekali di belakang. Tapi tidak mengelak jika hatinya berpesta karena bisa di boncengi oleh laki-laki yang dia suka. Merasa usahanya selama tiga tahun ini terbayarkan. Ah! Juga coklat itu.
Rasanya dia ingin berteriak sangking bahagianya.
"Tumben lo belom di sekolah!" ucap Fifi. Dia melihat ekspresi Acha lewat kaca spion. Gadis itu panik, dia bisa lihat Acha menelan salivanya sebelum menjawab pertanyaannya.
"Ya, kesiangan! Semalem gue nggak bisa tidur,"
"Eh? Sama kaya gue! Gue juga semalem nggak bisa tidur," balas Fifi. "Lo nggak mikirin gue, kan?"
Acha tersentak kaget. Tersenyum malu-malu. "Iya, mikirin lo juga!"
Fifi menahan tawanya. Benar, menjahili teman itu memang seru sekali. Dan menahan bengek itu bukan hal mudah. Dan kenapa dia tidak sekalian saja menjahili Acha. Berhubung dia sedang mengambil alih tubuh Tio. Dia bisa memberikan hadiah kecil pada sahabatnya itu. Selama ini dia selalu mendapatkan hal buruk dari sikap Tio. Setidaknya dia harus merasakan bagaimana di perlakukan ramah oleh orang yang dia suka.
Begitu mereka sudah ada di parkiran sekolah. Acha turun, beberapa orang melihat mereka penasaran. Bertanya-tanya apakah mereka pasangan baru. Sampai Acha menggelengeng kodekan tidak ada apa-apa antara dia dan Tio. Lalu tersenyum malu-malu.
"Ayo! Masuk!" ajak Fifi setelah mengambil tasnya.
Acha menghentikan dirinya. Wajahnya merah sekali sekarang. "Eng, Tio! Terima kasih, ya! Buat tumpangnya,"
"Iya, sama-sama!" balas Fifi. Masih menahan tawanya. Serius, sikap Acha sekarang benar-benar membuat dia tertawa. Dia kembali melakukan menjahili Acha. Tangannya terangkat, mengusap kepala gadis itu. Lalu bersuara dengan nada gentelnya. "Lain kalau lo telat. Lo bilang aja ke gue!"
Fifi mengangguk. "Iya, yaudah gue duluan, ya!" Dia melewati Acha. Meninggalkan gadis itu di sana. Masih tercengang dengan ucapannya barusan. Tapi langsung memukul pipinya kencang sekali untuk menyadarkan dirinya dari lamunan. Lalu menunjukan senyumannya itu. Menghentakan kakinya senang sekali. Berteriak kesenangan.
Sementara itu, Fifi sudah tidak bisa menahan tawanya. Kabur pergi ke kelasnya.