[3] Chocolet

46 4 0
                                    

Di kamarnya, Fifi sibuk mengscrol layar touchpad laptop dengan jarinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di kamarnya, Fifi sibuk mengscrol layar touchpad laptop dengan jarinya. Di depannya, terpampang banyak toko yang menjual berbagai macam coklat di internet. Semuanya tampak lezat dan cantik. Beberapa sudah di masukan ke keranjang oleh gadis itu. Tapi belum ada coklat yang membuatnya terpukau.

Coklat khusus untuk dia berikan pada Wahyu, di hari Valentine pula. Dia tidak mau jadi buruk. Coklat yang akan dia berikan pada pujaan hatinya haruslah paling mewakili perasannya. Inginnya dia membeli coklat berbentuk hati. Tapi, setelah di pikir-pikir. Itu terlalu berlebihan.

Sudah setengah jam Fifi menatap layar laptopnya. Dari coklat batang, kue coklat, truffle, praline bahkan fudge. Atau juga coklat-coklat merek terkenal sudah dia lihat. Begitu banyak pilihan di sana, apa lagi rasa dari coklatnya. Semakin dia menjelajah terlalu dalam dan jauh. Semakin sulit baginya untuk mengambil keputusan coklat mana yang harus dia beli.

"Aduhh!" Fifi mengacak-acak rambutnya sendiri. Akhirnya menyender di kursi untuk beristirahat sejenak. "Yang mana yang harus gue beli? Semuanya bagus cuman belum ada yang pas sama gue!"

Di kamarnya itu, dia sendiri. Di belakangnya ada ranjang kingsise dengan selimut putih, modelnya seperti milik ratu-ratu di kerajaan. Tidak jauh, ada lemari besar setinggi dua meter dari kayu jati berdiri di pojok kamar dekat jendela dengan kaca yang lebar. Tertutup gorden abu-abu. Kalau di buka, akan mengarah langsung pada balkon di luar.

Ya, orang tuanya cukup punya banyak uang. Dia tinggal di rumah mewah di dalam komplek. Anak tunggal dari Ayah yang seorang pembisnis mobil yang cukup sukses, Ibunya adalah pengusaha roti yang punya toko sendiri. Tidak banyak orang yang tahu jika dia orang yang cukup berada. Memang ini adalah yang dia mau. Bahkan lebih baik jika orang-orang tidak tahu hal ini. Termasuk Acha, temannya sendiri.

"Apa gue bikin sendiri aja kali, ya? Katanya kalau coklat yang bikin sendiri, perasaan kita bakalan terasa sama yang makan!" gumamnya. Tiba-tiba saja dia duduk tegak, meletakan dahinya di ujung meja. Mengeluh kecewa. "Tapi, gue nggak bisa bikin coklat!"

Tiba-tiba saja, pintu kamarnya terbuka. Fifi tersadar, dia buru-buru menutup layar laptopnya. Panik sendiri.

"Fi?" sapa seorang laki-laki, dia mengenakan seragam sekolah yang berbeda dari miliknya. Lengkap dengan jas berwarna krem dan bet dari sekolah swasta. "Ngapain lo?"

Fifi menelan salivanya. Menenangkan dirinya. "Nggak ngapa-ngapain,"

Laki-laki itu masuk, menutup pintunya rapat-rapat. Berdiri di depan Fifi yang masih duduk di kursi belajarnya. "Serius?"

"Nggak ngapa-ngapain! Gue lagi belajar. Lo ngapain sih ke kamar gue? Gangu orang aja. Minimal ketok pintu dulu, kek! Bikin orang jantungan aja," omelnya. Begitu dia melihat tatapan laki-laki itu, dia menunduk gugup. Sekelebat melihat seorang iblis di depannya. "Kalau nggak ada yang penting, mendingan nggak usah ke sini. Gue lagi nggak mau ketemu lo, Dewa,"

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang