Fifi dan Tio bertukar tubuh karena sebuah coklat pelet. Mereka pikir ini buruk. Tapi nyatanya ini membantu kisah asmara mereka. Membongkar semua rahasia yang selama ini mereka sembunyikan.
🍫🍫🍫🍫🍫🍫🍫
Sebutanya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tio membanting pintu kamar milik Fifi. Dia lari dari pintu masuk, menaiki tangga langsung masuk ke dalam. Menyambar laptop yang ada di atas meja dengan ngos-ngosan. Duduk di sana mencari toko yang gadis itu maksud.
Apa namanya, Chocolet?
Sepertinya dunia ini sudah mulai tidak baik-baik saja. Keberadaan peletnya saja sudah hal yang tidak baik. Sekarang muncul versi lainnya. Coklat Pelet. Bisa di lihat bagaimana keheranannya Tio dengan wajah gadis yang dia pakai itu.
"Coklat pelet! Coklat yang bikin orang yang makan suka sama orang yang beli coklatnya." Tio tertawa getir. "Trus kenapa? Kenapa malah jadi ketuker badan gue sama tuh cewek?" tanyanya dongkol. Tapi buru-buru menampar pipinya sendiri. "Eh, tapi masih mending. Daripada efeknya gue jadi suka sama si Fifi. Itu lebih buruk lagi." tambahnya. Menganguk bersyukur. "Setidaknya walaupun gue ketuker. Gue masih Tio yang biasanya."
Setelah itu, dia kembali pada layar laptop. Membuka internet dan mencari toko yang Fifi katakan. Gadis itu bilang judulnya hanya Chocolet dengan gambar profilnya coklat truffel beralaskan piring dari tanah liat. Dan di sampingnya di temani kemenyan yang sedang di bakar. Mau tahu bagaimana reaksi dia saat mendengar penjelasannya itu. Tentu saja tidak percaya. Murka bukan main. Berlanjut mengomeli gadis itu sampai dia puas.
Gambarnya sudah jelas memperhatikan hal yang aneh. Tapi dia tetap saja membelinya. Dasar gadis aneh!
"Apa? Li---Lima juta?" ucap Tio sesak napas. Tidak butuh waktu lama baginya menemukan toko itu. Tapi saat dia melihat nominal harganya. Kepalanya langsung terserang nyeri. Dia bangun, berdecak pinggang sembari mengitari kamar luas itu. "Coklat sekecil itu harganya lima juta. Dan anehnya tuh cewek tetep beli tanpa mikir panjang!"
Tio kembali duduk. Membaca deskripsi toko itu. Sejak tadi decakan tidak absen dari bibirnya. Penasaran tingkat tinggi. "Chocolet, atau Chocolate Pelet. Seperti namanya. Ini coklat yang bisa melet seseorang. Kalau orang yang kamu suka makan satu coklat ini dan kamu juga makan coklatnya. Orang itu dipastikan akan suka padamu," ucapnya mendikte. Kembali mengsrcol layar ke bawah. Tapi tidak menemukan apapun lagi. Jelas membuat Tio dongkol. "Itu, doang?"
"Gimana bisa gue ketemu sama yang jual coklat ini kalau nggak ada petunjuk lain." keluhnya. Dia menyender di kursi. Melihat langit-langit atap kamar yang terlukis dengan gambar para Dewa-dewa yang mengarah langsung pada surga. Karena itu juga dia sedikit mendapat ketenangan. Entah kenapa gadis itu memilih lukisan klasik yang sebagian besar orang-orangnya hampir telanjang bulat untuk di lukis di atas sana. Apa mungkin untuk menenangkan diri seperti yang dia lakukan sekarang?
Tio lagi-lagi berdecak duduk tegak. "Ah! Nggak tahu, lah! Gue rasa gue harus mulai latihan ganti gender kalau-kalau seumur hidup gue kaga bisa balik lagi" ucapnya begitu. Tapi lagi-lagi dia langsung menolak hal itu mentah-mentah. Dia menjambak rambut Fifi. Mengacak-acak rambutnya. "Aah! Gue ngomong apa, sih? Nggak-nggak! Gue harus balik! Ahahh! Ini semua gara-gara lo dasar cewek aneh! Lo yang bucin kenapa gue yang kena getahnya! Lo rasain nih! Botak, botak lo!" Dia kesetanan. Benar-benar menghancurkan cepolan rambut itu. "Aah! Aduh sakit, sakit!"
Ketika rambutnya sudah acak-acakan, matanya melihat sesuatu di bawah sana. Tepatnya di tempat sampah di bawah meja. Dia meraihnya. Membuatkan matanya antusias ketika mendapati alamat pengirim coklat itu. Bekas dari pembungkus paket pengiriman coklat itu.
Tio bangun, dia melihat benda di tangannya berbinar. Mengangkatnya ke atas penuh harapan. "Ini! Ini dia! Hahaha! Ada! Ada alamatnya!" pekiknya heboh. Melompat-lompat sangking senangnya. "Ada nomor telfonnya juga! Gue harus telfon! Mana! Mana hp tuh cewek!"
"Fifi!" panggil seseorang di luar. Suara seorang laki-laki.
Tio panik, dia kembali memasukan alamat itu ke tong sampah. Merapihkan barang seperti sebelum dia masuk ke sini. "Ya--masuk!"
"Lo lagi apa?"
"Ini lagi---"
Di ambang pintu. Berdiri Dewa dengan seragam sekolahnya. Seperti bisanya, laki-laki putih, alis tebal, mata tajam, hidung yang di ukir indah juga bibir pinknya. Dia semakin tampak lebih tampan dari biasanya. Menebar pesona tanpa dia sadari. Terlebih dengan seragam yang dia kenakan. Sudah persis seperti direktus perusahaan. Tapi, hal yang membuat Tio membeku di tempatnya. Bukanlah hal itu.
"Tumben lo pulang cepet," kata Dewa. Dia masuk membiarkan pintu terbuka. Duduk di tepai ranjang. Bahkan tiduran di sana. "Biasanya lo pulangnya agak sorean,"
Tangan Tio mengepal kencang. Gigi-giginya mengertak diam-diam. Menunjukan seringai bencinya. "Ngapain lo di sini?" tanyanya ketus.
"Ya, mungkin ke depannya gue bakalan sering ke sini." balas Dewa. "Kedua orang tua kita udah akrab dari dulu. Gue nggak kaget kalau mereka bakalan restuin kita berdua. Lo juga tahu itu, kan? Apa lo belum tanya Ayah lo?"
Tio memberanikan diri untuk melihat Dewa. Menahan diri di balik aktingnya. "Soal apa?"
Dewa menghela napas. Duduk melihat gadis di depannya. "Soal perjodohan. Lo masih nggak mau terima hal itu, ya?"
'Perjodohan?' batin Tio. 'Dewa sama Fifi dijodohin?'
"Fi! Gue masih ngomong baik-baik sama lo. Lebih baik lo cepet lupain si Wahyu. Mau lo ngelakuin apapun. Lo bakalan sama gue!" tutur Dewa. Laki-laki itu bangun, mendekat. Tiba-tiba saja kedua tanganya mencengkram pundak gadis itu. Memaksanya untuk menatap kedua matanya. "Gue sayang sama lo, Fi! Gue lebih baik dari si Wahyu! Anak tukang laundry kaya dia itu nggak bakalan bisa bikin lo bahagia! Dia itu nggak pantes buat lo. Kenapa lo nggak mau nerima hal itu? Tolong, jangan jadi perempuan keras kepala."
Di sana, Tio masih diam. Dia balas kedua mata itu tanpa takut. Bahkan dia ingin sekali memukul laki-laki di depannya ini kalau dia mau. Tio memang mengenal Dewa. Musuh bebuyutan tim sepak bolanya. Mereka juga nanti akan bertanding. Yang dia tahu, Dewa hanyalah cowok yang suka sekali merendahkan orang. Merasa dirinya yang paling tinggi dari siapapun.
Pertemuan pertama kali mereka tidak berjalan baik.
'Ah! Ini alasan si Fifi nggak suka sama lo! Wajar dia milih Wahyu ketimbang cowok sedeng kaya lo,'
Dewa melepaskan kedua tangannya. Mengusap kepala gadis itu dengan senyumannya. "Kita makan siang bareng, ya! Gue tunggu di meja makan. Gue udah masakin steak daging sapi buat lo,"
Hanya anggukan yang Tio lontarkan sebagai jawaban. Dewa setelah itu keluar kamar. Menutup pintunya rapat. Tio tertawa getir, dia kembali memgambil potongan alamat yang dia buang tadi. Melirik ke arah pintu.
"Gue harus balik ke badan gue! Gue nggak bisa bayangin kalau gue tetep di badan nih cewek. Dan nikah sama tuh orang,"