[25] Muak

24 1 0
                                    

Tio duduk tidak nyaman, matanya tidak berhenti melirik kesana kemari, di sekitarnya ramai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tio duduk tidak nyaman, matanya tidak berhenti melirik kesana kemari, di sekitarnya ramai. Tidak heran, sekarang dia sedang berada di taman yang tidak jauh dari sekolahnya. Duduk di bangku panjang bersama Acha. Menikmati satu cup es krim yang mereka beli dari pedagang kaki lima. Miliknya rasa coklat sementara Acha stroberi dengan susu di atasnya.

Dia ingin pulang, tapi gadis di sampingnya ini malah menariknya. Memaksanya untuk menikmati es krim di taman ini. Katanya ini memang rutinitas mereka. Supirnya juga paham akan hal itu. Memarkirkan mobilnya di ujung taman di sana. Duduk di taman setelah pulang sekolah sembari menimkmati es krim. Aktivitas ini berlaku setiap hari jumat. Hari terakhir mereka sekolah tiap minggunya.

Dia tidak mengangap ini adalah hal buruk. Tapi setelah dia berdebat panjang dengan Fifi di sekolah siang ini. Dia kewalahan. Lagipula, bukannya mereka akan berkencan malam ini?

"Eh, Fi! Menurut lo gue harus apa?" tanya Acha. Gadis itu menyendok sedikit es krimnya. "Gue harus mempersiapkan apa?"

"Buat?"

"Buat kencan sama Tio!" tekannya.

Tio mendengar hal itu tersedak ludah sendiri. Buru-buru menoleh. "Hah?"

"Iya, tar malemkan dia mau ngajakin gue kencan. Gue masih nggak percaya aja. Gue takut ini mimpi! Ini seriusan, kan? Bukan bohongan? Gue takut gue di bohongin," katanya. "Lo emang ada benernya juga Fi! Tio yang kek gitu harusnya gue curigain. Selama ini dia jutek banget ke gue, selalu dingin banget dan mungkin anggap gue nggak ada. Tapi, gue udah suka sama dia. Di ajak kencan sama dia, walaupun rasanya aneh tapi gue berharap banget dan gue seneng banget..Bahkan senengnya minta ampun,"

Dia bungkam. Memilih menikmati es krimnya saja. Tapi jelas wajahnya berubah murung. Mendengar Acha bicara seperti itu membuat dirinya merasa tidak perlu respon soal itu. Membiarkan Acha kembali bicara. "Gue harap nanti gue nggak ngecewain dia. Gue harus jadi sempurna pas nanti kencan sama dia! Gue juga harus dandan dan pakai baju yang paling bagus"

"Cha!" panggil Tio.

"Kira-kira Tio bakalan ajak gue kemana, ya? Eh, iya hari inikan hari jumat. Apa dia bakalan bawa gue ke pasar malem?" Gadis itu tidak mendengarkan Tio. Masih bicara sendiri di sebelahnya. "Apa jangan-jangan dia mau nembak gue di---"

"ACHA!" hardik Tio. Dia bangun, membanting es krim di tangannya. Berdiri di depan Acha ketika gadis itu masih tersentak kaget. "Tio, Tio, Tio, terus! Lo kayanya nggak ada pembahasan yang lain, ya, selain dia! Lama-lama gue jadi muak dengar nama dia,"

Acha mengerutkan dahinya. Bingung dengan sikap temannya itu. Tidak pernah dia melihat Fifi jadi begitu marah seperti ini. "Fi? Lo kenapa marah?"

"Gue nggak suka aja! Gue nggak ngerti kenapa lo bisa suka sama Tio! Apa yang lo bisa bangakan dari cowok kaya dia? Dia itu nggak lebih dari sekedar cowok pengecut yang belom apa-apa udah nyerah duluan! Cowok yang nggak peka, nggak peduli dan jelas nggak mau nerima perempuan manapun. Jelas lo di perlakukan sejutek itu selama ini. Lo masih suka sama dia? Dimana otak lo?"

"Fi!" Acha menghela napas. "Denger, gue tahu lo pasti marah atau lo cemburu karena gue doang yang di ajak kencan sama Tio sedangkan Wahyu nggak ngerepon apa-apa sama lo. Aneh juga karena lo tanya itu. Tapi, Fi! Gue suka sama dia!.Cuman itu yang bisa gue jawab,"

Tio mengeleng dongkol. Kembali duduk, mengusap wajahnya. "Cha, lo dengerin gue! Lo nggak bisa bahagia sama Tio!"

"Kenapa?" tanya Acha. "Kenapa gue nggak bisa bahagia sama Tio?"

Pertanyaan itu benar-benar membuat mulut Tio membungkam. Terutama saat matanya melihat wajah gadis itu. Ekspresinya menunjukan kebingungan dan tanda tanya. Merasa kalimat yang dia lontarkan sebelumnya tidak benar. Ucapan Fifi juga langsung terlintas di otaknya. Menamparnya begitu keras.

"Lo suka sama Acha, kan?"

Akhirnya Tio kalah, lagi-lagi hanya bisa menghela napas kasar. Kalimat yang ada di ujung lidahnya tidak bisa terlontar. Padahal dia tahu jawabannya. Tapi berat sekali untuk memberitahukan pada Acha

"Kenapa, Fi?" tanya Acha lagi. "Lo ada masalah, ya sama Tio? Beberapa kali ini lo berdua ngobrol, kan? Lo nggak---"

"Nggak! Jangan mikir yang nggak-nggak! Gue cuman merasa aneh aja sama sikap dia. Gue cuman takut aja lo bakalan disakitin sama dia." ucap Tio. "Tio kasih tahu gue. Dia belom pernah deket sama cewek manapun selama ini. Dan lo satu-satunya cewek yang masih bertahan suka sama dia. Dia itu nggak pernah mau nerima hati cewek manapun masuk ke hati dia. Itu dia yang sebenarnya,"

Acha tertawa geli. "Dia ngomong kaya gitu ke lo langsung?"

"Ya, mungkin bisa di bilang kaya gitu,"

"Fi! Lo ternyata nggak begitu tahu soal cinta, ya? Yang gue liat selama ini lo semangat banget soal Wahyu. Kaya lo tuh cinta mati banget sama dia. Rela ngelakuin apapun demi dia." katanya. "Fi, Tio bukannya nggak mau nerima hati cewek manapun. Lo salah! Dia itu belom ngerasain yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama,"

"Hah?" ulang Tio bingung.

"Gue akuin Tio ganteng. Dia bisa masuk ke standar orang-orang ganteng. Bahkan dia juga pantes dapet jabatan pangeran di sekolah. Tapi bukan itu yang gue liat dari dia. Tapi hati dan kebaikan dia. Ok! Gue jujur, awal pertama Tio menarik perhatian gue itu ketika dia datang ke rumah Rakha dan gue yang langsung kepicut sama pesona dia. Gue pikir, ya, yaudahlah! Semua orang bisa ngerasain hal itu. Apa lagi ke idola. Tapi, pas gue liat dia begitu sabar pas ngebalesin semua perlakuan Rakha ke dia, ketika dia waktu itu ngasih payung ke gue pas hujan di sekolah trus juga sikap friendly dia ke orang-orang yang tanpa dia tahu. Dia menebarkan kebahagiaan kesemua orang. Senyuman dia bikin orang bahagia. Di situ gue berpikir, ahhh! Gue kayanya suka sama Tio. Dia pasti bisa bikin gue bahagia,"

"Tapi setelah itu, mungkin Tio sadar gue suka sama dia. Dan senyuman yang selama ini gue liat. Pudar. Tergantikan dia yang selalu jutek dan dingin ke gue. Itu bikin gue sedih!" tambahnya. Acha mengenduskan napas lesu. Es krim di tangannya juga sudah habis. "Kalau kencan malam ini adalah waktu terakhir kalinya gue bakalan liat senyuman dia. Itu nggak papa, kok! Gue udah seneng,"

Tanpa tahu, Tio memperhatikannya sejak tadi. Matanya tidak lepas melihat Acha. Ada gejolak aneh muncul di hatinya, perasaan aneh yang timbul keluar entah darimana. Memacu detak jantungnya semakin cepat berdetak. Dan merubah pandangannya. Membuat gadis itu terlihat berbeda hari ini. Dia tampak mempesona. Tapi, dia tidak melanjutkan. Cepat-cepat menarik kepalanya. Melihat ke arah lain. "Ya, terserah lo, deh! Gue nggak bisa ngomong apa-apa lagi,"

"Trus gimana soal, Wahyu? Lo udah kasih coklat ke dia, kan? Itu udah suatu kemajuan. Dia pasti bakalan nerima lo. Dan lo bakalan sama dia. Percaya sama diri lo. Jangan menyerah,"

Tio tertawa getir. Benar, Acha tidak tahu apa yang dialami Fifi sekarang. Mungkin nasib percintaannya lebih buruk darinya. "Mungkin gue nggak bakalan bisa sama Wahyu. Dan nggak akan pernah dan nggak bisa jadi pacar dia,"

"Eh?"

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang