Pintu tempat laundry milik keluarga Wahyu terbuka. Di dalam, laki-laki itu terdiam. Bungkam saat melihat siapa pelanggannya kali ini. Dia yang bermain ponsel sampai berhenti. Berdiri menyambut dengan wajah tidak ramahnya.
Fifi yang datang sebagai pelanggan masuk dengan cangung. Dia masih memakai seragam sekolah. Padahal langit sudah gelap di luar. Wahyu saja sudah berganti pakaian santai. Menjaga toko milik keluarganya itu. Gadis itu berdiri di depan meja, meletakan satu paperbag ke atas sana. "Ini! Gue mau laundry!"
Wahyu menerima itu, melihat ke dalam. Hanya ada satu setel baju seragam sekolahnya. Baju atasan dan rok. "Satu setel doang?" Fifi menganguk gagu. Mulutnya tertutup rapat. Wahyu menulis bon untuk pakaian milik gadis itu. Merobeknya, lalu memberikannya pada gadis itu. "Sembilan ribu! Bayar sekarang aja, ya!"
"Oh, ya!" Fifi menerima kertas itu. Dia melepaskan tasnya. Mengambil dompetnya di sana. Tanpa tahu, Wahyu memperhatikan gadis itu. Melihat apa yang dia lakukan. Tapi entah mengapa wajah yang dia tunjukan tidak pernah biasa saja. Terlihat benci dan risih. "Ini!" Fifi memberikan uang sepuluh ribu. Dan di terima oleh Wahyu. "Kembaliannya ambil aja,"
"Gue nggak mau!" tolaknya. Wahyu membuka laci, memberikan kembaliannya pada gadis itu. "Nih, ambil!"
"Em, Wahyu!" ucap gadis itu.
"Ambil uangnya," desak Wahyu. Karena tidak di respon cepat. Dia sampai meraih satu tangan gadis itu. Meletakan uang kembalian itu padanya. "Udah! Nanti kalau baju lo udah bersih. Gue kabarin lo,"
"Wahyu gue mau ngomong sama lo," serobot gadis itu sembari memekik. Kedua matanya bahkan menutup karena begitu grogi. Mengengam uang di tangannya erat sekali. Tapi begitu dia membuka matanya. Yang dia dapatkan adalah ekspresi Wahyu yang datar saja. "Wahyu?"
"Gue sibuk," balasnya begitu. Kembali duduk meraih ponselnya. Mencoba mengabaikan gadis itu secara terang-terangan. "Pulang sana. Udah malem. Lo juga masih pake seragam. Tar kalau ada apa-apa di jalan lo yang susah. Di luar banyak orang jahat. Lo itu target mudah,"
Fifi tidak mau menyerah. Dia kembali mengendong tasnya. Langsung duduk di kursi kosong dekat pintu. "Gue tunggu lo sampai selesai,"
Mendengar hal itu tentu saja Wahyu dongkol. Sampai kapanpun dia tidak akan pernah menang dari Fifi. Gadis itu memang terlihat polos. Tapi kalau sudah begini dia sulit sekali untuk di tumbangkan. Jadi, Wahyu mengalah, dia bangun. Keluar dari toko sembari menarik gadis itu keluar. Berhenti tidak jauh dari sana. "Cepet, sepuluh menit,"
"Lo kenapa sih kek gini ke gue?" tanya Fifi. Nadanya sudah seperti menahan tangis.
Wahyu berdesis. Tidak suka dengan pertanyaan itu. "Waktu lo cuman sepuluh menit."
Fifi panik. Dia lagi-lagi mengeluarkan sesuatu di tasnya. Lagi-lagi kotak coklat yang sebelumnya dia tolak di sekolah. Melihat itu Wahyu jengah. "Ini! Buat lo!"
"Fi! Gue bilangkan, gue nggak mau."
"Tolong, Yu! Cuman coklat, kok! Gue janji! Setelah ini gue nggak kelewatan lagi." katanya memohon. Memasang mata penuh berharap. "Coklat ini khusus buat lo! Gue nggak bisa kasih ke orang lain. Karena emang ini buat lo,"
Gadis itu semakin memasang wajah berharapnya. Terlebih ada beberapa orang yang melintas memperhatikan mereka. Membuatnya tidak bisa lagi untuk menolak. Jadi, setelah keputusan yang singkat. Dia akhirnya terpaksa menerima kotak coklat itu. Bisa langsung terlihat bagaimana perubahan yang signifikan dari ekspresi Fifi setelah itu. Senyuman jelas muncul di bibirnya. "Gue terima!" ucap Wahyu.
"Terima kasih! Gue--"
"Tapi!" potongnya. Fifi sigap diam. Mendengarkan. "Setelah ini lo pulang ke rumah!" Gadis itu menganguk semangat. Senyuman tidak lupa di bibirnya. "Terima kasih buat coklatnya,"
"Sama-sama! Dimakan, ya!" kata Fifi kegirangan. Dia menutup tasnya. Buru-buru mengendong tasnya. "Yaudah, gue pamit! Lo harus makan, ya! Gue duluan!"
Fifi pergi dengan senang. Bahkan sempat-sempatnya melompat dan berlari cepat sekali dari sana. Wahyu masih di sana. Dia melihat kotak itu. Membuka pita yang mengikatnya. Begitu sudah terbuka. Coklat truffle yang ukurannya lumayan kecil itu berada di sana. Tertata bersama potongan kertas berbentuk hati.
Jujur saja, coklatnya tampak lezat di matanya.
"Yu!" seru Tio. Dia datang bersama motornya. Berhenti tepat di depan Wahyu. "Tumben lo di luar,"
"Nyari angin! Ngapain lo ke sini!"
Tio mengambil uang di saku. Memberikannya pada Wahyu. "Nih! Uangnya si Rakha,"
Wahyu tertawa getir. "Jadi, babu dia lo sekarang?" Tangannya menghitung jumlah uang. Walau cukup kesulitan karena kotak coklat itu. "Masih kurang nih,"
"Tahu ah! Bikin emosi," ucapnya. "Dia nyuruh gue dateng ke rumahnya. Pas dateng dia tidur. Gue bangunin sengaja lama-lamain. Akhirnya gue smack down dia di tempat. Pas ada uangnya, malah kurang!" Tio memijit pelipisnya. Tekanan darahnya saat ini tinggi sekali. "Tahu, deh! Pala gue pusing!"
Entah kenapa, tangan Wahyu bergerak refleks mengambil coklat di kotak itu. Memasukannya ke dalam mulut Tio tanpa izin. "Tuh, biar adem kepala lo!"
"Mm! Apaan nih?" katanya. Begitu coklat itu dia gigit. Baru dia tahu makanan apa yang masuk ke mulutnya. "Coklat? Coklat darimana lo?"
"Alah banyak tanya! Udah! Balik sana! Urusan si Rakha biar gue deh yang urus."
"Bener, ya!" tanya Tio memastikan. Setelah mendapat anggukan dari Wahyu. Dia langsung segar sekali. "Bagus, deh! Udah males berurusan sama si Rakha. Pengen ngajuin buat ganti ketua!" katanya. "Eh, tapi coklatnya enak, loh! Meledak gitu di mulut. Yaudah gue duluan!"
Wahyu tertawa getir. "Ya, iya!" Begitu Tio sudah jauh. Dia kembali ke dalam toko.
Membuang kotak bekas coklat itu di tong sampah depan tokonya. Masuk tanpa ada beban.
🍫🍫🍫
Hayoloh
Main Jejelin aja.
Seru, nggak?
Komen dan bintang kalau ada kritik dan saran.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCOLET (TAMAT)
Genç KurguFifi dan Tio bertukar tubuh karena sebuah coklat pelet. Mereka pikir ini buruk. Tapi nyatanya ini membantu kisah asmara mereka. Membongkar semua rahasia yang selama ini mereka sembunyikan. 🍫🍫🍫🍫🍫🍫🍫 Sebutanya...