[21] Lelah

28 2 0
                                    

Fifi membuka pintu minimarket dengan wajah lesunya, tangannya refleks mengambil keranjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fifi membuka pintu minimarket dengan wajah lesunya, tangannya refleks mengambil keranjang. Melengos pergi menuju rak-rak bagian camilan. Sebelumnya dia tentu saja ada di rumah Tio, berada di dalam kamar yang sudah seperti kapal pecah. Hari ini dia rela membersihkan tempat itu. Untuk dirinya sendiri. Dia benci melihat hal berantakan. Terutama dia sedang berada di tubuh Tio. Entah kapan dia akan kembali. Setidaknya, dia bisa membuat dirinya nyaman dengan kamar yang rapih.

Hari ini rasanya begitu panjang. Dari kejadian memalukan di kamar mandi, dia yang ribut dengan Tio di belakang sekolah sampai menangis, datang ke alamat penjual coklat pelet yang ternyata adalah dukun gadungan sampai rela menjanjikan uang sepuluh juta demi kesembuhan mereka. Rasanya lelah sekali. Makanya dia menyuruh Tio untuk mengambilkan bajunya di tempat Wahyu. Selain menghindari kesalahpahaman, dia juga butuh istirahat. Tapi begitu sampai di rumah Tio. Dia malah mendapati kamar laki-laki itu yang kondisinya sudah memprihatinkan.

Terpaksa bergerak membersihkan. Sampai mendapat pujian dari Ibu Tio yang entah kenapa terdengar begitu horor. Lalu setelah itu dia memutuskan untuk keluar rumah. Berniat mencari udara segar dan melepas stress. Berakhir masuk ke dalam minimarket.

Di depannya sekarang, terpampang begitu banyak macam camilan. Tidak ada yang tidak enak di mulutnya. Dia sudah merasakan semuanya. Tapi begitu dia merogoh kantung celananya, mengambil uang di sana. Dia mengeluh kecewa. Hanya ada uang lima puluh ribu di tangannya. Uang yang hari ini di berikan oleh Ibu Tio.

"Ya, gue masih ada di badan si Tio. Gue nggak bisa beli yang macem-macem!" gumamnya.

Dia mengoper uang itu ke tangannya yang lain. Mengulurkan tangannya mengambil salah satu camilan di sana. Tapi begitu sudah di sana. Camilan itu malah jadi rebutan. Ada satu tangan ikut mengambil makanan yang sama.. Begitu Fifi melirik, dia tersentak kaget. Terkejut melihat sosok Dewa di sana.

"Lepas!" ucap Dewa ketus.

"Eh?" Fifi otomatis menurut. Dia melepaskan tangannya, pindah satu langkah. "Iya! Ambil aja,"

Siapa lagi orang yang bisa membuatnya ciut seperti kelinci kecil. Hanya Dewa yang bisa. Masih terkejut dengan kehadirannya yang tidak dia sangka-sangka. Gadis itu membungkam mulutnya rapat-rapat. Sudah beberapa hari ini dia tidak bertatapan langsung dengan mata tajam itu. Karena itu, Fifi memilih menghindari kontak mata. Lebih memilih melihat camilan yang lain. Laki-laki itu mengambil makanan yang dia pegang sebelumnya. Menatapnya dengan sensi. "Tumben lo sendirian?"

"Eh?"

Dewa masih di sana, kini menunjukan seringainya itu. "Biasanya lo sama si Wahyu, itu,"

Mendengar Dewa menyebutkan nama Wahyu. Dia membeku. Benar juga, sejak tadi laki-laki ini mengajaknya bicara. Jadi, artinya yang Dewa ajak bicara adalah Tio bukan dirinya. Tapi, sejak kapan dia mengenal Tio, juga Wahyu? Selama ini, yang dirinya tahu Dewa hanya kenal dengan Wahyu karena dia yang selalu membicarakannya. Dia tidak tahu, laki-laki ini begitu menyukainya sampai mencari tahu segalanya tentang Wahyu. Jadi, apa mereka sudah saling bertemu sebelumnya?

Kapan?

"Dia di rumahnya, lah!" balas Fifi cangung. Mengambil beberapa camilan dari rak. Memasukannya ke dalam keranjang cepat-cepat.

Terdengar tawa getir dari Dewa. Dia sepertinya tampak tidak senang. Wajahnya jelas sekali menunjukan hal itu. "Karena nggak ada Wahyu, gue kasih saran sama lo." katanya begitu. "Mendingan lo bilang sama tim-tim lo buat nyerah lawan sekolah gue. Kalau lo ikutin apa kata gue. Gue bisa kabulin apa mau lo,"

Fifi mengerutkan dahinya. Terpaksa bersinggungan dengan mata itu. "Maksud lo?"

"Gue mau lo bilang ke tim lo suruh nyerah aja. Percuma, sekolahan lo nggak bakalan menang lawan sekolahan gue. Tim gue di latih sama pelatih profesional bersertifikat, udah banyak orang yang mengakui kehebatan tim sekolah gue." ucapnya sombong. "Dan, gue nggak bakalan kasih lo apa lagi si Wahyu buat menangin ini lomba!"

"Sekolahan gue emang timnya yang di latih sama pelatih profesional. Sekolahan gue juga nggak sesering itu menjuarai di ranah sepak bola. Tapi kita di ajari untuk sopan santun, kita di ajarin buat nggak usah sok ikut campur. Dan solidaritas kita tinggi! Dan kita di ajari untuk tidak melakukan hal curang, salah satunya adalah yang lo lakukan sekarang," balas Fifi. Dewa hanya tertawa pahit mendengar itu. "Kalau lo merasa tim sekolahan gue rendahan sampai lo pakai cara kaya gini. Mendingan lo nggak udah banyak omong. Langsung tanding, buktiin kalau lo emang sejago itu."

"Ya, lo bener!" Dewa menganguk. Dia mengambil satu lagi camilan di sana. Melihat belakang bungkus camilan itu. "Gue bakalan inget kata-kata lo,"

"Lo selalu kaya gini, ya?" tanya Fifi. Laki-laki itu masih tidak menanggapinya. Terpaksa dia melanjutkan omongannya. "Nggak heran, Fifi lebih milih Wahyu dari pada lo,"

Mata Dewa melirik tajam. Tidak senang dengan kalimat barusan. "Apa?!"

"Mau apapun yang lo lakukan ke dia. Hati tuh orang bakalan tetep sama Wahyu. Lo nggak lebih dari cowok yang gila yang suka memaksakan kehendak. Lo pikir hati itu bisa di paksa? Hati itu adalah hal yang paling merdeka, tidak bisa di perintah dan di kurung. Tapi lo, terlihat jelas melewati batas,"

"Mendingan lo diem! Sebelum gue hajar lo di sini,"

Fifi mengangguk, dia mendekat. Perasaanya bergejolak. Dia emosi. Entah kenapa begitu berani seperti itu. "Pukul aja! Gue nggak takut,"

"Lo dengerin gue, Yo!" bisik Dewa. "Lo jangan ikut campur urusan gue sama Fifi. Dia itu punya gue. Lo bilangin juga ke si Wahyu. Suruh sadar diri. Dia itu cuman tukang anak laundry! Bisa-bisanya mau ngerebut Fifi dari gue! Mau di liat darimanapun nggek pantes, tahu nggak!"

"Lo----" Fifi mengangkat tangannya berniat menampar laki-laki di depannya ini. Tapi doa urungkan. Tidak! Dia tidak mengiyakan kalimat Dewa barusan. Dia hanya tidak punya tenaga untuk berdebat lagi apa lagi bertengkar dengannya. Memilih mengalah.

Fifi pergi melewati Dewa, membawa makanan berisi keranjangnya ke kasir dan membayar. Cepat-cepat keluar dari minimarlet sebelum ketahuan matanya mulai berair karena ucapan yang menusuk itu. Sementara, Dewa, dia hanya menyeringai. Tampak puas sekali.

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang