[30] Curiga

36 2 0
                                    

Santi, pembantu di rumah Fifi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Santi, pembantu di rumah Fifi. Cepat-cepat pergi ke pintu setelah mendengar bunyi bel mengema di seluruh rumah. Begitu sudah di buka lebar. Berdiri Dewa di sana dengan senyuman tampannya. Di tangannya sudah ada satu besar buket bunga mawar merah. Lengkap dengan aromanya menyerbak. Dirinya sendiri sudah rapih, berbalut jas hitam lengkap. Rambutnya kali ini bergaya Pompadour. Potongan rambut yang tipis di bagian samping kiri dan kanannya, dan hanya meninggalkan sedikit rambut pada bagian atasnya.

Percayalah dia sangat tampan.

"Eh, Mas Dewa!"

"Iya, Ibu, ada?"

Santi menganguk semangat. "Ada Mas, ayo masuk,"

Dewa melangkahkan kakinya ke dalam dengan gugup. Tangannya begitu erat mengengam buket bunga yang hampir menutupi tubuhnya itu. Tapi terlihat jelas begitu melindungi buket itu dengan nyawanya. Bahkan saat buket itu menyangkut ketika melewati pintu dia mengurusnya dengan begitu hati-hati. Santi saja sampai tersentuh dengan sikapnya itu. Dia langsung duduk di salah satu sofa. Mengamankan buket bunga itu. Meletakannya di tempat paling aman dari hal-hal yang akan merusak keindahan seribu bunga mawar itu.

"Sebentar, ya, Mas! Saya panggilkan Ibu dulu," ucap Santi. Masih terpesona dengan sikap Dewa barusan.

Dewa hanya menganguk membiarkan Santi pergi ke dalam. Dia merapihkan diri, membetulkan dasinya, membersihkan debu di jasnya juga merapihkan rambutnya. Benar, dia harus sempurna hari ini. Menghadap ibu mertua tidak boleh disepelekan. Ini hal penting. Terlebih dia hari ini datang sendiri bertamu ke rumah Fifi. Entah darimana asal keberaniannya itu. Tapi demi bertemu gadis itu sepertinya apapun dia lakukan.
Tidak lama, Ibu dari Fifi datang. Dia hanya mengunakan daster bermotif bunga. Persis seperti ibu-ibu kebanyakan. Wajahnya bersih tanpa make up. Hanya dandanan ala ibu-ibu rumahan. Mendatangi Dewa dengan senyuman ramahnya. "Eh, Nak Dewa? Ke sini sendiri?"

Dewa meminta tangan. Dia cium setulus mungkin. Menganguk cangung. "Iya, Bu! Mau ketemu Fifi."

"Kemarin kayanya lagi ada masalah, ya? Berantem?" tanyanya.

"Ehe! Iya, bisalah! Mungkin Fifi lagi PMS, trus saya jahilin. Dia marah, deh!" kata Dewa sembari mengusap telungkuknya. Teringat kejadian beberapa hari yang lalu. Masa depannya hampir menghilang setelah Fifi menendangnya begitu keras. Dia bahkan harus berjalan menahan sakit sampai ke mobilnya sendiri kemarin. Membuat dia meringkis ketika mengingat hal itu lagi. "Makanya saya ke sini mau minta maaf ke dia."

"Jadi, bunga itu buat Fifi?" tunjuknya.

Dewa melirik sebentar. Menganguk. "Iya,"

Ibu Fifi menganguk saja. "Yasudah! Kamu ke atas aja. Fifi di kamarnya, dia belum keluar pas pulang sekolah. Tapi inget! Jangan macem-macem, ya!" katanya. "Saya mau ke kamar dulu. Masih ada kerjaan yang harus saya selesaikan, ya!"

Dewa tertawa kikuk. "Iya, Ibu! Tenang aja,"

Setelah memastikan Ibu Fifi benar-benar masuk ke dalam. Dewa bangkit dengan antusias. Membawa buket bunga besar dengan hati-hati. Menaiki tangga dengan antusias. Senyumannya sejak tadi tidak pudar. Sesekali dia merapihkan dirinya. Begitu sudah di atas, dia meluncur lurus ke depan kamar Fifi. Berdiri di sana. Masih sempat-sempatnya merapihkan rambutnya.

Ketika tangannya membuka sedikit pintu itu, dia tidak meneruskannya. Malah berhenti di tengah jalan begitu mendengar gadis itu tampak sedang menelfon seseorang.

"APA?! Heh! Kenapa gue harus ke sana?" Di dalam Tio marah sekali. Habisnya, begitu dia mendapat panggilan dari Fifi. Gadis itu kini memintanya pergi ke taman dekat sekolah. Entah untuk apa. Suaranya juga terdengar terisak. Apa dia menangis? Dengan tubuhnya dia menangis???!!!! "Hah? Es krim? Es krim vanila? Di kulkas?" ulang Tio tidak santai. Tangannya memijit pelipisnya. Emosi lagi. "Wahh! Kayanya selain lo yang seenaknya lo juga jadiin gue babu, sekarang? Lo nggak liat sekarang jam berapa?"

'Bodo gue tiduran di tengah jalan biar gue mati,'

Tio menjauhkan ponselnya. Dia letakan di atas ranjang besar itu. Lalu, memukul udara sangking kesalnya. Baru setelah dia puas. Ponsel itu kembali di telinganya. Bicara dengan lembut selembut kapas. "Ok! Gue ke sana! Sama es krim, ya? Baik, gue ke sana ya! Tolong jaga baik-baik badan gue, Fifi!"

Dewa di belakang sana mengerutkan dahinya. Kebingungan sendiri. Membuat bantinnya akhirnya bicara. 'Fifi? Maksudnya?'

Belum sempat terjawab, Dewa berdiri tegak. Menyembunyikan diri di samping pintu ketika.melihat Fifi akan keluar dari kamarnya. Gadis itu tampak terburu-buru. Tidak sadar ada dirinya di sana. Dia hanya memakai piayama tidurnya berbalut kardigan coklat, rambutnya yang panjang di biarkan di kuncir kuda. Turun tangga begitu cepat. Dewa masih di sana, dia bisa dengar gadis itu meributkan dimana es krim vanila miliknya pada Santi. Dan langsung pamit pergi begitu saja.

Dewa tentu saja curiga. Buket bunga di tangannya dia gengam erat sekali. Dia yakin, ada sesuatu di balik ini. Dan dia harus tahu itu.

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang