[16] Mengancam

35 2 0
                                    

Di belakang sekolah kondisi Tio dan Fifi tidak jauh berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di belakang sekolah kondisi Tio dan Fifi tidak jauh berbeda. Muram sekali. Nyawa mereka terlihat hampir melayang keluar dari tubuh mereka masing-masing. Sudah hilang kesadaran semenjak mereka sampai di belakang sekolah. Niatnya mereka ingin saling bicara soal penjual coklat itu. Tapi apa yang mereka alami hari ini. Terpaksa membuat mereka hanya bisa duduk melamun. Pikiran mereka melayang jauh entah kemana.

Hari ini rasanya hari sial mereka.

"Ta--tangan gue," ucap Fifi akhirnya. Tangannya terangkat, dilihat dengan prihatin. Dia tahu tangan itu juga bukan miliknya, dia masih berada di tubuh Tio. Harusnya Fifi tidak merasa muram begitu. Tapi memang mentalnya lagi-lagi terseruduk kenyataan. Gadis manapun pasti trauma jika mengalami hal yang sama seperti dirinya saat ini. Air matanya tumpah tanpa dia sadari. Mengacak-acak rambutnya. "Mata gue! Otak gue! Hiks!"

Tio sendiri di ujung, dia melihat ke atas langit. Berharap mendapat ketenangan dari cerahnya langit biru di sana. Tapi ketika itu, matanya malah melihat para siswi yang sedang mengodanya dengan pakaian hampir terbuka di atas langit. Bahkan tampak lebih mengerikan dari sebelumnya. Dia menangis getir, menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Benar! Otaknya sudah ternodai sampai keluar dari ubun-ubunnya.

"Tio!" Seru Fifi. Dia bangkit. Mendekati Tio. "Gue mau bilang sesuatu. Ini soal badan lo,"

"Kenapa?" balasnya lesu.

"Lo masih menoleransikan kalau gue mau buang air kecil?" tanyanya. "Itu panggilan alam. Maaf, maaf kalau gue megang---"

"Sssstt! Gue minta jangan di lanjut," Tio meraih lengan itu. Dia menunduk frustasi. "Anggap aja gue nggak denger yang barusan,"

"Tapi, Yo---"

Dia bangun. Mengusap wajahnya. "Gini! Kita buat kesepakatan!" Fifi menganguk, setuju akan hal itu. "Lo ataupun gue. Boleh megang badan. Kalau penting. Mandi, buang air besar dan kecil. Ya, pokoknya hal penting lainnya. Syarat tidak melakukan atau bahkan terpikirkan berbuat pelecehan seksual. Lo ataupun gue harus sama-sama menjaga tubuh masing-masing! Sampai kita berdua balik lagi ke tubuh masing-masing,."

Gadis itu tiba-tiba menyerobot. "Gue setuju! Tapi gue mau syarat lain,"

"Apa?"

"Setiap hari, lo sama gue harus ceritain apa yang terjadi hari ini. Khususnya yang berhubungan langsung sama badan masing-masing!"

Tio mendengar itu tidak senang. Sewot layaknya emak-emak tidak kebagian jatah sembako gratis. "Ihh! Ngapain? Lo pikir di dunia ini nggak ada yang namanya privasi. Kehidupan gue masih aja lo mau kepo,"

"Gue mana tahu, badan gue di lecehin sama cowok selain lo. Dan lo nggak peduli soal itu." katanya. "Udah, deh! Protes aja jadi orang! Nggak usah ngomongin privasi! Gue rasa hal privasi yang ada di diri lo udah kebongkar semua sama gue,"

Kalimat itu sudah seperti menghalanginya untuk membalas lagi. Dia skak mat di situ. "Ya, iya! Lo menang,"

"Yaudah, gue duluan! Hari ini gue nggak sengaja grepe-grepe badan lo karena kebelet kencing!" jelasnya. "Trus tangan lo---" Fifi lagi-lagi mengangkat tangannya. Menunjukannya pada Tio. "---nggak sengaja megang tangan Wahyu yang belom di cuci." sambungnya. "Dia habis kencing juga,"

"Apa?! Heh! Itu udah keterlaluan tahu nggak? Ta-tangan gue---" Toi melihat tangannya itu horor. Ingin menggapai untuk memberitahu dia begitu prihatin atas ternodanya tangannya itu. Tapi, dia buru-buru menolak. Mengeluh sebal. "Gue nggak jamin badan gue bakalan masih baik-baik saja di tangan lo,"

Fifi berdecak. "Ya, mau gimana," katanya. "Trus lo gimana?"

"Ya, hari ini nggak ada apa-apa." beber Tio. Melirik ke arah lain. "Cuman tadi Niatnya mau ganti baju kan kelas lo hari ini olahraga,,"

"Oh, iya! Bener hari ini olahraga!" Sahut Fifi setelah menepuk jidatnya. "Trus?"

"Ya, trus gue alasan karena emang kaga mau ganti baju. Trus temen lo tuh! Si Acha! Dia narik gue maksa banget ke kamar mandi. Trus pas di kamar mandi----" ucapan Tio terpotong. Tangannya otomatis menutup. Mengeluh kesal. "Aahh! Nggak tahu,"

Gadis itu paham. Dia mundur. Mengeleng tidak percaya. "Lo! CABULLL!"

Decakan terdengar dari bibir Tio. Hampir layangkan tangannya ingin memukul. "Lo mau gue tabok? Gue nggak ngapa-ngapain! Gue juga pingsan habis itu,"

"Eh? Pingsan? Lo pingsan?"

Tio menganguk. "Iya. Setelah gue mimisan. Gue pingsan. Anak-anak cewek yang bawa gue ke UKS. Trus si Acha temen lo yang bantuin gue sampai bangun. Trus habis itu. Dia malah ganti baju di UKS!" Ungkapnya. Menekan kata terakhir dengan emosi. Dia melipat tangannya di dada. Dongkol bukan main. "Temen lo tuh gila, ya! Gue nggak paham kenapa ada cewek macam dia di dunia ini!"

Fifi mengerutkan dahinya. Ketika telinganya mendengar sesuatu hal yang buruk menyangkut sahabatnya. Dia tentu saja tidak senang. "Heh! Kenapa sih lo ngomong kaya gitu?"

"Apa?" balas Tio menantang. "Emang kenyataannya si Acha nyebelin! Resek tahu nggak!"

Seringai Fifi muncul. Dia tertawa getir. Ketika Tio masih melayangkan tatapan tajamnya itu. Gadis itu menyeret tubuh Tio. Dia berjalan mendekati orang di depannya itu. Memojokannya. Mengurungnya dengan kedua tangannya. Yang terlihat sekarang. Tio jelas memojokam Fifi di dinding. Di sana gadis itu tampak ciut. Dia terpaksa mendongak untuk melihat wajah laki-laki di depannya. "Ya! Jangan ngomong kek gitu soal Acha! Gue nggak suka dengernya,"

Tio ternohok. Sudut bibirnya naik. "Kenapa?"

"Kenapa?" ulang. "Dia itu sabahat gue! Lo nggak berhak ngomong kek gitu soal dia!" tuntutnya. "Lagian lo tuh kenapa sih? Lo ada masalah apa sama si Acha. Sampai lo bersikap sok jual mahal ke dia. Lo tahu dia suka sama lo sama kaya gue suka sama Wahyu dari kelas satu. Gue yakin lo tahu itu, kan? Trus kenapa? Kenapa lo sama Wahyu bersikap seakan-akan gue sama Acha nggak ada di dunia ini?"

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Tio. Dia hanya menatap mata miliknya sendiri. Di sana matanya memantulkan wajah Fifi yang tampak ketakutan. Padahal jelas, yang sekarang dia rasakan adalah marah yang berkecambuk. Tidak senang, kenapa gadis ini jadi begitu ikut campur tentang asmaranya. Tio mendorong Fifi untuk melepaskannya. Melayangkan tatapan Tajamnya.

"Bukan urusan lo!" katanya ketus.

"Lo suka sama Acha?" serobot Fifi. Tio tertawa pahit. Dia memilih melangkah pergi dari sana. Enggan menjawab pertanyaan tabu itu. "Gue tahu, Yo!" Seru Fifi. Di sana dia berhenti. Mendengarkan. "Lo sama Wahyu suka sama gue sama Acha. Selama dua tahun gue sama Acha suka sama kalian berdua. Gue nggak paham kenapa lo berdua menghindari kita. Dengan jelas! Nggak ada alasan yang pantes. Nggak ada alasan yang gue sama Acha dapet. Pasti ada alasan di balik ini semua yang harus gue tahu. Dan gue bakalan pake kesempatan ini buat cari tahu hal itu!"

Tio membalikan badannya. Di sana terlihat di matanya adalah dirinya sendiri. Wajahnya jelas menampakan tekat yang kuat. Itu Tio yang selama ini menghilang dari dirinya. Semangat membara itu terlihat jelas sekarang. Tapi mengapa alasannya harus karena gadis bernama Acha itu? "Gitu?" katanya. "Kalau gitu gue nggak bakalan biarin lo berdua tahu! Pulang sekolah, kita cari orang yang jual coklat itu. Gue tunggu di gapura depan. Bawa motor gue! Lo nggak dateng, gue nggak segan-segan lakuin hal buruk ke badan lo ini!"

Setelah itu, Tio benar-benar pergi. Tanpa tahu Fifi meneteskan air mata dengan tubuhnya itu.

🍫🍫🍫

Bintang dan komennya jangan lupa, ya

Next

⬇️

⬇️

⬇️

⬇️

CHOCOLET (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang