Rakha menarik ingus khayalan miliknya itu. Menyeka keringatnya dengan wajah cangungnya. Sementara Wahyu, dia di sampingnya. Melipat tangan di dada. Melayangkan tatapan sengit pada Rakha sejak tadi. Dia tidak akan berhenti setelah Ketuanya ini melontarkan kata maaf dari mulutnya itu.
"Ya, maafin gue, Yo!" lontar Rakha akhirnya. Wahyu menganguk respek. Senyuman muncul di bibirnya. "Gue nggak bermaksud jadiin lo, Babu! Cuman sekalian aja,"
Wahyu berdesis seperti ular. Membuat Rakha bergidik ngeri. "Lo tuh, ya!"
"Ya, pokoknya! Besok nggak lagi-lagi, deh! Yang kemarin terakhir," tambah Rakha. Mengusap telungkuknya tidak enak. "Soal uang punya si Wahyu itu urusan gue,"
Fifi mengerutu di dalam tubuh Tio. Di luar dia menunjukan senyuman tampan milik Tio. Tapi di dalam. Dia sejak tadi menyumpah serapah karena kesal tidak tahu apa yang mereka bahas. Untuk apa Rakha meminta maaf? "Oh, ok! Bagus, deh!" jawab dia seadanya.
Sekolah sudah sedikit sepi. Ketika dia berniat pulang, Wahyu menahannya. Menariknya ke lapangan. Masuk menjadi salah satu dari tim sepak bola di sekolahnya itu. Memang dia sempat lupa soal latihan hari ini. Niatnya dia akan pulang. Karena dia pikir semakin dia menghindari bertemu orang. Kesempatan rahasianya terbongkar akan berkurang. Lagipula semenjak dia bertemu dengan Tio tadi siang. Mentalnya sudah ambruk. Baru kali ini dia merasa terintimidasi oleh orang selain Dewa. Laki-laki itu berpesan padanya untuk tidak pergi kemanapun setelah sekolah. Karena dia bilang, dia tidak mau tubuhnya tergores apa lagi sampai di grepe-grepe oleh tante-tante girang.
Fifi hanya bisa menurut. Ini salahnya, setidaknya dia harus menuruti kata-kata Tio agar laki-laki itu tidak macam-macam dengan tubuhnya. Dia tidak bisa bayangkan laki-laki itu menyentuh tubuhnya entah di bagian manapun itu. Dia bersumpah. Setelah dia kembali ke tubuhnya. Hal pertama yang dia lakukan adalah mandi kembang tujuh rupa. Agar tubuhnya suci lagi.
Setelah sampai di lapangan. Tentu dia cangung. Seperti orang bodoh karena tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Lalu, tiba-tiba Wahyu menarik Rakha ke hadapannya saat dia duduk di pinggir lapangan. Dan berakhir dengan adegan permintaan maaf yang dia sendiri tidak tahu apa masalahnya. Hanya bisa tersenyum saja.
"Udah, kan?" tanya Rakha. "Lo pada latihan dulu! Gue mau balik duluan,"
"Lah? Kok gitu?" sahut Wahyu.
"Gue ada urusan! Penting! Bilangin ke anak-anak juga." Rakha mengambil tasnya yang ada di pinggir lapangan. Menggendongnya, pamit pergi. "Gue duluan, ya!"
Ketuanya itu sempat melambaikan tangan pada yang lain. Dia juga dapat pertanyaan dari mereka. Tapi tidak dia tanggapi. Malah berlari ke arah parkiran. Wahyu berdecak pinggang, mencibir lagi. "Dasar, nggak paham kenapa dia jadi Ketuanya," katanya. Mengerling pada Tio di belakangnya. "Ayo, latihan,"
"Eh? Latihan? Main bola?" balas Fifi gelagapan.
Wahyu menganguk, alisnya berkerut. "Iyalah! Lo pikir apaan? Ayo, tanding satu lawan satu sama gue,"
"Eh, tapi---"
'Gue nggak bisa main bola, Wahyu! Ya allah. Terakhir gue main bola hidung gue mimisan gara-gara kepeleset bolanya, trus gue jatoh. Secara nggak langsung gue udah trauma sama bola!' batinnya berteriak. 'Ya, lo nggak tahu itu! Hiks! Ahahh! Gue pengen cepet kebadan gue lagi!'
"Alah tapi-tapian. Kenapa sih? Lo takut tanding satu lawan satu sama gue?" tebaknya.
"Ya, nggak gitu juga! Cuman--"
"Gue tunggu di tengah lapangan!"
Cowok itu berlari begitu saja kelapangan sembari pemanasan juga melompat-lompat. Tidak sadar Fifi meringis di belakang sana. Menendang udara karena dongkol. Panik bukan main. Dia tidak akan mengelak jika dia ingin sekali menghabiskan waktu bersama Wahyu. Terlebih ini hanya kesempatan sekali seumur hidup dia bisa bermain bola bersama laki-laki yang dia cintai. Itu impiannya sejak dia jadi pengintip setiap kegiatan latihan mereka.
Tapi, menjerumuskan diri untuk memaksakan bermain bola di sana. Pasti akan buruk nanti. Dan lebih gilanya. Itu satu lawan satu dengan Wahyu. Tanpa mencobapun sudah ketebak siapa yang akan memang.
Tapi, serius. Tidak ada alasan untuknya menolak.
Fifi terpaksa menyeret tubuh Tio ke tengah lapangan. Berpikir saja pertandingan kali ini bukan mengejar menang atau kalah. Tapi mengulur waktu agar dia cepat pulang. Dan menikmati waktu-waktunya dengan Wahyu. "Ok! Gue main!" tutur Fifi. "Tapi gue nggak mau main serius, ya!"
Wahyu mengeleng saja. Melewati dirinya. Berdiri di lingkaran tengah lapangan. Meletakan bola di pusatnya. Berdiri tidak jauh dari sana. "Ayo cepet, jangan banyak omong,"
Dia menurut. Berdiri di depannya. Bola putih itu sudah ada di bawah. Dan Wahyu yang tepat di depannya. Jujur, Fifi masih merasa ragu di dalam.
"Lo duluan!"
"Eh?"
"Lo duluan!" ulang Wahyu. Fifi paham. Dia langsung merebut bola itu. Membawanya ke arah gawang di belakang sana perlahan. Ketakutan sendiri. Tapi begitu baru beberapa langkah. Wahyu tiba-tiba menyalip. Merebut bola itu darinya begitu mudah. Bahkan langsung mencetak gol dengan satu tendangan kuatnya. Sementara dirinya, malah terpesona, berdiri memasang wajah berbinarnya. "Yang bener dong, Yo! Lo kayanya nggak serius main,"
"Hah? Eng itu---"
Wahyu tiba-tiba saja melempar bola padanya. Untung Fifi dengan sigap menangkap bola itu dengan kedua tangannya. Masih antara sadar dan tidak sadar dari lamunan terpesonanya. "Kita bakalan lawan sekolah Pelita nanti. Kita harus siapin diri buat menang dari mereka,"
"Se--sekolah Pelita?" ulangnya terkaget-kaget. Dia tahu sekolah itu. Dewa adalah salah satu siswa di sana. Sekolah swasta yang mewah dan mahal. Semua orang tahu itu.
"Iya, udah ayo cepet," sahut Wahyu di sana. Lagi-lagi bergerak melakukan pemanasan. Fifi berjalan kembali ke tengah lapangan. Meletakan bola itu. Menunduk melihatnya dengan serius. "Kenapa lo?"
"Bener! Kita harus kalahin sekolah Pelita! Biar lo bisa buktiin kalau lo itu pantes!"
Wahyu mengerutkan dahinya. "Hah?"
"Gue duluan!" Bola itu Fifi rebut. Dia menggiringnya ke gawang untuk yang kedua kalinya. Wahyu yang sempat telat memproses kalimat tadi. Buru-buru mengejar. Mencoba merebut bola lagi.
Tapi kali ini, Fifi merasakan hal berbeda. Rasanya kakinya jadi lebih enteng. Hatinya bergebu-gebu di dalam. Dan tekatnya jadi panas. Semua serangan Wahyu dia lawan dengan santai. Terlihat kakinya begitu lihai menghindari Wahyu. Bahkan sempat-sempatnya menendang bola itu melewati kedua kakinya. Membuat Wahyu terdiam menaikan kedua tangannya. "Yaa! Yo! Lo aneh serius!"
Fifi tidak merespon. Dia berlari ke arah gawang. Dan dengan tentangan kerasnya. Bola itu masuk ke dalam gawang. Dia ngos-ngosan. Tapi senyuman muncul di bibirnya. "GOL! GUE BISA MASUKIN BOLA KE GAWANG! AKHIRNYA! YESSS! HOREE!" teriaknya. Melompat-lompat senang sekali. Lalu berlari hampir memutari lapangan.
"Kenapa sih dia?" ucap Wahyu kebingungan. Menggaruk kepalanya karena keheranan. Apa lagi di matanya, Tio tertawa bahagia sekali. Berlari-lari di tengah lapangan. Entah apa yang begitu membuat dia bersemangat sekali. "Serius dia aneh banget hari ini,"
"HOREE!"
"Tio! Lo kaya orang gila, sumpah!"
"Gue bakalan kalahin sekolah Pelita!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOCOLET (TAMAT)
Teen FictionFifi dan Tio bertukar tubuh karena sebuah coklat pelet. Mereka pikir ini buruk. Tapi nyatanya ini membantu kisah asmara mereka. Membongkar semua rahasia yang selama ini mereka sembunyikan. 🍫🍫🍫🍫🍫🍫🍫 Sebutanya...